Part 5. His Lie

2114 Words
“Reina, kamu diet ya? Tubuhmu itu sudah kurus kering tinggal tulang belulang kenapa makan cuma seuprit sih?” Mama mengomel padaku yang menyingkirkan hampir tiga per empat porsi karbohidrat di piringku. “Masa sih mah aku udah kurusan? Beneran mah?” Tanyaku dengan nada bahagia, salah fokus dengan pertanyaan bernada marah mama, aku malah terdengar bahagia/ “Aku perhatikan sudah dua mingguan ini kamu makan dikit banget, menghindari karbo, jogging gila-gilaan, belum lagi muay thai, gym di rumah, sepeda ama sauna, kamu niat menguruskan badan atau masuk rumah sakit apa ke kuburan apa gimana sih?” Tanya Mas Reino dengan sinis. Tentu saja mama mendelik marah pada kakakku itu. “Na, kalau kamu merasa tertekan karena menjelang pernikahan, itu wajar. Justru seharusnya kamu perbanyak makanan yang bergizi agar tubuhmu kuat, bukan malah tambah mengurangi asupan makanan.” Kata mama dengan bijak. Aku menjulurkan lidahku ke arah Mas Reino, merasa di atas angin karena mama membelaku. “Enggak merasa tertekan kok mah, tapi kemarin kan berat badanku sempat naik dua kilo karena kalau grogi aku langsung ngemil.” Jawabku, menutupi alasan sebenarnya. “Jangan sampai sakit Na, pernikahanmu kan tiga bulan lagi loh dan itu bukanlah waktu yang lama. Sehat-sehat ya, jangan terlalu memforsir dirimu.” Petuah mamaku yang bijaksana. “Tapi Na, kamu benar sehat kan?” Tanya Mas Reino, tatapannya curiga. Dia seperti tidak percaya dengan alasanku tadi. “Iya, sehat kok Insya Allah.” “Emang kenapa No?” Malah mama yang bertanya kepada Mas Reino dengan heran. “Beberapa malam ini, aku sering mendengar Reina muntah-muntah mah. Tapi yang aku heran, dia pasti muntah setelah makan malam atau setelah dia makan cemilan malamnya. Kukira karena makanannya gak enak atau udah basi atau gimana, tapi kita kan juga makan makanan yang sama dengan Reina, kok kita gak muntah ya ma?” Mas Reino bertanya tapi seperti ingin mengkonfirmasi sesuatu. Aku menelan ludah. Aku lupa kalau Mas Reino yang terkesan acuh ini adalah orang yang sangat perhatian padaku dan mama, apalagi sejak menjadi kepala keluarga menggantikan papa. Jujur, sejak Mas Alan berkata aku gemuk, seperti ada alert di otakku yang menjadikanku waspada pada apa yang aku konsumsi. “Reina, mama ingin bicara berdua saja. No, kamu segera menyingkir dari sini dong.” Perintah mama pada Mas Reino, tentu saja ditolak. “Ah gak mau mah, aku ingin tahu apa sebabnya Reina jadi berubah gitu.” Tolak Mas Reino, mengibaskan tangan dan melanjutkan makan. “Kalau gak mau, besok mama kenalin kamu sama anak teman mama. Mama bawa ke sini loh, terus langsung atur lamaran, gimana?” Ancam mama. Mas Reino melihat ke arah mama, melongo, mulutnya terbuka karena kepedasan, seperti ikan koi yang megap-megap. Duuh maaf ya mas, menyamakanmu dengan ikan. “Reino, ini urusan perempuan yang harus diselesaikan di meja makan, kamu tidak boleh mendengarnya.” Kata mama dengan nada super tegas, artinya, mama tidak mau dibantah. Dengan malas, Mas Reino segera meninggalkan meja makan. Tinggallah aku dan mama berdua, mukaku pucat, pasti mama akan memberikan ceramah panjang kali ini. “Reina, benarkah apa kata kakakmu tadi? Kamu muntah-muntah tidak lama setelah makan?” Mama bertanya dengan nada tajam padaku. Kedua tangan bersidekap, tanda mama merasa jengkel. “Euuum beberapa kali ini doang kok, tapi karena aku merasa perutku tidak nyaman mah, jadi aku muntahin saja.” Aku mencoba mencari alasan yang kurasa masuk akal. Sayangnya, mamaku ini bukanlah perempuan bodoh yang akan percaya begitu saja. Mamaku ini terlalu pintar untuk aku bohongi. “Mama ingin merunut peristiwanya, Reina. Tiga mingguan ini kamu mengurangi makan malam, hanya makan dengan jumlah sedikit, tapi kalau malam kamu bisa ngemil dengan porsi yang besar. Tiga minggu ini kamu berolahraga gila-gilaan. Nah, tubuhmu juga langsung jadi kurus kering begini. Correct me if I’m wrong Reina Adikusumo, kamu tidak menderita eating disorder kan? Maksud mama jangan sampai kamu menderita salah satu dari penyakit mental itu!” Nah benar kan, mama pasti tanpa basa-basi akan langsung mengutarakan pendapatnya, dengan nada tegas dan keras. Aku menelan ludah, kecut. Pandangan mata mama sangat tajam, bak sembilu menusuk tepat jantungku. “Reina, jawab mama! Jadi mama bisa membantumu nak. Kamu putri kesayangan mama, kalau ada apa-apa, bicaralah pada mama, pasti akan mama bantu. Apakah ada masalah antara kamu dan Alan? Apakah kecurigaan kakakmu itu benar, Reina?” Aku melihat ke arah mama, yang tadi sengaja pindah duduk ke sebelahku, agar kami bisa lebih santai berbicara. Mungkin saja aku menderita eating disorder karena semua yang mama katakan itu memang benar adanya. Sejak Mas Alan berkata aku gendut, syaraf otakku selalu berkata bahwa aku gendut. Hal ini membuatku sangat membatasi konsumsi makanan, bahkan aku berolahraga secara berlebihan, yang lebih parah lagi aku sengaja memuntahkan makanan yang sudah aku konsumsi. “Reina, kamu tahu pasti bahwa seorang penderita anorexia nervosa akan selalu merasa bahwa berat badannya berlebihan, walaupun orang lain melihatmu sangat kurus. Kamu cenderung terus-menerus memantau berat badanmu, meskipun sudah jauh di bawah batas berat ideal, tubuhmu sudah kurus Na, kamu jadi parno dengan tubuhmu sendiri. Kamu tahu pasti jika seorang penderita gangguan makan ini sangat membatasi kalori dan menghindari jenis-jenis makanan tertentu. Mama merasa kamu terkena anoreksia tipe binge eating / purging, karena tipe anoreksia ini mirip dengan apa yang dikatakan kakakmu. Kamu akan makan berlebihan dalam waktu singkat tapi kemudian makanan yang baru saja dimakan, akan kamu buang, seperti memuntahkan makanan, konsumsi obat pencahar, atau berolahraga berlebihan.” Mama membuat tanda kutip saat berkata basmi. "Tolong katakan bahwa mama salah kali ini, walau mama tidak suka salah tapi jika itu menyangkut putri mama, maka mama harus membantumu nak. Kamu tahu kan kalau penderita anoreksia kelak bisa terkena sejumlah gangguan kesehatan berbahaya kan, Na? Kamu bisa terkena penipisan tulang, gangguan kesuburan atau kamu akan susah punya anak karena tidak ada asupan makan bergizi, gagal jantung, hingga kematian. Mama tidak mau semua itu terjadi padamu Reina. Ada apa? Apakah ini sindrom pra-nikah? Bukan kan?” Aku menggeleng, tidak berkata apapun. Aku tidak mungkin berkata jujur pada mama bahwa aku seperti ini karena Mas Alan kan? Bisa-bisa pernikahan ini akan dibatalkan karena mama marah pada Mas Alan. “Mungkin sih mah, aku terpikir pernikahan ini terus jadi stres deh. Aku ingin semua berjalan lancar, tanpa kendala apapun.” Elakku. “Tapi bukan berarti kamu harus mengeluarkan asupan gizi Reina. Kalau sampai seminggu lagi kamu masih berbuat seperti ini, memuntahkan makanan, mama akan mengajakmu ke psikolog dan ahli gizi.” Mama mengakhiri percakapan kami dan berlalu menuju kamar, meninggalkanku yang kemudian semakin malas makan. Aku mendengar suara kursi di sebelahku ditarik, sekarang ganti Mas Reino yang akan menceramahiku. “Na, kamu udah kurus banget. Aku curiga Si Alan itu ada andil pada hal ini. Kalau memang iya, baiknya tidak usah dilanjutkan saja pernikahan ini Na, aku gak mau kamu menderita seperti mama.” Aku menangis, air mataku meluruh usai Mas Reino berkata itu. “Kenapa semua orang ingin agar aku tidak menikah sih Mas? Terutama Mas Reino yang ngotot banget agar aku tidak jadi menikah dengan Mas Alan! Kenapa Mas? Aku kan juga ingin bahagia. Ingin merasakan dicinta dan mencintai. Kalau seperti ini kapan aku bisa merasakan kebahagiaanku sendiri Mas?” Dengan air mata berlinang, aku berkata lirih pada Mas Reino. “Bukan seperti itu maksudnya Reina. Maksudku baik, karena aku tidak mau kamu menderita seperti mama. Bisa jadi dari penampakannya Si Alan itu tampak baik, tapi nyatanya tidak Na. Kalian belum mengenal sama sekali kan? Aku mau yang terbaik buatmu Na. Masih banyak lelaki lain yang lebih layak daripada Si Alan itu yang cocok mendampingimu, memberimu kebahagiaan!” Mas Reino mengutarakan alasannya tapi tetap saja aku tidak terima. “Seperti Abdi gitu ya? Mana buktinya? Dia menghilang bak ditelan bumi kan? Siapa tahu dia malah sudah bersama bule-bule cantik di Aussie sana. Aku merasa Mas Alan yang terbaik untukku, jadi tolong Mas Reino terima hal ini. Yang akan menikah adalah aku, yang akan menjalani kehidupan rumah tangga adalah aku, bukan Mas Reino, bukan mama, bukan pula papa.” Mulut Mas Reino terbuka, seperti hendak menyanggah tapi tidak jadi karena kemudian aku pergi meninggalkan meja makan setelah sebelumnya aku membanting serbet. *** “Reina…, lu kenapa jadi tulang belulang doang gini sih? Kayak tengkorak hidup tahu gak sih? Kenapa? Stres jelang pernikahan ya? Lu mau cerita ke gue?” Rentetan pertanyaan dari Nindi saat aku minta dia menemaniku pengepasan baju pengantin. Mas Alan tidak datang karena sudah beres, tidak ada perubahan di ukuran bajunya. Aku tidak mau mengajak mama ataupun Mas Reino yang pasti akan mengomeliku habis-habisan. Pola makanku masih sama, hanya saja sebisa mungkin aku tidak mengeluarkannya lagi. Makanya aku menjadi gelisah karena aku merasa tubuhku semakin gendut. “Beneran Nin gue kurusan? Gak tambah ndut kan?” Ketakutan akan berat badan yang bertambah benar-benar momok bagiku. Aku harus tampil paripurna demi Mas Alan kan? “Na, lu gak kena anoreksia kan? Gue khawatir elu kena anoreksia.” Nindi, satu-satunya sahabatku dari SMU bahkan walau pernyataan cintanya yang nekat ditolak oleh Mas Reino. Mama bahkan minta Nindi untuk bekerja di rumah sakit yang aku komandoi. “Gue gak papa kok Nin, bener deh. Eeh habis ini makan yaa, gue traktir sekalian mau ngobrol.” Aku mengajak Nindi ke sebuah restoran Sunda terkenal yang ada di dalam mal. Hari ini pengunjung restoran dan mal sedikit, mungkin karena tanggal tua. “Na, lihat dong foto calon suamimu. Jadi gue gak salah kalau ketemu di mana gitu bisa gue sapa. Pas kemarin itu kan gue lagi cuti melahirkan jadi gak bisa datang.” Nindi memintaku menunjukkan foto Mas Alan. Ah ya, usai lulus SMU, dengan sangat nekatnya Nindi menyatakan perasaannya kepada Mas Reino. Tahu apa reaksi Mas Reino saat itu? Dia mendekati Nindi dan mengacak rambutnya, sambil tersenyum berkata gini, “Nindi, selama ini kamu selalu bersama Reina. Aku sudah menganggapmu sebagai seorang adik, jadi gak mungkin bisa memberikan perasaan lebih dari kakak ya.” Walau sempat patah hati, tapi Nindi cepat move on kok. Akhirnya dia menikah dengan kekasihnya saat kuliah bahkan sekarang sudah punya anak. “Oiya, aku lupa. Ini yang namanya Mas Alan.” Aku memberikan ponselku agar Nindi bisa melihat beberapa pose Mas Alan. “Waah cakep juga Na, walau gak secakep Mas Reino sih.” “Eh elu dah, udah punya laki masih aja bilang Mas Reino yang cakep.” Godaku. “Kan emang bener Na, laki gue ama Mas Reino emang lebih cakepan Mas Reino hehe… tapi cinta gue udah ke laki gue aja deh. Gak bakalan bersambut ama Mas Reino, secara dia nganggep gue cuma adik doang.” Kami ngobrol ringan beberapa saat, hingga akhirnya Nindi pamit ingin ke toilet dan sholat. Berhubung aku yang sedang datang bulan, aku menunggu saja di restoran ini. Restoran ini berada di sebuah mal, karena akhir pekan, pengunjung mal cukup banyak. Tidak perlu menunggu lama, hanya sekitar lima belas menit saja Nindi sudah kembali ke restoran tapi dengan wajah keruh. Hmm, sepertinya terjadi sesuatu saat dia tadi sholat. “Na, boleh nanya gak?” ”Apa tuh?” “Si Mas Alan ini apakah punya kakak atau adik yang seumuran kita-kita?” Tanyanya. “Enggak. Mas Alan anak pertama, adiknya cowok juga kok. Kenapa Nin kok tiba-tiba tanya itu?” Tanyaku penasaran. “Eeuum kalau gitu mungkin tadi gue salah lihat aja Na. Tadi sekilas pas gue keluar dari mushola ada seorang lelaki mirip banget sama Mas Alan ini menggandeng perempuan seumuran dia deh, mau ke parkiran mobil. Elu kan tahu kalau mushola di mal ini satu lantai ama parkiran mobil.” Perkataan Nindi membuatku mau tidak mau sempat berpikir curiga, karena Mas Alan menolak permintaanku untuk menemani fitting. Dia bilang sudah ada janji yang tidak mungkin dibatalkan. Untuk menuntaskan kecurigaan, akhirnya aku menelpon Mas Alan sebelum menjalankan mobilku keluar mal. Butuh beberapa kali untuk aku dial nomor ponselnya baru mendapat respon dan dijawab oleh Mas Alan. “Halo Mas… Assalamualaikum…” “Waalaikumusalam Na. Gimana tadi udah selesai fitting?” Jawab Mas Alan, eeh dia ingat kok kalau aku hari ini ada jadwal untuk fitting baju. “Udah Mas. Tinggal sekali lagi sebelum hari H. Mas Alan di mana, aku mau ajak makan siang sekalian aku kenalin ke sahabatku.” Aku berbohong, padahal Nindi tadi sudah dijemput oleh suaminya. “Gak bisa Reina, aku sedang di apotek. Ini sakit gigi jadi cari klinik yang buka di akhir pekan yang ada praktek dokter gigi. Kamu makan aja sama temanmu itu ya. Maaf ya Na, udah dulu. Ini dokter giginya sudah datang.” Tuut tuuut…. Aku melihat ke arah ponselku dengan kesal. Selalu saja seperti ini jika aku menelpon Mas Alan, sepertinya dia tidak mau aku telpon atau merasa terganggu dengan telponku. Tapi tadi sayup-sayup aku mendengar ada suara seorang perempuan yang memanggil nama Mas Alan, entah itu perawat yang memanggil atau…?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD