Part 3. The Other Man, Alan Sunoto

1529 Words
“Mas Reino! Apa-apaan sih tadi itu?” Aku mengomel kesal pada Mas Reino di sore hari saat sedang bersantai. “Apa-apan apanya sih? Pulang sekolah langsung ngomel bukannya ucap salam, cuci tangan dan ganti baju dulu gih. Bau matahari tau gak sih kamu tuh.” Bukannya menjawab, Mas Reino malah ganti ngomel tapi matanya tetap fokus ke arah televisi yang sedang menyiarkan kesuksesan seorang petani muda. “Mas kalau mau jadi petani kok ambil kuliahnya fakultas teknik sih?” Mendadak aku malah amnesia dan malah menanyakan hal lain. “Iya nih salah jurusan sepertinya ya aku. Eeh apaan tadi tuh kamu marah-marah?” “Itu apa-apaan tadi Si Abdi tadi? Jadi bodyguard kok sesama anak kelas dua belas sih? Kukira waktu Mas Reino bilang ada bodyguard itu anak kuliahan.” “Ooh Abdi ya? Heey dia juga umurnya sepuluh bulan lebih muda darimu loh, tapi dia jago taekwondo Na. Dia pernah loh menang pas dikeroyok preman kampung, pakai tangan kosong pula. Makanya aku titip kamu ke dia. Anaknya emang tengil dan iseng, tapi dia cukup bisa dipercaya.” “Emangnya di SMU Swasta Horay ada apaan sih? Aku gak akan mengalami perundungan lagi kan?” Tanyaku dengan nada khawatir. Mendadak aku teringat saat sering dihina dan diejek karena status perceraian papa dan mama. “Tenang aja, gak ada yang berani deh. Udah aku bilang kan, Abdi bisa dipercaya untuk menjagamu. Udah deh, nyaman aja di sekolah itu. Gak usah minder Na, kamu sempurna kok. Cantik, pintar, baik. Yang ada kamu bakalan dapat banyak penggemar cowok tuh di sekolah.” “Itu yang bilang kan karena Mas Reino kakakku. Aku tuh emang putri dari Nyonya Prabawati Adiwangsa tapi aku bukanlah gadis serba bisa kaya di novel-novel online itu Mas. Mapel aku memang jago tapi kalau untuk ekskul? Aku cuma jago berkuda dan berenang, voli biasa aja, basket gitu deh, lari malas, softball gitu deh bisa mukul bola aja udah bersyukur. Makanya aku juga bukan siswa yang bersinar banget kan? Andai saja ada pelajaran berkuda di sekolah, aku pasti jadi wakil sekolah terus kalau ada lomba ya Mas?” “Hmmm ngehalu jangan terlalu tinggi Na, kalau jatuh, sakit banget nanti. Udah ikuti aja apa yang berlaku. Olahraga yang kamu sebutin semua tuh, Si Abdi jago loh. Nanti minta dia untuk ngebimbing kamu aja.” “Eh Mas, dapat salam dari Nindi. Sepertinya dia suka Mas Reino.” Aku menyampaikan salam Nindi pada Mas Reino. “Waalaikumusalam. Nindi yaa… kalian sekolah yang bener aja, gak usah mikir yang lain selain belajar. Jangan nekat pacaran sebelum aku kasih ijin.” *** Sudah beberapa bulan Abdi bersekolah, kami jalani dengan biasa saja. Tidak ada hal yang luar biasa terjadi padaku, jadi percuma aja Abdi diminta jadi bodyguard dadakan. Aku bersyukur karena di SMU ini, dengan jumlah murid yang relatif banyak dan dari berbagai status sosial, bisa mengaburkan statusku hingga tidak ada siswa yang melakukan perundungan kepadaku. Banyak gosip dan bahan perbincangan baru yang silih berganti tiap hari karena terlalu banyak siswa di sekolah ini. Aku tidak banyak menambah teman baru, tetap saja selalu bersama Nindi bagai saudara kembar beda bapak dan ibu. Saat ini mapel olahraga, salah satu mapel yang aku tidak begitu suka. Tapi mau gimana lagi, aku harus ikuti mapel ini kan? Olahraga basket! Huwaaa salah satu yang aku tidak suka karena aku tidak pandai membawa bola dan melakukan tembakan. Benar saja, grupku kalah, mungkin saja aku menjadi penyebab terbesar kekalahan ini. Teman kelas yang lain melihatku dengan tatapan menghina, menyedihkan sekali tidak bisa membawa bola menghindari lawan dan melakukan tembakan. Itu yang tadi sempat aku dengar. Aku yang satu kelas dengan Nindi, tapi hari ini dia tidak bisa ikut basket karena sakit perut, berjalan lunglai hendak ganti baju. Nindi sudah menungguku di pinggir lapangan dengan wajahnya yang tampak nyeri menahan sakit. Aku masih lunglai, berjalan menunduk menuju ke arah Nindi. “Hei nona, kenapa sih kalau jalan selalu melihat ke bawah terus? Gak ada duit kok.” Tiba-tiba sosok tubuh tinggi berada di sebelahku. Cengiran Abdi yang khas dan iseng segera terlihat, tangannya mengacak rambutku yang aku kucir menjadi kacau. Hal ini membuat siswi-siswi melihatku dengan pandangan kesal dan iri. “Abdi! Jangan rusak kuciran gue dong.” “Eh Na, ntar pulang sekolah bareng gue aja ya. Ada perlu.” “Naek motor? Terus Nindi gimana dong?” Tanyaku, melihat ke arah Nindi yang masih saja meringis. “Kagak, hari ini gue bawa mini kok. Kita anterin Nindi dulu habis itu ngobrol bentar ya di Mang Kumis.” Abdi menyebut nama Mang Kumis, mie ayam langganan yang jadi favoritku yang berjualan di taman dekat rumah. “Na, semester depan kita udah lulus SMU, udah punya bayangan mau lanjut kuliah di mana?” Tanya Abdi tanpa basa basi saat kami sudah berada di warung Mang Kumis. Aku yang sedang mencampur saus tomat dan sambel ke mangkuk mie ayam, sempat terhenti sebentar, tapi kemudian lanjut lagi. Tentu saja aku memikirkan hal itu dari lama, lanjut ke fakultas apa. “Manajemen UI. Gue kudu lanjutin usaha emak. Mama bilang ntar gue mau gak mau harus turun langsung ke manajemen rumah sakit.” Abdi melihatku dengan intens, aku langsung menunduk lagi, merasa tidak nyaman dengan tatapan mata itu. “Kenapa sih suka banget nunduk Na?” “Elu bikin gue gak nyaman, gue gak suka ditatap kaya gitu tau gak.” Keluhku. “Euum kalau ditatap intens gak suka, tapi elu pasti suka kan kalau jadi bini gue?” Tembakan Abdi yang tiba-tiba membuatku tersedak sambal pedas. “Uhuk… uhuk… Pedesss pedesss, mana aqua?!” Aku berseru panik, mencari keberadaan air mineral. Sigap Abdi memberikan air mineralnya karena tadi aku pesan es teh manis. “Nih, minum aqua gue aja.” Sodornya, lengkap dengan sedotan stainless yang selalu dibawanya. Aku menegak hingga setengah botol air mineral itu. “Abdi! Apa-apaan sih elu? Pedes tauk bikin gue keselek!” “Galak juga ternyata elu Na. Gue bakalan kuliah di Aussie lagi karena papa nyuruh gue ke sono. Sebenarnya karena gue emang minta cuma setahun aja sekolah di Jakarta dan lanjut kuliah di Sydney. Tapi sekarang gue ngerasa berat ninggalin Jakarta, Na.” Jawab Abdi, tumben kalem. “Kenapa?” Tanyaku, setelah bisa meredakan rasa pusing dan panas akibat tersedak tadi. “Karena elu, Na. Setdah kok bisa sih elu gak tahu kalau gue suka ama elu?” Jawab Abdi kesal. Aku mendelik kesal padanya. Meneketehe dia suka ama gue, dia aja gak pernah bilang suka kok. “Elu gak ada angin, gak ada hujan, kenapa bisa tiba-tiba banget sih jadi suka ke gue?” “Gue suka ama elu, Reina Adikusumo. Gue pingin elu jadi bini gue, seriusss!!” “Bini bini. Masih kecil Ab, sekolah dulu deh yang bener.” Kataku, coba menghindar. Sejujurnya aku sedikit melambung karena rayuan Abdi ini. “Gue gak ngerayu elu Reina, gue serius pingin jadiin elu istri gue.” “Okay.” Jawabku akhirnya, karena malu melihat lirikan beberapa pasang mata yang melihat ke arah kami dengan heran. Masih memakai seragam SMU tapi sudah ngomong bini, istri. “Bener ya Na! Gue bakalan tagih janji elu, sepulang gue dari Sydney.” *** Sayangnya janji ya hanya semanis janji di mulut saja. Dua tahun awal kepergian Abdi ke Sydney, kami masih berhubungan intens, dia juga selalu pulang saat libur musim dingin di sana, dan itu bisa selama tiga bulan di Indonesia. Tapi mulai tahun ketiga, Abdi mulai jarang menghubungiku. Dia semakin jarang menelpon, semakin jarang video call, membuatku harus realistis. Mungkin saja dia sudah melupakan janjinya, ingin menjadikanku istrinya. Yaah, janji masa remaja yang bisa terlupa jika engkau bertemu gadis baru yang bisa menjadikanmu lupa. Waktu terus berjalan, aku semakin menyibukkan diri pada kegiatan kampus. Sedikit banyak, mama juga sudah mulai memintaku untuk langsung praktek agar aku tidak kaget saat terjun langsung mengatur manajemen. Kehilangan Abdi, lupanya dia padaku, membuatku semakin minder. Ternyata memang aku tidak sespesial itu walau bagi seorang lelaki yang pernah ngotot ingin menjadikanku sebagai istrinya. Aku tidak menutup diri dari lelaki kok, jika ada cowok yang suka, sebisa mungkin aku akan jajaki proses itu. Nyatanya, mereka mundur saat tahu ada nama Adiwangsa yang melekat padaku. Padahal bukan mauku lahir membawa darah Adiwangsa. Mereka pikir, pasti akan sangat sulit untuk berbaur dengan trah Adiwangsa ini. Sedangkan satu lelaki lagi, malah memanfaatkan nama besar yang melekat padaku untuk kepentingannya sendiri. Jadi yaaah, hanya ada dua kemungkinan saja, mundur teratur atau malah memanfaatkan nama keluargaku demi kepentingan pribadi. Akhirnya aku memutuskan untuk lebih fokus pada kuliah dan pekerjaan saja. Nyatanya hal ini semakin membuatku merasa minder, walaupun kehidupanku nampak sempurna di luar sana. Tidak ada yang tahu bahwa seorang Reina Adikusumo bisa merasa minder jika harus berhadapan dengan lelaki. Mungkin hal ini yang membuat papa kemudian menjodohkanku dengan anak sahabatnya, terlepas dari perjanjian konyol mereka saat kecil. Lagipula lelaki yang dijodohkan denganku itu, menurut papa mempunyai sikap yang sopan dan masa depan yang cerah, dia adalah Alan Budiawan Sunoto. Seorang lelaki yang mampu membuatku merasa di langit tertinggi sekaligus di titik terendah bumi di saat bersamaan, karena dia menjadikanku ratu walau dengan segala keterpaksaan, sekaligus juga dia hinakan. Dia, Mas Alan, suamiku, tanpa aku tahu menyimpan rahasia yang semua istri pasti akan menangis jika terjadi padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD