Bertekuk Lutut

853 Words
"Freya, saya rindu banget sama kamu. Saya ingin ketemu. Ayo kita kencan. Kamu mau berapa, akan saya berikan sebanyak yang kamu mau, oke?" Freya hanya diam sembari terus mengaplikasikan losion me tubuhnya. Wajahnya hanya datar sembari mendengarkan ocehan lelaki hidung belang yang sudah tua Bangka, tapi belum tobat, masih saja berburu dosa setiap hari. Freya memang mengaktifkan loud speaker karena ia sembari melakukan sesuatu lain. Ia ingin tampil semaksimal mungkin mempersiapkan kemungkinan yang sangat ia harapkan. "Freya ... jangan diam aja, Sayang. Ayo jawab. Kamu mau kan ketemuan malam ini. Mau ya Freya. Saya jemput sekarang, ya. Ya Freya. Tolong Freya. Saya benar - benar rindu." Freya berjengit mendengar ocehan si tua Bangka lagi. "Udah tua masih aja bucin." Freya menggerutu sendiri. Ia baru saja menyemprotkan parfum ke leher, siku bagian dalam, pergelangan tangan, dan juga area lain yang membuat parfum wangi tahan lama. "Freya ... ayo ... saya benar - benar rindu, Freya. Kamu tahu kan saya benar - benar sayang sama kamu. Saya rela kasih berapa pun asal kamu mau bertemu saya. Ayo lah, Freya. Kamu mau berapa?" Merasa kesal atas kebucinan si tua Bangka, Freya yang baru saja menguncir rambut panjangnya, segera bicara panjang lebar dengan nada penuh amarah. "Saya sudah bilang, saya sudah tidak mau lagi bertemu dengan Anda. Karena saya sudah punya sumber uang lain yang jauh lebih kaya, dan bisa memberi saya lebih banyak." "Freya, Sayang ... jangan begitu sayang. Memangnya kamu mau berapa, hm? Ayo katakan. Saya bisa kasih kamu berapa pun. Asal kamu mau kita ketemuan. Ya?" Freya menatap ponselnya di atas nakas. Entah mengapa ia tidak tahan ketika mendengar pernyataan terakhir sang p****************g. Ia ingin fokus menjerat Archie, tapi sembari menyelam minum air kira - kira justru akan lebih maksimal kan hasilnya. Freya pun menon - aktifkan mode loud speaker. Meletakkan ponsel di telinga. Kemudian ia duduk di pinggiran ranjang. "Kasih aku rumah mewah, mau?" Freya akhirnya mengatakan hal itu. "Iya, Freya, Iya. Apa pun yang kamu mau, akan saya kasih. Kamu mau rumahnya di lokasi mana?" "Di pusat kota lah. Di perumahan elit, area rumah Keluarga Virendra." Area yang diimpikan semua orang, area paling mahal di Kediri. "Oke, Freya ... oke. Akan saya berikan apa pun yang kamu mau." Freya pun tersenyum begitu lebar. Sangat bahagia, karena selain ia mendapatkan properti mewah lain, investasi besar, ia juga bisa melakukan pencitraan dengan mudah dengan keluarga Virendra. "Oke deh Om. Mau ketemuan di mana. Jemput ya." Freya bicara dengan nada manis. "Saya bahagia sekali, Freya. Kamu sekarang ada di mana. Dijemput di mana?" Freya hanya diam, tidak menjawab, karena ia tidak sayang pada lelaki hidung belang itu. Ia hanya sayang uangnya. "Aku ada di hotel Halim." "Lho, kamu udah di hotel? Habis ketemuan sama yang lain?" tanyanya, namun sama sekali tidak ada nada kemarahan dalam bicaranya. "Aku lagi training kerja, mau naik jabatan." Freya menjawab jujur, tetap dengan santai. "Oke, lah. Kalau begitu kita nggak usah check in lagi. Langsung di sana aja kalau gitu ya. Nanti saya tuker uang selama kamu menginap di sana." "Oke, Om. Makasih ya." Freya hanya mengiyakan, padahal ia menginap di sini dibiayai oleh perusahaan. Lumayan lah uangnya bisa untuk beli tas baru nanti. Sambungan telepon pun diputus sepihak oleh Freya. Ia perkirakan lelaki tua Bangka itu akan datang tidak lama lagi. Sekarang Freya harus memikirkan segala kemungkinan. Yang jelas Archie dan si hidung belang tidak boleh saling bertemu dengan datang bersamaan. Seseorang mengetuk pintu. Freya perkiraan itu adalah Archie. Freya pun tersenyum, mempersiapkan yang terbaik demi menyambut Archie. Ia sudah mengenakan gaun malam terbaiknya, dan itu memang sukses membuat Freya nampak begitu cantik. Freya pun membuka pintu. Benar saja. Itu adalah Archie, sesuai perkiraan. Ternyata benar kemungkinan yang ia pikirkan, bahwa Archie memang akan datang menemuinya. Archie nyatanya memiliki pribadi yang tidak sedingin sikapnya. Ia masih memiliki rasa peduli yang tinggi. Terlebih pada seseorang yang menyita perhatiannya. Archie terlihat begitu tampan dengan lagi - lagi mengenakan pakaian kasual seperti itu. Menciptakan sensasi senang tersendiri dalam hati Freya. "Tuan Archie ...." "Maaf karena datang tiba - tiba." Archie bertahan dalam raut datarnya. Ia sedikit menunduk. Pikir Freya, mungkin ingin menutupi raut salah tingkahnya. "Silakan masuk, Tuan Archie." Freya berusaha bersikap sebaik mungkin. Ia harus melakukan gestur khas para bangsawan, supaya menambah nilai plus dirinya di mata Archie. Freya mendahului Archie masuk terlebih dahulu ke dalam kamarnya. Archie mengikuti di belakangnya. Wangi semerbak menyambut Indra penciumannya. Menguar dari tubuh indah Freya, dan juga dari seluruh sudut ruangan ini. Archie menatap Freya yang berjalan terpincang - pincang. Ia benar - benar gemas karena Freya menolak memeriksakan diri ke dokter, padahal ia nampak kesakitan seperti itu. "Kaki Anda masih sakit, Nona Freya? Saya ke sini untuk memastikan itu." Freya lagi - lagi tersenyum tanpa sepengetahuan Archie. Ia mengagumi betapa ia pintar, hingga bisa langsung berubah dalam mode pincang, ketika Archie datang. "Hanya sedikit sakit, Tuan Archie. Saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Freya menjawab dengan setenang mungkin. Ia ingin membuat Archie terkesan dengan ketenangannya. Freya harus bertahan dengan sikap seperti ini -- sikap yang mirip dengan Raya -- hingga Archie benar - benar masuk perangkapnya, dan bertekuk lutut kepadanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD