“Mang, berangkat dulu ya!” ucap Ilham pada Mang Mamat, yang saat itu sedang sibuk memangkas tumbuhan bonsai, agar tampilannya semakin indah.
“Kemana, Gan? Kuliah?” tanya Mang Mamat.
“Nggak, Mang. Biasa aja mau kumpul sama anak-anak,” jawab Ilham.
Sabtu ini Ilham berpakaian sangat rapi, rambutnya yang berponi kali ini tidak dibiarkan menutupi keningnya seperti biasa. Tapi disisir ke belakang dengan sedikit tambahan gel agar terkesan fresh. Kaos Polo Sport, jeans, dan sepatu kets yang dikenakannya menambah pancaran kegantengan yang hakiki.
Penampilan Ilham kali ini lebih all out layaknya orang yang baru berpacaran dan akan berkencan untuk pertama kalinya. Sebisa mungkin terlihat sempurna. Untungnya dia sudah tampan dari lahir, jadi tidak membutuhkan salon untuk menyempurnakan penampilannya.
“Ric, gue on the way rumah lu, ya!” Ilham mengabari lewat telefon.
“Siap! Di rumah ada Delina, gue ke studio dulu bentar, paling sejaman lah,” suara Rico terdengar dari speaker HP.
“Ok.” Telefon pun ditutup.
Ilham segera mengambil kunci motor yang biasa tergantung di dekat pintu keluar. Sebelum naik di atasnya, beberapa kali Ilham menengok ke spion untuk merapikan rambut. Setelah semuanya sempurna, ia pun berangkat.
Di perjalanan ia melihat toko boneka, toko yang sama saat membelikan Delina boneka Hello Kitty yang ukurannya sebesar orang dewasa tambun untuk hadiah ulang tahunnya, Delina sangat senang menerimanya ketika itu. Tiba-tiba hati Ilham pun tergerak untuk membelikan Delina sesuatu lagi.
Motor diparkir di halaman toko. Ilham memang sedikit kikuk memasuki toko berwarna serba pink itu, apa lagi di dalam ada beberapa gadis, usianya mungkin sebaya dengan Delina, sedang melihat-lihat juga. Ia kikuk bukan karena malu masuk toko khusus pernak-pernik remaja putri, tapi gara-gara baru saja melangkahkan kaki ke dalam toko, gadis-gadis SMA itu sudah over-acting, bisik-bisik genit sambil mencari perhatian. Sangat membuat tidak nyaman.
“Ih, ada cogan dong, dia artis bukan ya, kayanya pernah lihat di mana gitu... “ tak sengaja Ilham mendengar percakapan mereka, saat lewat di depannya.
“Sana... sana... berani gak minta nomor HP nya,” gadis-gadis itu saling mendorong satu sama lain, kemudian cekikikan tak jelas.
“Eh, Mas Ilham, cari hadiah lagi?” sapa seorang penjaga toko, ia masih ingat betul Ilham pernah belanja di tokonya. Meskipun Ilham sendiri tak ingat siapa dia, selain mengenalnya sebagai seorang penjaga toko, dari kostum yang dipakai.
“Iya, Mba, bagus nya kasih apa ya? Di sini yang paling bagus apa ya, Mba?” komentar Ilham sambil melihat-lihat, sementara di belakang anak-anak SMA tak jelas itu masih sibuk saling dorong.
“Buat siapa, Mas? Saudara, teman, atau pacar, Mas?” tanya penjaga toko.
“Hmm...Tiga-tiganya...” jawab Ilham datar.
“Oke... sebentar...” penjaga toko itu mulai mencari-cari barang yang cocok.
Sambil menunggu penjaga toko mencarikan barang, Ilham pun ikut mencari, ia tertarik pada sebuah boneka teddy bear yang sedang memeluk lambang hati. Seketika wajah yang terbayang di benaknya adalah wajah Delina, tapi lamunannya buyar ketika penjaga toko itu mendatanginya.
“Maaf, Mas Ilham, adiknya usia berapa tahun, Mas?”
“Memang buat apa tanya umur segala?” tanya Ilham agak heran.
“Iya, Mas, biar nanti saya gampang cari hadiahnya. Beda umur kan beda juga seleranya. Masa iya anak usia 2 tahun misal dikasih kotak make up, kan gak nyambung, Mas,” jawab pelayan toko panjang lebar.
“Oh gitu...”
“Jadi adiknya berapa tahun, Mas?
“17 tahun... “
“Berapa, Mas?” tanyanya sekali lagi.
“17 tahun, Mba!” Ilham mengulang.
“Oh, iya, baik, kalau teman dan pacar nya, berapa tahun Mas?” tanya penjaga toko itu sambil terus mencari-cari barang yang cocok.
“Sama, 17 tahun juga,” jawabnya.
“Maaf, Mas, berapa?”
“17 tahun...”
“Ok, Mas, sebentar... “ kata Penjaga toko itu, kemudian berbalik ke sebuah Rak yang berada di ujung lorong. Tak lama ia kembali datang dengan hadiah-hadiah yang dimaksud di tangannya.
“Ini, Mas...” Penjaga toko itu menunjukkan beberapa benda yang sangat cute dan girly, ada buket bunga mawar perpaduan warna merah dan pink yang sudah dirangkai sedemikian rupa menyerupai motif hati dengan ukuran sangat besar, kemudian ada sebuah music box, yang jika di buka akan keluar alunan melodi dari dalamnya, dan sebuah lagi adalah boneka teddy bear memegang ornamen hati, mirip seperti yang barusan dilihatnya.
“Nah ini mas, kayaknya kalau buat pacar cocoknya yang bunga ini, kalau buat adik biasanya boneka teddy bear ini, nah yang buat teman bagus kalau dikasih music box yang ini, Mas,” ia menjelaskan panjang lebar.
“Oh gitu ya, ya udah saya ambil tiga-tiganya, tolong dibungkus,” kata Ilham. Kemudian ia melirik ke arah parkiran, dan melihat motornya masih terparkir di sana. anak SMA yang sedang bergosip masih ada di dekat pintu, beberapa mukanya jadi memerah, karena menyangka Ilham melirik kepadanya.
“Dua lagi saya titip di sini dulu deh Mba, nanti saya ambil belakangan, kebetulan saya pakai motor, susah bawanya," kata Ilham mengingat buket bunga yang dibelinya berukuran hampir setengah tubuh orang dewasa.
"Boleh, Mas,"
"Bisa bayar pakai e-wallet?” ucap Ilham sambil merogoh saku dan mengeluarkan HP. Saat membuka kunci layar, ternyata ada tiga pesan belum terbaca dari Rico.
“Bisa, Mas... “ Penjaga toko itu mengarahkan Ilham ke sebuah meja kasir, setelah membayar semua barang yang dibeli, Ilham segera pergi.
Anak-anak SMA yang heboh tadi masih di sana saat Ilham hendak pergi. Sebagian berdiri di dekat pintu keluar, sebagian lagi berdiri di dekat meja kasir, mungkin hendak membayar belanjaan, atau memang cari perhatian.
“Permisi!” kata Ilham dingin, sedikit melirik.
Beberapa dari mereka yang berdiri tepat di depan pintu keluar spontan mundur untuk memberi jalan, Ilham pun lewat.
“Ya Ampun!!! Ganteng banget!! Lihat gak sih barusan?” beberapa dari mereka teriak histeris.
***
Riko sedang mengikat sepatunya di teras rumah, sementara Sam menunggu di depan gerbang, hari ini ia akan ke pasar menumpang motor Anaknya.
“Lin... Lin!!!” teriak Rico dari teras rumah.
“Lin!!! DELINA!!!” teriak Rico lebih keras dan sedikit kesal karena panggilannya tidak didengar, padahal warung di rumahnya dengan tempat motornya parkir jaraknya tidak seluas lapangan bola.
“Apaan sih, berisik amat... “ akhirnya Delina mendatangi Rico sambil cemberut, tangannya dipenuhi aroma amis ayam potong, Delina sedang membantu Linda menimbang daging ayam pesanan.
“Nanti kalau kamu ada uang, jangan beli yang lain-lain, beli telinga! Kayaknya kamu emang butuh satu telinga lagi,” kata Rico dengan ketus.
“Iya, terserah... ada apa? Cepetan aku mau bantuin Mama lagi nih,”
“Hari ini Ilham datang... “ mendengar nama Ilham disebut seketika tubuh Delina mematung, bak bongkahan es. Mendadak kaku.
“Heh, malah ngelamun,” Rico mengegatkan.
“Eh, iya, apa?”
“Hari ini Ilham mau ke sini, sekarang lagi di jalan. Barusan aku kirim chat tapi gak dibaca. Hari ini aku ada lembur, jadi pulang telat. Kamu temenin Si Ilham ya!”
“Kok harus aku sih?” tanya Delina.
“Kalau aku punya adik dua sih, aku juga males suruh kamu yang temenin Si Ilham, tar Si Ilham malah ditelen sama kamu,”
“Ya udah, nanti aku bilangin aja A Rico lembur, biar dia pulang lagi,”
“Eh, jangan! Udah, kamu gak usah bilang apa-apa. Suruh Si Ilham tunggu di sini! Aku lagi ada perlu juga sama Si Ilham, jangan biarin dia balik, kalau dia balik aku males harus ke rumahnya, jauh,”
“Terus aku harus ngapain?”
“Ya temenin Si Ilham lah sampai aku datang, emang mau ngapain?”
“ ... “ Delina berpikir.
“Oh ya, awas jangan bawa Ilham masuk kamar!”
“Apa?!” Delina seketika panik. Maksudnya apa? Siapa juga yang mau bawa Ilham masuk kamar, pikir Delina. Dia masih perempuan baik-baik.
“Kamu kenapa, Lin?”
“Nggak, kaget aja. Emang A Ilham suka minta masuk kamar ya?”