Sebuah Syarat

1195 Words
Keduanya telah sampai pada sebuah restoran mewah yang tentunya dipilih oleh Freya, sesuai dengan perjanjian di awal. Freya memilih restoran termahal di Kediri. Restoran besutan salah satu orang penting di Kediri yang sudah melegenda dengan menu - menu makanannya yang ciamik, diimbangi dengan harga yang mencekik -- bagi kaum dengan perekonomian menengah ke bawah. Mereka berjalan beriringan dengan Freya yang begitu cantik, dan juga Archie yang tampan. Terang saja mereka kemudian segera menjadi pusat perhatian di sana. Pelayan pun segera menyambut mereka dengan hangat. Archie tentu saja segera memesan meja VIP, supaya makan malam mewah mereka benar - benar akan privat, tanpa gangguan dari pandangan mata - mata yang menatap iri. Kini keduanya telah duduk di meja VIP itu. Meja dihias dengan mewah, dengan lilin di beberapa bagian. Sembari menunggu menu yang mereka pesan datang, keduanya mengobrol banyak. Meski demikian, ternyata Freya belum memaafkan Archie sepenuhnya. Ia masih akan memberi satu syarat terakhir nanti. Nanti saja setelah mereka makan. Freya juga masih punya hati. Kalau ia katakan sekarang, bisa - bisa ia tidak akan doyan makan nanti. Ketika makanan datang, keduanya pun segera makan, karena memang sudah lapar. Mengingat malam sudah hampir larut. Waktu mereka habis karena make over dan juga sesi membeli gaun dan sepatu Rasa masakan di sana memanjakan lidah. Tentu saja. Jika tidak, pasti tidak akan ada yang datang. Karena standar harganya yang tinggi. Mereka terlalu banyak memesan makanan sepertinya. Masih ada beberapa piring makanan yang penuh, tapi mereka sudah tidak kuat untuk makan lagi. Keduanya mulai terlibat obrolan. "Kamu suka, kan, sama sepatu yang dipilihkan Jena?" tanya Archie. Freya mengangguk. Karena ia memang suka sepatunya. Seharusnya Archie tanya tentang gaunnya juga. Freya aka menjawab jujur bahwa ia tidak suka karena terlalu terbuka. "Suka, kok," jawabnya. "Dia memang ahlinya, sih." Freya lagi - lagi mengangguk. "Selera sepatunya cocok sama selera aku. Stiletto dengan nuansa Glitter berwarna pastel. Aku selalu suka tipe sepatu yang seperti ini." "Oh, ya? Boleh tahu alasannya?" "Simple aja, sih. Kata pepatah, sepatu yang baik akan menuntunmu ke tempat yang baik pula. Aku hanya ingin tersugesti oleh pepatah itu." Archie mengangguk mengerti. "Pemikiran yang bagus," pujinya. "Berarti terhitung mulai malam ini, masalah kita udah selesai ya." Freya mengangguk. "Masalah kita memang sudah selesai. Tapi ...." Freya sengaja menggantung kata - katanya. "Tapi apa?" Archie tentu saja sangat penasaran. "Kamu belum mengantongi maaf dari aku, Ar." Freya menegaskan. Archie pun terkikik. "Astaga ... itu ternyata." Di saat ini lah Archie teringat akan nadzarnya. Tentang jika saja ia sudah berbaikan dengan Freya, ia akan memberikan apa pun permintaan Freya, asal wanita itu berkenan untuk memaafkan kesalahannya. "Memangnya apa yang harus aku lakukan supaya kamu mau memaafkan aku, hm?" Archie mulai berbicara. "Aku akan melakukan apa pun yang kamu mau. Asal kamu mau memaafkan aku, dan hubungan kita kembali lagi seperti sebelumnya." Freya pun tersenyum penuh arti. Archie menganggap itu adalah senyuman tanda setuju dengan penawaran yang ia lakukan. Tapi Freya tersenyum karena ia memiliki satu tujuan lain. "Benar kamu mau kasih apa pun yang aku minta?" Freya coba memastikan. Seraya menambah sebuah acuan, supaya Archie terus mengingat janji yang ia buat sendiri. Sehingga lelaki itu akan terbebani jika ingin mengingkari. "Ya, akan aku lakukan apa pun yang kamu mau. Akan aku berikan apa pun yang kamu mau. Semuanya tanpa syarat. Ayo katakan, apa yang kamu inginkan, Frey?" Freya masih mempertahankan senyumnya. Supaya Archie tidak langsung salah paham dengan tujuannya. Meski Freya yakin Archie tidak bodoh sehingga harus berpikir panjang untuk mengabulkan permintaan Freya ini atau tidak. "Ini ada hubungannya dengan cafe yang akan kita bangun." Freya memberi pemanasan di awal terlebih dahulu. "Ya. Wah ... ini akan menarik sepertinya." Begitu lah tanggapan Archie. "Apa memang hubungannya dengan cafe yang akan kita bangun, Frey?" Freya lagi - lagi memasang senyuman. "Kita selama ini belum ketemu kesepakatan, di mana cafe itu akan dibangun, kan, nantinya?" Freya sengaja memberi sedikit demi sedikit petunjuk. Setidaknya Archie bisa mulai menebak - nebak. Sehingga nantinya tidak akan terlalu terkejut. "Aku udah ada lokasi yang menurut aku itu terbaik, sih. Aku mau kamu menuruti supaya cafe kita dibangun di sana." Archie nampak sama sekali tak keberatan. "Wow ... justru bagus jika ternyata kamu sudah menemukan lokasi yang terbaik untuk cafe itu. Cafe itu akan dibangun atas nama kamu. Kamu juga yang menentukan konsep serta pangsa pasarnya. Jadi kamu punya hak penuh mengambil keputusan tentang apa pun. Termasuk menentukan lokasi." Archie benar - benar memberi wadah lebar akan permintaan Freya ini. Tapi entah bagaimana reaksinya saat sudah tahu nanti. "Okay ... jadi rencananya aku pengin bangun cafe kita di sekitar Masjid An - Nur dan taman Kilisuci." Freya akhirnya mengatakan keinginannya itu. Dan benar saja, air muka Archie langsung berubah. "Masjid An - Nur dan Taman Kilisuci? Bukannya itu di Pare?" Terdengar dari jawaban Archie ini, bahwa ia mulai tidak senang dengan keputusan yang diambil oleh Freya ini. "Iya, Ar. Di Pare," jawab Freya. Archie nampak menarik napas dalam. Benar - benar kentara ia sudah panik dengan keputusan yang diambil oleh Freya. Sementara lelaki itu tidak bisa menolak, lantaran ia sudah berjanji akan menuruti apa pun yang diinginkan oleh Freya, asal segera diberi maaf. Tapi ternyata keputusan yang diambil oleh Freya begitu mengejutkan. Astaga ... kenapa Freya memilih Pare? Sementara di Pare sana ada Athar. Archie sudah cukup lega pasca Athar dilantik menjadi CEO Virendra Inc. cabang Pare. Dengan begitu, Freya memiliki kesempatan yang sangat sedikit untuk bertemu dengan adiknya itu lagi Tapi sekarang ... Freya malah ingin membangun cafe - nya di Pare. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu memilih Pare, Frey? Bukannya di Kediri juga banyak tempat strategis?" "Ya, memang. Tapi aku melihat anak muda di Pare akan lebih relate dengan konsep yang aku pilih. Uhm ... sebenernya ada alasan lain, sih?" "Apa itu?" Archie nampak begitu penasaran. Jantungnya sudah dag Dig dug tak keruan. Takut jika jawaban Freya akan berhubungan dengan Athar. "Untuk menghubungkan konsep cafe dengan situasi yang sedang terjadi." "Maksudnya?" "Karena cabang Virendra baru dibangun di sana. Aku ingin membangun cafe itu dengan nama Virendra juga. Orang akan langsung penasaran, karena ini adalah milik Virendra, tapi harga yang ditawarkan tergolong terjangkau, bisa dinikmati semua kalangan. Tenang, aku nggak akan mendompleng nama Virendra aja kok. Tentu saja Virendra akan punya saham di sana juga. Sebanyak 50 %. Jadi kita bagi hasil 50 : 50." Freya sudah memikirkan itu sejak lama. Karena ia takut Archie akan membangun cafe itu dengan uang Virendra. Sementara Athar tidak suka jika itu terjadi. Maka Freya mengambil jalan tengah saja. Jalan yang paling aman. "Gini lho Frey ... kalau kamu bangun cafe - nya di Kediri, kamu masih bisa sambil kerja. Kalau di Pare, lalu pekerjaan kamu gimana?" Archie masih mencoba membuat Freya berubah pikiran. Tapi tentu saja Freya sudah memikirkan semuanya dengan matang. Sehingga keputusan itu tidak bisa diganggu gugat lagi. "Aku udah memutuskan untuk berhenti kerja aja, Ar. Aku mau serius garap cafe kita." "Kamu kan baru naik jabatan? Apa nggak sayang?" "Nggak lah Ar. Meski naik jabatan, aku tetap adalah karyawan di sana. Cuman jongos. Pengin dong sekali - sekali berubah status jadi bos." Freya mengakhiri ucapannya dengan tertawa. Sengaja, untuk menutupi tujuan aslinya membangun cafe itu di Pare. Ya, tentu saja supaya ia berada dekat dengan Athar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD