[3] Wanita Bar

1003 Words
Mungkin karena tubuh mungil Inggit dan baju yang dikenakan selalu berbahan longgar, sehingga tak terlalu nampak perutnya yang mulai membuncit. Namun, lambat laun pasti akan ketahuan juga. Karena seiring bertambahnya waktu, perut Inggit pun akan kian membuncit. Joseph menumpukan dagunya dengan lengan sembari melihat Inggit yang meracik minuman. Setelah beberapa saat kemudian, Inggit meletakkan segelas minuman alkohol ke hadapan Joseph dengan senyuman nakalnya. “Selamat menikmati, tuan Joseph,” ujar Inggit. Joseph tersenyum menatap Inggit. Dia selalu menyukai pelayanan wanita itu. Joseph meraih gelas yang disajikan di hadapannya dan meneguknya. Matanya langsung berbinar saat merasakan alkohol yang mendarat ke tenggorokannya. “Wah sepertinya ini akan menjadi minuman kesukaanku,” ujar Joseph. Sebelum meneguk habis alkohol di hadapannya, Joseph tampak merogoh saku jas nya dan memberikan Inggit sebuah amplop putih yang cukup tebal, “Oh ya, ini bayaran untuk malam ini. Aku ingin mabuk karena frustasi dengan pekerjaanku di kantor,” ujarnya. Tangan Inggit pun terulur meraih amplop itu dan segera ia masukan ke dalam laci meja yang kemudian akan ia buka saat Joseph pergi dari situ. Jeslyn melihat Joseph dan Inggit yang asik bercengkrama di sampingnya. Edo yang menyadari hal itu, langsung menghampiri Jeslyn. "Sepertinya Inggit memang cocok dengan pekerjaan ini. Meski aku ragu menerimanya, tapi ternyata dia jauh lebih memuaskan dan memikat banyak klien hanya dalam waktu dua bulan," sahut Edo sembari melihat ke arah Inggit dan Joseph yang tampak asik mengobrol satu sama lain. Jeslyn melepas apron yang ia gunakan dan menggulungnya dengan asal lalu meletakkan di atas meja. "Aku pergi ke belakang untuk merokok," ujar Jeslyn. Edo menatap punggung Jeslyn, "Apa aku salah memuji Inggit di hadapannya? Kenapa dia tampak kesal?" tanya Edo pada dirinya sendiri. Meski Inggit bekerja sebagai bartender, namun kenyataannya ia adalah seorang pelayan junior yang sangat pemilih. Ia memilih untuk melayani para pria dengan jabatan tinggi karena yakin bahwa pria itu tidak akan pernah mengecewakannya. Selain bayaran tinggi dan bonus yang melimpah, para pria kaya raya umumnya jauh lebih asik jika diajak berbicara, dan tentu saja terkadang Inggit sering terbawa suasana karena pembicaraan tentang bisnis yang sangat berbanding lurus dengan jurusannya saat ini. Tanpa terasa, waktu telah cukup banyak berlalu. Joseph telah menghabiskan 8 gelas racikan alkohol yang Inggit buatkan. Dan kini, pria itu kehilangan kesadaran. Beruntung saja, pria itu datang bersama temannya dan dia bisa membawa Joseph pulang dari Angelwings Bar. Ratusan cerita sudah Inggit dengar, dan berulang kali Inggit memberikan saran meski pada akhirnya akan ditepis oleh pria itu. Ya, itu karena Joseph adalah orang yang anti – kritik. Sekeras apapun memberikan kritik dan saran, pasti akan ditolak mentah. Itu juga yang menyebabkan Inggit jadi tak menyukai pria itu. “Biar aku bantu,” ujar pria yang sedari tadi duduk di samping Joseph. Inggit menganggukan kepalanya, membiarkan pria itu membantu tubuh Joseph dan menuntunnya keluar dari bar. “Mau aku bantu?” ujar Inggit menawarkan bantuan. “Tidak perlu,” jawab pria bernama Firza itu. “Ah oke.” Inggit memperhatikan Firza yang susah payah menahan tubuh Joseph yang mabuk berat. “Pasti sangat berat berteman dengan pria aneh itu,” gumam Inggit. * * * * * Setelah bersiap diri untuk pulang, lengkap dengan jaketn dan juga tas kecilnya, Inggit berjalan lemas menghampiri Edo yang sibuk membersihkan meja bar. Suasana bar sudah sangat sepi, karena sudah mendekati pagi dan bar akan segera tutup. "Bagaimana? Apa kau akan berhenti melayani pria itu?" tanya Edo melihat Inggit yang tampak kelelahan sehabis melayani Joseph. “Aku rasa pria itu memang gila. Dia selalu meminta racikan minuman baru. Apakah dia tidak tahu berapa banyak yang harus aku hafalkan dan aku ketahui untuk meracik minuman? Kenapa dia tidak langsung meminum wine atau whiskey saja?” protes Inggit yang kini mulai merasa bahunya menjadi kaku. “Tapi kau senang berbicara dengannya kan? Terlebih dia hanya berbeda 2 tahun darimu,” ujar Edo sembari mengelap permukaan meja. “Benarkah? Aku bahkan tidak tahu umurnya berapa,” sahut Inggit. “Semua yang masuk ke bar harus dengan tanda pengenal asli. Jadi sudah pasti aku akan tahu setiap umur tamu yang masuk ke Angelwings Bar,” balas Edo. Setelah membersihkan meja. Edo lantas menaikkan kursi – kursi ke atasnya lalu menatap Inggit. “Sudah dibayar olehnya? Sepertinya dia langsung membayarmu,” ujar Edo. Inggit menganggukan kepalanya, dia lalu merogoh saku tas kecil yang ia gunakan dan mengeluarkan sebuah amplop. “Mau kau bagi?” tanya Inggit. “Tidak usah, untukmu saja. Lagi pula pasti bosan juga berbicara dengan orang keras kepala dan egois, kan? Anggap saja sebagai permintaan maafku juga karena kau terpaksa harus melayani pria itu lagi,” ujar Edo seraya mendorong amplop yang dipegang oleh Inggit ke arah saku tas Inggit. Inggit tersenyum senang karena malam ini ia mendapatkan bayaran fantastis lagi. Tiba – tiba saja, ditengah rasa senangnya, dia merasakan sesuatu dari dalam perutnya seperti menusuk. Sontak Inggit langsung memegangi perutnya dan bahkan berjongkok. “Awh!” pekik Inggit saat merasakan rasa sakit yang luar biasa hebat dari dalam perutnya. Edo panik saat melihat tiba – tiba saja Inggit kesakitan. Dia turut jongkok di hadapan Inggit dan bertanya, “Kau kenapa? Apa ada yang sakit?” tanya Edo. Rasa sakit itu perlahan menghilang. Inggit pun kembali berdiri. "Tidak apa - apa, hanya terasa keram. Mungkin karena aku sedang kedatangan tamu," jawab Inggit berbohong. "Bayiku tidak apa - apa kan di dalam sana?" gumam Inggit di dalam hatinya. "Astaga kau membuatku panik. Ya sudah kalau begitu silakan langsung pulang dan beristirahat Git," ujar Edo. Inggit pun akhirnya berpamitan dengan Edo dan keluar dari dalam bar. Inggit kembali mengenakan jaketnya dan menutupi tubuhnya dari udara dingin Selama perjalanan menuju tempat kost nya, Inggit terus memikirkan mengenai apa yang terjadi pada tubuhnya, terlebih ia merasakan nyeri yang amat sakit pada perutnya. "Kau harus kuat nak. Ibu yakin kau kuat di dalam sana," ujar Inggit di dalam hati sembari memegangi perutnya yang masih rata itu. Kakinya terus melangkah menuju ke tempat pemberhentian bus dan menunggu beberapa saat sampai bus yang akan membawanya pulang muncul di hadapannya. * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD