Mulai ngidam

1434 Words
Neysa kembali menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswi semester 4 dengan ditemani oleh kedua sahabatnya. Ya, mereka adalah Cilla dan Ita. Sejauh ini berita tentang kehamilannya masih tertutup rapat. Dia bersyukur untuk itu. Namun dia bingung harus berkata apa jika perutnya mulai kelihatan membuncit? “Ney!” panggil Cilla yang dibalas lirikan sekilas oleh Neysa yang tengah asik bermain game di ponsel pintarnya. “Lo main game apaan sih?” tanya Cilla melirik ke arah Neysa yang asik sendiri. “Biasa. Game offline yang pengen dimaki itu,” balas Ita yang di hadiahi tawa kecil oleh Neysa. Cilla yang penasaran pun mendekatkan diri kepada Neysa. “Bangke! Main tai ternyata,” kesal Cilla saat melihat game yang di mainkan oleh Neysa. “Hahaha,” Neysa tertawa kencang mendengar gerutuan Cilla. “Ehh Ney. Dia baik-baik aja, kan?” tanya Ita yang dari pertama Neysa masuk rumah sakit terlihat paling khawatir. “Hm. Dia baik,” balas Neysa dengan senyum mengembang. “Asli Ney, gue khawatir pas tau ada dia.” Ita menunjukkan wajah khawatirnya sembari mengingat kejadian berdarah Neysa. “Hahaha! Iya Ney. Kalau ga ada gue, mungkin Ita udah ikutan pingsan.” tawa Cilla meledek ekspresi Ita kala itu. “Sialan lo Cil!” Ita merengut kesal. Neysa tertawa melihat mereka. Neysa bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. Mereka tahu persis bagaimana kondisi Neysa di keluarganya. Kehidupan mereka bertiga juga tidak jauh berbeda. Memiliki keluarga yang sering merendahkan dari pada memuji. Persahabatan yang cukup lucu untuk ketiganya. Berawal dari saling curhat di dalam kelompok belajar saat semester 1 dulu, hingga sekarang terbiasa dan saling tahu satu sama lain. “Kelas udah selesai nih. Kita mau ke mana?” tanya Cilla membuat Neysa dan Ita saling pandang. “Kita jalan-jalan skuy! Udah lama enggak jalan-jalan. Otak aku suntuk banget nih,” usul Neysa membuat Cilla dan Ita saling pandang. “No! Big no!” seru keduanya dengan tegas. Neysa mengangkat alisnya menatap bingung ke arah mereka. “Kenapa?” “Lo ga bisa kecapean, Ney. Ga ingat kondisi lo sekarang? Ha?” Ita mulai dengan ceramahnya. “Nah Ita bener Ney,” Cilla menimpali. “Astaga, enggak pa-pa. Aku kan ditemanin sama Yunita,” Neysa mencoba meyakinkan sahabat-sahabatnya. “Gimana Cil?” Ita menata Cilla dengan tatapan bertanya, membuat gadis itu mengetuk dagunya dan mengangguk. “Ya udah kalau Yunita jaminannya,” balas Cila membuat Neysa mengembangkan senyumnya. “Baiklah. Ayo!” Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan dengan Yunita sebagai pemandu mereka. Walau mereka bersenang-senang, mereka tetap memperhatikan pergerakan ibu hamil di dekat mereka. Mereka mengenal dengan baik papa biologis dari bayi yang ada di kandungan Neysa. Bisa habis mereka di tangan pria itu jika terjadi sesuatu pada Neysa dan calon bayinya. “Ney! Kalau lo kecapean, kasih tau ya.” Cilla mengingatkan yang diangguki oleh Neysa. “Astaga, iya. Aku ga mungkin celakain dia,” sahut Neysa menenangkan mereka. “Ya ga gitu, Ney. Lo kan orangnya suka lupa diri,” ledek Cilla membuat Ita mengangguk menyetujui. Sedangkan Yunita tertawa kecil mendengar nona-nya diledek. “Ya Tuhan! Inginku berkata Kasar! Tapi ga mungkin aku ngomong di depan anakku.” Neysa mengelus dadanya mencoba menghilangkan niatnya. “Ney-Ney! Lo kenapa? Sesak nafas?” tanya Ita membuat Neysa mengerutkan keningnya. “Ha?” “Yun! Ungsikan nona lo nih!” seru Cilla membuat Yunita langsung merangkul Neysa dan memapahnya ke sebuah kursi. “Nona, anda bisa bertahan? Perlu saya panggilkan ambulance? Atau dokter keluarga untuk datang?” Yunita memborbardir Neysa dengan pertanyaan. “Astaga! Kalian kenapa? Aku baik-baik saja!” Neysa menatap aneh tiga wanita dihadapannya. “Lo serius? Gue ga mau mati muda gara-gara lo kenapa-napa!” ucap Ita yang diangguki oleh Cilla. Neysa menggelengkan kepalanya. Kalau tahu seperti ini, lebih baik dia merahasiakan anak nya dari semua orang. “Aku enggak pa-pa,” Neysa mencoba meyakinkan mereka. “Serius?” Cilla memastikan. “He em,” “Huft! Syukur deh,” Mereka bertiga bernafas lega. Mereka tahu seberapa kaya papa dari bayi Neysa. Mereka tidak ingin mati tanpa jejak karena kelalaian menjaga permata-nya. “Yaudah, kita mampir makan dulu. Aku laper.” Neysa mencoba mengalihkan. “Skuy!” Beriringan mereka berjalan menuju tempat makan di sekitar mereka. Sepanjang jalan, mereka tak luput dari tontonan orang-orang yang lewat. Tentu saja, siapa yang tidak menoleh jika tiba-tiba ada suara tawa besar dan teriakan kencang disekeliling kalian? “Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?” tanya pramusaji di tempat makan itu. “Hm, maaf nona. Anda yakin ingin makan di tempat seperti ini?” Yunita berbisik dengan nada tak yakin. Neysa yang mendengar itu menatap Yunita kebingungan. “Memangnya kenapa?” tanya Neysa balik. “Bukankah di sini kebersihan dan gizinya kurang memadai untuk seorang ibu hamil calon penerus tuan besar?” Neysa terkekeh mendengar pernyataan Yunita. Dia mungkin bingung dengan kehidupan Neysa yang sangat jauh berbeda dari kehidupan keluarga tuan besarnya. Tapi ini lah kehidupan seorang Neysa yang sesungguhnya. Dia tidak ingin pergaulannya dibatasi hanya karena harta dan jabatan. “Tenang saja, aku dan sahabat-sahabatku sudah sering makan di tempat seperti ini. Kalau tidak aman, mungkin aku sudah lama mati dan tidak mungkin mengandung calon bayi tuan besar mu.” Neysa terkekeh membalas. Yunita tampak menatap nona-nya dengan tatapan takjub. Selama dia mengawasi setiap anggota keluarga tuan-nya, mereka tak akan sudi menginjak tempat makan seperti ini. Kumuh dan penuh udara kotor kendaraan. “Oit! Kalian ga makan?” Cilla menyadarkan Neysa yang dari tadi asik berbisik. “Aku nasi goreng petainya aja,” Neysa menyebutkan pesanannya. Mendengar itu sontak Cilla dan Ita membulatkan matanya. “Ney! Lo yakin makan itu?” Tanya Cilla. “Lo kan anti petai Ney,” tambah Ita. Neysa menganggukkan kepalanya meyakinkan kedua sahabatnya. “Iya. Aku mesan itu dan akan makan itu,” balas Neysa tersenyum lebar. “Nona mulai ngidam?” tanya Yunita membuat Neysa mengerutkan keningnya dan mengangkat kedua bahu. “Entahlah. Tapi aku sangat ingin makan itu,” balas Neysa tersenyum lebar. Cilla dan Ita saling melempar pandang. “Fix! Lo ngidam!” seru keduanya. “Permintaan pertama kamu, makanan kesukaan papa kamu sayang.” Neysa tersenyum sambil mengusap perut datarnya. “Ya udah kalau gitu, gue ke toilet dulu.” ucap Cilla yang diangguki oleh mereka bertiga. Mereka pun menyebutkan pesanan mereka yang lainnya dan membiarkan pramusaji itu menulis pesanan mereka. “Baik. Apa ada tambahan lainnya?” tanya sang pramusaji yang dibalas gelengan serempak oleh ketiganya. “Kalau begitu di tunggu pesanannya ya. Ssaya permisi,” sang pramusaji pun pergi meninggalkan meja mereka untuk memberikan pesanan ke koki di dapur. “Cilla ke mana coba? Lama amat,” keluh Ita sembari melihat jam di tangannya. “Cie yang kangen,” ledek Cilla yang tiba-tiba muncul dengan wajah meledek. “Bancat ya anda! Nyesal gue!” seru Ita kaget karena kemunculan Cilla yang seperti hantu. “Hahaha..” Neysa dan Yunita tertawa melihat perdebatan itu. Tak lama menunggu, pesanan mereka pun tiba. Cilla dan Ita mewanti-wanti Neysa yang akan menyendokkan nasi goreng petai ke dalam mulutnya. “Ney!” seru keduanya membuat Neysa gagal memasukkan nasi goreng itu ke dalam mulutnya. “Ada apa?” tanya Neysa dengan raut wajah bingung. “Lo beneran yakin makan itu?” tanya Ita dengan raut khawatir. “Iya, yakin. Kenapa sih?” Neysa menatap bingung kedua sahabatnya. “Kita takut lo muntah-muntah, nyet!” balas Cilla geram yang di hadiahi pelototan oleh Neysa. “Cil! Jangan ngomong kasar, bisa ga? Kasihan kuping anak gue,” Neysa menatap Cilla dengan tatapan mengancam. “Hehe, maaf nona Neysa. Kebiasaan,” kekeh Cilla. Neysa menggelengkan kepalanya menyadari kalau sahabat-sahabatnya memang memiliki mulut bocor seperti itu. “Tapi apa benar, nona? Nona tidak akan kenapa-napa, kan?” tanya Yunita yang ikut takut. Pasalnya jika terjadi sesuatu pada Neysa dan bayi yang ada di dalam kandungannya, nyawanya akan terancam di tangan keluarga tuan muda-nya. Neysa menghembuskan nafas kesal karena sedari tadi tak jadi makan. Dia memang anti petai. Tapi kalau anaknya yang minta, tidak mungkin dia tolak. “Tenang saja. Aku akan baik-baik saja,” balas Neysa menenangkan ketakutan mereka. “Ya udah, oke. Tapi kalau ada yang aneh, lo langsung kabarin!” ucap Cilla yang diangguki oleh Neysa. Mereka pun makan bersama menikmati pesanan mereka. Sesekali candaan keluar dari mulut mereka. Yunita yang awalnya masih formal dan segan, akhirnya luluh karena Neysa yang menyuruh untuk santai. Tanpa mereka sadari, di sebrang sana sesosok bayangan tersenyum miring. Perlahan-lahan sosok itu keluar dari tempat persembunyiannya menuju kasir tempat makan itu. “Meja yang di sana,” sosok itu menunjuk ke arah meja tempat keempat wanita yang masih menikmati makanan mereka. “Semua pesanan mereka, saya yang bayar.” sambung sosok itu membuat petugas kasir menatapnya curiga. Sadar di tatap curiga, sosok itu pun membuka kaca matanya. “Saya suami salah satu dari mereka,” sosok itu menjawab asal. “Ohh, baik. Semua totalnya Rp145.000,” ucap ibu yang bertugas menjadi kasir. “Hanya segitu?” Tanya sosok itu tak percaya. Sedangkan ibu-ibu itu tampak kesal karena harga makanannya di pandang rendah. “Kenapa? Mau bayar lebih?” tantang ibu itu. Sontak sosok itu menggeleng dan langsung mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah dari dalam sakunya. “Ini dan ambil saja kembaliannya,” ucap sosok itu yang lansung pergi. “Apa-apaan makanan murah seperti itu!” gerutu sosok itu saat memasuki mobil miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD