Chapter 2 - Selamat

533 Words
“Si Kamprett itu punya satu anak laki-laki. Siapa tahu dia liat barang yang kucari, kalau dia tidak tahu, kumakan saja dia nanti!!!” teriak mahluk itu penuh kemarahan. Saat aku mendengar si mahluk itu yang berkata ingin memakanku, tentu saja aku ketakutan setengah mati. Dengan tubuh gemetaran, aku berusaha untuk semakin meringkuk dalam selimutku. Suara langkah kaki yang diseret itu kembali terdengar. Kali ini, mahluk itu menjauh dari kamar Bapak dan menuju ke kamarku. Setelah beberapa saat, aku mendengar suara teriakan marah dari kamarku. Aku tahu alasannya, mahluk itu tidak dapat menemukanku di sana. “Suprapto!!!” terdengar dia meneriakkan nama Bapak dengan penuh kemarahan. Aku menutup telingaku karena suara keras itu begitu memekakkan telinga. Saat itu aku tidak sadar, kenapa dengan suara sekeras itu dan keributan yang terjadi dalam rumahku, tidak ada satu pun tetangga yang datang ke rumahku dan menanyakan apa yang terjadi. Aku masih meringkuk ketakutan dalam selimutku di atas tikar pandan yang ada di lantai kamar Bapak selama beberapa jam ketika akhirnya aku merasa lega setelah mendengar suara adzan subuh dari mushola. “Alhamdulillah,” kataku perlahan. Saat itulah aku bersyukur karena aku mau mengikuti saran Bapak dan memilih tidur diatas lantai dingin di kamar Bapak dibandingkan ranjang hangat di kamarku. Kalau sempat aku tidak mengindahkan saran Bapak kemarin pagi, bisa-bisa hari ini tidak ada lagi pemuda yang bernama Handoyo di kampung Tegalpring ini. Dan itu artinya, cerita ini akan tamat bahkan sebelum dimulai, ya kan? Setelah yakin jika fajar memang sudah menyingsing, aku kemudian duduk di atas tikar pandan dan melipat selimutku. Ketika bangkit berdiri, aku melihat sebuah tali kecil yang terlihat sedikit keluar dari bawah tikar pandan yang selalu dipakai Bapak untuk tidur. Dengan sedikit penasaran aku membuka tikar pandan Bapak dan melihat seutas tali yang membentuk kalung. Tali itu kelihatannya bukan sesuatu yang istimewa, mungkin dari benang jahit biasa yang terdiri dari beberapa helai kemudian digabung menjadi satu. Tapi yang menarik perhatianku jusru liontin yang tergantung di tali itu. Bentuknya aneh, tipis dan sedikit lebar. Tipisnya menyerupai kulit kambing yang sering dijadikan beduk. Liontin menyerupai kulit itu memiliki ukuran kecil, lebarnya cuma seukuran jari jempol kaki. Bentuknya juga abstrak, tidak kotak, tidak berbentuk lingkaran, pokoknya tidak berbentuk deh dan terkesal dipotong sembarangan. Benang jahit berwarna hitam yang digunakan sebagai tali itu juga dimasukkan sekenanya ke lubang-lubang kecil yang ada di sepanjang sisi atas benda itu. Dengan penasaran, aku mendekatkan liontin kulit berbentuk aneh itu ke wajah dan mencoba menciumnya. Aku curiga kalau benda itu berasal dari kulit hewan dan aku akan mencium bau anyir atau amis seperti saat mencium kulit kambing yang dijadikan bedug yang ada di mushola, tapi ternyata dugaanku salah. Aku sama sekali tak mencium bau anyir dari potongan benda yang kusangka kulit itu. Aku justru merasa sedikit curiga sesaat kemudian, karena aku mencium bau wangi dari benda itu, bukan bau amis seperti yang kuduga. “Apaan sih ini?” gumamku dalam hati. Tiba-tiba, seperti disengat petir, aku teringat kejadian mengerikan semalam. Mahluk yang ingin memakanku itu mencari ‘sesuatu’ di kamar Bapak. Dan aku yakin kalau dia sudah mengobrak-abrik semuanya kecuali tikar pandan tempatku tidur di lantai tadi malam. “Apa mungkin ini yang dicari oleh mahluk itu?” tanyaku dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD