Chapter 3 - Perut Mules

544 Words
Tak lama kemudian, aku memutuskan untuk menyimpan kalung itu dan menanyakan kepada Bapak saat dia pulang nanti. "Tapi, mau kusimpan dimana?" batinku dalam hati. "Kalau mahluk itu datang lagi, gimana?" lanjutku dengan tubuh yang bergetar karena ketakutan setelah membayangkan kembali kejadian menakutkan tadi malam. "Kupakai saja lah, daripada ditinggal dalam rumah, takut hilang dan nanti Bapak marah," kataku sambil memakai kalung aneh itu ke leherku. Aku tidak merasakan apa-apa sama sekali saat memakai kalung itu. Hanya ada sedikit rasa hangat yang mengalir ke arah kepalaku dan kearah bawah tubuhku, lebih tepatnya ke burung kecil di sela-sela kedua kakiku. Sebuah ide aneh tiba-tiba muncul di kepalaku, “Jangan-jangan ini kalung sakti?” Tapi, aku segera menepis pikiran itu, "Ah apaan sih, mana ada jaman segini kaya gituan." Kemudian aku keluar dari rumah papan sederhana milik kami dan berjalan ke halaman depan. Biasanya, jam setengah tujuh pagi seperti sekarang, bakalan ada tukang soto lewat dengan menggunakan motor. Aku mau beli soto buat sarapan. Tak lama kemudian, seperti dugaanku, mas-mas penjual soto yang kutunggu pun lewat di depan rumah. Aku memanggilnya dengan lambaian tangan. "Mas!!!" teriakku ke arah penjual soto itu. "Iya, Mas," jawab si penjual soto sambil mematikan motornya di depanku. Aku pun mengulurkan mangkok kosong dan selembar uang lima ribu rupiah, "sekalian sama nasi ya Mas." "Iya," jawab si penjual soto dengan agak canggung sambil sesekali melirik ke arah kiri dan kanan. "Napa Mas?" tanyaku keheranan dengan tingkahnya. "Bukan Mas, maaf ya Mas. Besok-besok, saya nggak bisa ngejualin soto sama Mas," kata si penjual soto pelan. "Kenapa?" aku kaget dengan kata-kata si penjual soto. Dia penjual soto langgananku, entah kenapa tiba-tiba dia bersikap seperti barusan. "Soalnya, soalnya, itu," si penjual soto agak ragu-ragu, "kata warga sini, Bapak Mas Handoyo ditangkap polisi karena nyuri di rumah Pak Kades, kami para penjual kelilingan dilarang jualan ke Mas Handoyo sama centengnya Pak Kades tadi pagi," lanjutnya pelan. "Sempakk!!!" aku pun tak bisa lagi menahan makian keluar dari mulutku. Tak lama kemudian, si Penjual Soto pun memberikan mangkok yang sudah berisi soto. Isinya jauh lebih banyak daripada biasanya, tapi aku hanya bisa tersenyum kecut karena aku tahu, besok dia tidak akan lagi menjual sotonya padaku. Sebuah nama keluar di kepalaku, Kepala Desa Tegalpring yang bernama Teguh. "Apa salah keluargaku sampai kamu berbuat begitu kepadaku dan Bapak?" geramku dalam hati. Aku kemudian masuk ke dalam rumah dan sarapan soto seadanya. Setelah itu, aku mandi dan mengenakan baju seragam sekolahku. Sesaat kemudian, aku berjalan menuju ke kamar depan. Tapi tiba-tiba aku merasakan perutku memberontak. "Sempakk!!" makiku dalam hati, “sudah rapi mau berangkat sekolah, pake mules lagi.” Aku kemudian melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 06:45, masih lima belas menit lagi. Mungkin masih sempat ke belakang dulu 10 menit, baru nanti ngebut sampe sekolah, kurang lebih seperti itulah rencanaku Dengan setengah berlari, aku menuju ke kamar mandi rumahku yang ada di belakang. Secepat kilat, aku melepas celana abu-abuku dan langsung berjongkok di dalam sana. Namanya juga kampung, kami tak memakai toilet duduk. Di saat sedang serius menjalani latihan tenaga dalam dengan menyalurkan tekanan ke perut agar semua energi negatif dari tubuhku terbuang melalui lubang yang ada di bagian belakang tubuhku, tiba-tiba aku justru mendengar suara bisikan lirih dari balik dinding kamar mandiku yang berbatasan dengan tetangga sebelah rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD