Part 4. His First Insult

1781 Words
Siang ini aku janji makan siang dengan Mas Alan, katanya ada yang ingin dia tanyakan padaku. Aku gugup sekaligus senang. Baru kali ini Mas Alan ingin berbicara serius denganku. Baiklah, aku akan berpenampilan paripurna agar Mas Alan terpesona denganku. Ini pertemuan keduaku dengan Mas Alan, dan untuk kedua kali hujan turun tapi kali cukup deras. Aku berpikir bahwa hubungan kami diberkahi karenanya. Aku memilih di saung yang sama dengan tempat makan kami bertemu, kulihat Mas Alan keluar dari sebuah city car warna hitam metalik. Tadi Mas Alan bilang akan diantar temannya. Tapi yang aku heran, kenapa Mas Alan keluar dari pintu supir ya? Dan kenapa dia memberikan senyum manis yang meneduhkan kepada siapapun itu yang ada di mobil yang kemudian menggantikannya mengemudikan mobil? Aku yakin betul Mas Alan belum pernah memberiku senyum seperti itu. Mas Alan menerobos derasnya hujan dan berlari menuju ke saung ini. Dia mengibaskan rambut untuk membuang air, ya Tuhaaan, kenapa aku seperti melihat adegan slow motion yang membuat liurku menetes? Ngomong-ngomong soal menetes, setelah aku menjenjak bumi lagi aku baru menyadari bahwa kemeja Mas Alan basah kuyup, seperti waktu itu. Euum apakah kali ini aku akan bisa melihat perut roti sobeknya itu? “Aaah iya, aku buka kemeja gak papa? Syukur kamu milih di saung yaa, jadi aku bisa buka kemeja dengan bebas. Sebentar yaa…” Mas Alan kemudian langsung membuka kancing kemejanya. Sebentar, apakah dia serius ingin membuka kemejanya? Terus gak pakai baju dong? Uugh jadi penasaran apakah perutnya kotak-kotak? Aku bisa lihat perutnya gak ya? Eeh eeh duh kenapa wajahku terasa panas? “Kamu kenapa wajahnya memerah gitu? Buka mata dong, makan yuk, aku lapar banget nih.” Kata Mas Alan padaku, membuatku segera membuka mata untuk menghindari malu. Kami makan dengan hening, Mas Alan tampak menikmati hidangan siang ini. Dia makan begitu lahap. Aah, aku akan mulai belajar masak deh sama bibik, setidaknya aku sudah tahu kalau Mas Alan suka masakan tradisional Indonesia. Pulang dari sini langsung mampir ke supermarket untuk membeli sayuran untuk praktek masak! Kuperhatikan dengan seksama wajah lelaki di depanku ini. Bukan tipe sosok lelaki yang berwajah sangat tampan, yang tiap perempuan akan meneteskan liur atau histeris jika lewat di depannya. Tapi wajah Mas Alan teduh dan dewasa, kata Mas Reino tentu dewasa karena sudah berumur! Kakakku itu emang kalau sudah gak suka mah ada saja kekurangannya. Keteduhan wajah ini yang membuatku jatuh hati, karena bukan tipe wajah bad boy yang suka hinggap sana sini untuk mendapatkan kepuasan dari wanita yang bersedia melemparkan diri demi kenikmatan duniawi sesaat. “Reina, boleh aku bertanya sesuatu?” Tanya Mas Alan usai makan, tentu saja boleh! Aku mengangguk layaknya boneka di dashbor mobil. “Kenapa kamu mau saja menerima perjodohan ini? Tidak ada penolakan sama sekali?” Tanyanya langsung, tanpa basa-basi sambil minum teh tawar. Aku gelagapan, kaget dengan pertanyaan dadakan ini. Tidak menyangka bahwa Mas Alan akan menanyakan hal itu. “Euum…” Aku masih coba merangkai kata, tapi Mas Alan menimpali lagi. “Untuk gadis dengan kualitas sepertimu, aku tidak yakin kamu belum mempunyai pacar atau calon suami. Status kita lumayan berbeda dari ekonomi dan sosial. Kenapa kamu menyetujui begitu saja?” Tanyanya bertubi-tubi. Aku menarik nafas panjang dan kukeluarkan perlahan, sejujurnya aku mulai tidak nyaman dengan hal ini. “Karena…, aku yakin pada Mas Alan.” Jawabku singkat, hanya satu kata tapi kurasa bisa menjawab semua pertanyaan Mas Alan. Ya, aku yakin bahwa Mas Alan adalah tipe lelaki setia, nyatanya dia memang setia *** Akhirnya setelah melalui perjalanan yang tidak mudah, Mas Reino dengan berat hati menyetujui pilihanku untuk melanjutkan rencana perjodohan ini. Tapi tetap saja sikap Mas Reino tidak hangat pada Mas Alan. Kupikir nantinya sikap Mas Reino akan berubah seiring berjalannya waktu setelah pernikahan kami. Mama yang praktis, menyerahkan semua urusan persiapan pernikahan pada sebuah wedding organizer terkenal walaupun harus menggelontorkan uang yang cukup besar. Hari ini jadwal pengepasan pertama baju yang akan kami pakai saat akad dan resepsi. Mas Alan bilang untuk langsung bertemu saja di butik desainer jadi dia tidak perlu menjemputku. Alasannya dia sangat sibuk mempersiapkan ini itu sebelum hari H. Aku percaya itu, karena dari apa yang aku baca bahwa jelang hari pernikahan malah kesibukan akan semakin menjadi. Walau mama menyewa jasa wedding organizer terbaik di Jakarta dengan biaya yang sangat menguras kantong, tetap saja mama turun tangan langsung untuk ikut campur memberi tahu apa yang dirasa terbaik bagi pernikahan ini. Aku adalah tipe orang yang tidak suka ngaret, hingga untuk memberi kesan baik pada tim desainer baju, aku berangkat jauh dari jam yang ditentukan. Saat perjalanan ke butik, saat di perempatan lampu merah, tiba-tiba mataku menangkap sosok lelaki yang sangat mirip dengan Mas Alan memakai mobil yang bukan milik Mas Alan. Aku sempat melihat sekilas ada perempuan di kursi sebelah supir. Tapi, aku jadi ragu benarkah itu Mas Alan? Mobil kami memang bersisian, tapi karena aku sedang membawa jeep Cherokee, posisiku lebih tinggi dari city car hitam metalik di sebelahku ini, membuatku ragu benarkah yang aku lihat tadi adalah Mas Alan? Kalau iya, lalu siapa perempuan itu? Sekelebat aku teringat bahwa mobil ini sama dengan yang mengantar Mas Alan ke rumah makan waktu itu. Daripada penasaran, aku memutuskan untuk membuntuti saja mobil itu. Tapi Ya Tuhan, kenapa pula sih Jakarta bisa semacet ini? Lagipula aku juga pakai Cherokee yang berbadan lebar, membuatku sulit bermanuver menembus kemacetan agar bisa tetap mengikuti mobil yang aku kira tadi adalah Mas Alan. Huuft, aku menghembuskan nafas kesal, bibirku mengomel sendiri kenapa tadi tidak membawa si Mini saja, malah nekat membawa Cherokee ini. Oiya kenapa tidak kutelpon saja Mas Alan? Video call gitu yaa? Aku bisa pakai alasan mengingatkan dia untuk pengepasan baju. Waah kenapa baru terpikir hal ini sih? Kujentikkan jari, tanda menemukan ide cemerlang. Tidak mau membuang waktu lagi, aku segera melakukan panggilan video kepada Mas Alan, hmm… sampai tiga kali percobaan, belum juga ada respon dari Mas Alan, membuatku curiga. Tapi saat hendak aku matikan, tiba-tiba muncul video Mas Alan di layar ponsel pintarku. Aku sengaja meminggirkan mobil agar bisa konsentrasi menelpon. Euuum kok lokasi Mas Alan tampak aneh sih? Bukan di dalam mobil, bukan pula di butik. Apakah tadi aku hanya salah lihat orang yang mirip Mas Alan ya? “Hai Reina, ada apa? Maaf tadi aku sedang di toilet di mini market ini, kan tidak mungkin aku menjawab panggilan videomu toh, bisa-bisa kamu gak konsentrasi nyetir.” Belum juga aku bertanya, Mas Alan sudah membuatku terbang melayang hingga tembus awan. “Maass iiih, maluuu tau” jawabku manja, “Mas Alan jangan lupa jam empat ini kita harus pengepasan baju di butik Kak Lana yaa. Aku dalam perjalanan ke situ.” “Iya, gak akan lupa kok. Ini lagi mampir mini market karena tadi kebelet pipis banget sama sekalian beli air mineral. Ya udah ya, aku bayar dulu dan sampai ketemu di butik. Daah….” Mas Alan yang menutup panggilan video itu tanpa mau menungguku ucap salam. Tapiii yaa sudahlah, mungkin saja tadi aku silap mata. Mungkin karena aku terlalu rindu pada Mas Alan jadi saat ada sosok lelaki yang mirip, di mataku itu adalah Mas Alan. Yaa, mungkin saja seperti itu. Berpikir seperti itu membuat hatiku menjadi tenang, tidak lagi gusar. Aku melajukan mobilku ke arah butik, tidak sabar ingin segera bertemu Mas Alan. Sampai di parkiran depan butik aku belum melihat mobil Mas Alan, jadi aku memutuskan untuk langsung masuk saja dan menunggu di dalam butik. Tapi tidak perlu menunggu lama, hanya sekitar sepuluh menit dari aku datang, Mas Alan tiba. “Hai Mas…” Sapaku, berdiri dan menyambutnya. Tapi ada yang aneh, wajah Mas Alan tampak tidak nyaman, seperti ingin segera pergi dari sini. “Reina, aku tidak bisa lama karena ada rapat sebentar lagi, bertemu klien penting. Jadi setelah ini aku langsung pergi ya.” Tanpa basa basi, tanpa ba bi bu, Mas Alan langsung berkata seperti itu. Dia bahkan tidak membalas sapaanku. “Tolong tunggu sebentar sampai aku memakai kebaya untuk akad ya Mas, aku butuh masukan biar lebih sempurna.” Pintaku pada Mas Alan. Dia tidak berkata iya, tapi hanya melihatku saja dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Apakah aku berkata salah ya? “Mbak, boleh tolong segera dipas yaa.” Katanya pada seorang staf butik yang menunggu kami, abai pada permintaanku. “Baik pak.” Staf yang bernama Intan segera melakukan perintahnya. Aku tersenyum masam. Padahal aku sudah merasa rindu ingin bertemu Mas Alan, tapi kenapa dia malah begitu cuek? Intan sudah selesai mengepas jas dan celana yang akan dipakai Mas Alan. Untuk menghemat waktu, aku juga segera memakai kebaya warna off white yang akan dipakai untuk akad. Intan meminta staf butik lain untuk membantuku. Mereka tersenyum penuh hormat, karena tahu bahwa aku dan mama adalah pelanggan prioritas di butiknya ini. Ternyata memakai kebaya ini cukup menguras energi. Maklumlah ini kebaya dengan begitu banyak kancing yang memakan waktu untuk dipasang sat per satu, karena aku takut Mas Alan pergi sebelum melihatku memakai kebaya ini, akhirnya aku minta beberapa kancing di bawah untuk dibiarkan saja, tidak usah terkancing. Sayangnya itu kesalahan terbesarku, dan seharusnya aku menyadari ada sesuatu pada Mas Alan. “Mas, gimana?” tanyaku, terburu-buru keluar dari tempat fitting kemudian melenggokkan tubuhku di depan Mas Alan yang duduk di sofa. Bukannya langsung menjawab, dia malah melihat jam tangannya. Kemudian, dia melihat ke arahku dari ujung kepala sampai ujung kaki, membuatku grogi karena dia tidak berkata satu patah kata apapun. Tapi aku sempat melihat keningnya berkerut saat melihat ada beberapa kancing kebaya yang sengaja tidak terkancing di bagian bawah. Mas Alan berdiri, melangkah ke arahku membuatku sedikit melangkah mundur karena tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Mas Alan. Tapi tiba-tiba tangannya merengkuh pinggangku, membawaku ke pelukannya, tentu saja aku tersipu, wajahku mungkin sudah memerah, semerah kepiting rebus karena malu. Aku menoleh kanan kiri, melihat staf butik yang terkikik sendiri. Mas Alan memajukan wajahnya ke samping wajahku, bukan hendak mencium, tapi dia membisikkan suatu kalimat yang membuat senyum malu dan semburat pink di pipiku menghilang dengan tiba-tiba. “Kamu gendutan ya sampai kebaya ini aja gak muat? Aku tidak suka cewek gendut. Turunkan berat badanmu agar kebaya ini muat.” Kata Mas Alan. Kemudian dia melepas pelukannya di pinggangku dan melangkah pergi. Tapi aku sempat mendengar dia menjawab panggilan telepon entah dari siapa. “Iyap, ini sudah selesai kok. Tunggu ya.” Katanya dengan suara yang sangat lembut, jauh berbeda dari ketusnya dia berbisik padaku beberapa detik lalu. Aku syok, kakiku melangkah mundur dengan gemetar karena terlalu kaget mendengar perkataan calon suamiku itu. Beruntung ada dua staf butik yang sigap memegang tubuhku dari belakang. Ya Tuhan, bukan pujian yang dia berikan padaku, tapi malah hinaan. Aku menutup wajah dengan dua tanganku, menetes air mata. Staf butik menjadi heran karena bukan kebahagiaan melainkan air mata kesedihan yang aku tampakkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD