Wanita Gila

1203 Words
Freya terus berjalan tanpa arah. Ia hanya mengandalkan langkah kakinya yang terseok, masih terus memikirkan sumber sakit hatinya. Bayang - bayang Archie yang memanggil nama Raya terus berputar di otaknya bagai kaset rusak. Freya tak tahu kenapa rasanya seperti ini. Sangat menyakitkan. Padahal dulu ia pernah berpikir. Meski Archie mencintainya, hanya karena ia mirip dengan Raya, itu pun tak masalah. Asal ia tetap bisa meraup kekayaan dari lelaki itu. Tapi kenyataannya, setelah ia menjalani cukup jauh dengan Archie, tanpa ia sadari, ia sudah berubah pikiran. Freya tak pernah tahu, terikat hubungan dengan seseorang yang memiliki tempat khusus di hati, akan sangat rawan dengan kesakitan. Kalau tahu begini, Freya tidak akan dengan begitu mudah memberikan hati sejak awal. Harusnya ia tetap fokus pada tujuan, tanpa terbawa perasaan. Freya merutuki dirinya sendiri yang bodoh. Ia bahkan sudah seperti orang gila. Keluar malam - malam hanya dengan bathrobe, dengan rambut berantakan karena tidak sempat disisir lagi. Ia bahkan tidak membawa ponsel, tidak membawa uang. Lalu ia aka pergi ke mana? Satu - satunya hal yang Freya syukuri malam ini adalah, kondisi sudah tengah malam. Jadi orang lalu - lalang pun sudah tidak terlalu banyak. Berkurang pula jumlah orang yang melihat dirinya berpenampilan seperti orang gila seperti ini. Freya melempar cutter yang ia bawa karena sudah yakin bahwa Archie tidak mengikutinya. Luka di lehernya mulai terasa sakit dan perih. Tadi saat tersayat tida terasa sakit sama sekali saking tajam pisau cutter - nya. Ia pun tidak paham, kenapa ia sampai nekat hendak melukai dirinya sendiri segala. Freya memang benar - benar bodoh. Bodoh ... bodoh ... bodoh .... Freya tiba - tiba jatuh di trotoar karena tidak sengaja tersandung kakinya sendiri. Kakinya terluka lecet - lecet. Rasanya sangat sakit. Tapi tak seberapa sakitnya dengan kondisi hatinya saat ini. Freya kembali merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa terjatuh karena tersandung kakinya sendiri? Saking kesal dan marahnya, Freya sampai tak memiliki daya sekadar untuk berdiri. Wanita itu menangis di sembari duduk tertelungkup di trotoar. Ia menangis sejadi - jadinya meluapkan betapa sedihnya ia saat ini. Puas menangis, Freya pun bangkit. Ia berencana untuk menyeberang jalan. Ia tentu akan pergi sejauh - jauhnya hingga Archie tidak akan bisa menemukannya. Freya hanya segera berlari menyeberang jalan. Tak melihat cahaya lampu mobil yang sedang melaju dengan kencang di jalan yang sedang ia lewati. Pengemudi mobil yang tidak siap -- telanjur mengendarai mobil dengan begitu kencang -- tentu tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya berusaha menekan klakson berkali - kali. Sembari berusaha menginjak rem dalam - dalam, meski kini yang terancam adalah nyawanya sendiri. Tapi si wanita yang sedang menyeberang bukannya menghindar. Justru berhenti di tempat. Layaknya orang yang putus asa, sehingga lebih memilih mati saja. Akibat menginjak rem mendadak, mobil itu terpelanting hilang kendali. Untung saja sedang tidak ada halangan berarti di sekitar. Kondisi yang sepi pun menjadikan tidak ada kendaraan lain yang sedang melaju. Wanita tadi nampak kaget karena si pemilik mobil justru hampir celaka karena perbuatannya. Ia pun memandang dengan penuh sesal. Ia baru menyadari kebodohannya, yang menjadikan sakit hatinya, sebagai pemicu sengsara dan celaka bagi orang lain. Freya berjalan cepat menuju mobil itu. Saking kerasnya orang itu menginjak rem, hingga tercetak tanda ban memanjang di aspal. Freya berusaha mengintip dari kaca jendela mobil. Orang itu sendirian di dalam mobil. Kepalanya tersandar pada setir. Orang itu menghadap ke arah berlawanan, sehingga Freya tidak bisa menatap wajahnya. Hanya saja ia nampak kesakitan. Apa ia terluka karena insiden barusan? Freya berusaha menggedor jendela mobil. Berharap orang itu akan merespons gedorannya, yang berarti ia masih sadarkan diri, tidak pingsan. Orang itu perlahan mengangkat kepalanya dari atas setir. Tangannya nampak mencengkeram d**a. Nampak kesakitan. Kondisi yang gelap baik di luar atau pun di dalam mobil, membuat Freya belum memungkinkan untuk menatap wajah seseorang itu dengan jelas. Orang itu bukannya segera membuka pintu mobil, tapi justru membuka laci dashboard. Ia mengambil sesuatu dari sana. Seperti satu tabung kecil berwarna putih. Ia membuka tabung itu, mengeluarkan isinya ke telapak tangan. Kemudian menelannya serta merta tanpa bantuan air. Ah, itu semacam obat. Entah obat penenang, atau obat penghilang rasa sakit. Bisa jadi ia adalah pengidap gangguan mental atau gangguan penyakit fisik. Yang jelas kejadian barusan telah memacu kambuhnya penyakit orang itu. Freya yang semakin merasa bersalah, semakin kencang saja menggedor jendela mobil. Berharap orang itu berkenan untuk segera membuka pintu. Atau jika tidak mau membuka pintu, membuka kaca jendela pun Freya sudah sangat bersyukur. Yang penting ia bisa segera memastikan kondisi orang itu, kemudian ia akan meminta maaf dengan tulus. *** Athar mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia baru saja mengantar Jena pulang ke Kediri. Ia sebenarnya ingin bermalam di rumah orang tuanya. Tapi ia kini bukan lagi seorang pengangguran. Melainkan seorang CEO sebuah perusahaan besar. Ia sudah mengemban tanggung jawab berat Esok hari ia sudah harus mengerjakan banyak hal. Tentu ia butuh waktu untuk melakukan persiapan. Makanya ia harus segera kembali ke Pare malam ini juga. Ia tak khawatir karena jalanan cukup lengang di tengah malam seperti ini. Seakan sedang melaju di jalan tol, jalanan sungguh mulus tiada hambatan. Athar percaya diri bahwa jalan akan tetap tanpa hambatan sampai ia tiba di apartemen nanti. Toh apartemennya sudah dekat. Tak sampai 10 menit lagi sudah sampai. Sayangnya, ternyata prediksi Athar meleset. Ada seorang wanita yang tiba - tiba nyelonong untuk menyeberang. Begitu sadar ada mobil yang melaju kencang, wanita gila itu bukannya bergegas lari, malah pasrah berdiri di tengah jalan. Ah, jangan - jangan ia memang berniat untuk bunuh diri. Memang dasar manusia gila. Tentu saja Athar -- seseorang yang sangat menghargai kehidupan -- tidak akan membiarkan orang itu mati dengan mudahnya. Athar berusaha keras menginjak rem sembari terus menekan klakson. Karena ia melakukan pengereman mendadak, alhasil mobilnya harus terpelanting tak terkendali. Dan baru mau berhenti. Kebetulan ia sedang memakai mobil yang tidak dilengkapi dengan air bag. Tapi untung saja ia buka tipe orang yang malas menggunakan sabuk pengaman. Jadi meskipun kepalanya terbentur setir, namun benturan itu tidak terlalu keras karena terbantu oleh sabuk pengamannya. Athar ingin segera memberi 'nasihat manis' pada wanita gila itu. Sayangnya karena kejadian tadi terlalu mendadak, dan membuatnya terkejut, dadanya kini terasa sangat sakit. Napasnya pun me jadi sangat sulit. Sial. Penyakit itu kini mudah sekali kambuh. Bahkan karena hal kecil. Membuat Athar semakin kesal setengah mati dengan dirinya yang lemah ini. Wanita itu sepertinya merasa bersalah karena telah membuat Athar hampir celaka. Ia kini sedang menggedor kaca jendela mobil. Tapi Athar tidak mempedulikan ia sama sekali. Athar lebih sibuk menahan sakit. Athar perlahan mencoba untuk kuat. Ia harus mengambil obatnya, dan segera meminumnya. Supaya ia bisa segera pulih. Karena jika terlalu lama di sini, akan panjang urusannya. Orang - orang yang nanti lewat aka sibuk menolong mereka, kemudian memanggil polisi. Padahal masalah ini bukan apa - apa. Hanya sepele. Tidak ada air di sini. Athar terpaksa menelan obatnya tanpa air. Tapi itu bukan hal sulit. Karena ia sudah cukup terbiasa melakukan itu. Wanita itu masih terus menggedor kaca jendela. Athar heran dengan kelakuan wanita itu. Sebenarnya siapa dia? Kenapa sudah bosan hidup? Sembari menunggu rasa sakitnya berkurang, mata Athar memicing memperhatikan wanita itu. Dadi dalam sini, ia bisa melihat area luar dengan cukup jelas. Dan betapa terkejutnya Athar, begitu tahu itu siapa. Ternyata wanita yang ia anggap gila itu ... adalah Freya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD