PART 4 - TERUSIR.

1695 Words
PART 4 – TERUSIR. Pemakaman Burhan berlangsung cepat. Sungguh tragis, hanya karena melihat kesedihan di mata sang putri, membuat Burhan harus meregang nyawa, karena penyakit jantungnya yang memang ia derita selama ini. Aira masih bersimpuh disamping nisan sang Ayah. Tanah dihadapannya masih basah, para pengantar yang tadi ikut membantu memakamkan Ayahnya, satu persatu sudah kembali pulang. Aira mata masih terus mengalir di wajah cantiknya. Semua salahnya, andai ia tidak mengambil keputusan mendadak semua tak akan terjadi. Andai ia bisa menerima jika Azka menjadikannya pemain cadangan, Ayahnya tidak akan pergi. Masih teringat bagaimana ia melihat wajah bahagia sang Ayah ketika menjabat tangan Azka di depan penghulu. Bagaimana Ayah memberi wajangan supaya Azka mampu menjaga dan membahagiakan dirinya. Bahkan Ayah mencium keningnya sebelum Azka membawanya pergi dari desa ini dengan berstatus seorang istri satu bulan yang lalu. “Aira putri Ayah satu-satunya, tolong bahagiakan dia. Jangan pernah sakiti hatinya. Selama Ayah membesarkan putri Ayah, Ayah tidak pernah memukulnya. Nasehati jika suatu hari putri Ayah membuatmu kesal.” Aira saat itu hanya menunduk malu. Walau sudah berstatus istri, namun ia masih tersipu jika beradu pandang dengan suaminya sendiri. Mungkin karena mereka baru kenal tiga bulan ini. Sudah kenalnya cepat, langsung nikah pula. “Baik Pak,” jawab Azka singkat. “Tenang saja Yuni, aku akan memastikan Azka menjaga Aira dengan baik.” Lia Mamanya Azka yang saat itu sedang tak enak badan, kembali mengenakan kursi rodanya. Seorang perawat siap sedia disampingnya. “Titip Aira ya Li,” ucap Yuni. Yuni kembali memeluk erat putrinya. Setelah nyaris delapan belas tahun, baru kali ini ia berpisah dengan Aira. Tak lama Lia segera masuk kedalam mobil. Aira yang baru mau masuk kedalam mobil, mendengar seseorang memanggilnya. Aira melihat sesosok tubuh yang ia kenal berdiri di depan gerbang. Kak Alam. Aira membatalkan langkahnya untuk masuk kedalam mobil, memilih menemui kakak kelasnya yang juga tetangga rumahnya. “Kak Alam,” serunya. “Aira, maaf aku gak bisa datang saat akad nikahmu berlangsung kemarin. Aku juga tidak bisa menghadiri resepsimu nanti di kota. Ini kado pernikahan dariku.” Aira menerima bingkisan kotak yang diberi kertas kado. “Terima Kasih kak,” ucapnya lirih. Aira tahu Alam pasti sedih kehilangannya. Mereka cukup lama dekat. “Aira!” Panggilan terdengar dari suara Ibunya. Mungkin untuk mengingatkan jika waktu bertemu dengan Alam sudah habis. Setelah tersenyum tipis, Aira kembali masuk kedalam mobil yang akan membawanya pergi dari desa ini. Suasana mendadak hening. “Itu tadi siapa?” tanya Lia pada menantunya. Aira tertunduk. Malu. “Kakak kelas Ma,” ucapnya. Dan saat Aira menjawab, helaan napas keluar dari mulut Azka. Walaupun Azka yakin ia mencium aroma patah hati pada lelaki yang tadi menemui istrinya. “Ooo mama kira mantan kekasih kamu,” goda Lia. Ketika Aira memandang kaca spion, tatapannya bertemu dengan mata Azka. Lalu Aira menunduk menyembunyikan rona wajahnya. “Hmmm bukan ma. Hanya teman.” Aira jelas berbohong, namun untuk apa juga ia harus jujur. Toh hubungan dia dan kak Alam memang harus usai. Aira hanya memiliki teman dekat bernama Alam. Kemana ia mau, kak Alam pasti mengantarnya dan selalu memastikan jika ia baik-baik saja. Namun perasaan yang Aira rasakan saat pertama memandang Azka berbeda dengan perasaan saat bersama Kak Alam. Jantungnya selalu berdetak kencang hanya dengan memandang mata Azka, suaminya. Aira mengusap nisan Ayahnya untuk yang terakhir. “Maafkan Aira Yah, maaf,” isaknya. “Neng Aira, sebaiknya kita pulang. Kasihan Ibu Yuni di rumah masih terus menangis.” Salah satu tetangga Aira mencoba menasehati Aira. Karna hari sudah mulai gelap. Beberapa tetangga ada yang tetap menemani Aira di pemakaman. “Iya bu, kita pulang sekarang.” Lalu Aira bangkit, kembali menoleh ke arah makam Ayahnya sebelum beranjak pergi. Ayah, Aira berjanji akan membuat Ibu bahagia bersama Aira. Daerah pemakaman tidak begitu jauh dari daerah rumah Aira, hingga bisa di tempuh dengan berjalan kaki. Para tetangga banyak yang bersimpati pada keluarga Aira. Walau kadang Pak Burhan sering bersifat sombong, tapi pada dasarnya Burhan dan Yuni orang yang dermawan. Ketika Aira hendak memasuki gerbang rumahnya, tampak rumahnya ramai oleh orang berseragam. Ada apa ini? Aira bergegas mencari ibunya ke dalam. Hatinya tercekat melihat barang-barang milik orang tuanya dibawa satu-persatu oleh orang yang berseragam itu. “Pak, ini ada apa? Kenapa bapak-bapak bawa barang milik kami. Ini ada apa ya?” tanyanya kalut. Orang yang berseragam dan terlihat dari sebuah Perusahaan itu tak memperdulikan pertanyaan Aira. Mereka tetap menjalankan tugasnya. “Aira, Aira.” Aira menoleh, terlihat ibunya menghampiri sambil membawa beberapa berkas, di ikuti seorang lelaki yang berpenampilan lebih rapi dari yang lainnya. “Bu, ini ada apa ya? Kenapa mereka membawa semua barang kita?” “Aira lihat ini!” teriak Yuni ibunya sambil menyodorkan map yang dipegangnya. Muka Yuni bahkan masih terlihat sembab, akibat seharian menangis. Aira membuka map yang dengan rasa was-was. Benar saja, matanya membulat begitu membaca kalimat dan angka yang banyak tertera disana. “Ini hutang Ayah, bu? Banyak sekali.” Bahunya langsung lunglai. Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Darimana mereka sanggup membayarnya? Aira yakin harta mereka pun tak sebanyak hutang Ayahnya. “Itu memang benar hutang Pak Burhan yang sudah jatuh tempo. Harusnya hari ini ia membayarnya, namun kami mendengar Pak Burhan meninggal dunia. Jadi kami memutuskan menyita semua pabrik dan rumah ini.” “Apa? Rumah ini juga di sita?” tanya Aira dengan napas tercekat. “Ya supaya bisa menutupi semua hutang Pak Burhan.” Aira terduduk lemas. “Aira, kemana kita harus pergi nak?” Yuni sudah mulai menangis. Jangan tanya bagaimana kalutnya kepala Aira saat ini. “Pak, apa tidak bisa meminta tempo lagi?” pinta Aira. Walau Aira pun ragu, seberapa lamapun tempo yang diberikan, ia tak bisa mencari uang sebanyak itu. “Maaf neng, bapak hanya karyawan. Hanya diminta untuk segera menyegel rumah ini.” Terlihat nada prihatin yang di ucapkan lelaki sebaya Ayahnya itu. “Lalu kami mau tinggal dimana Pak?” Air mata Aira meluncur begitu saja. Belum lama ia sudah berjanji akan membuat ibunya bahagia di depan makam sang ayah tadi. “Maaf neng, sekali lagi bapak mohon maaf. Pak Burhan sudah sering mengulur waktu. Jadinya bos saya sudah habis kesabarannya. Maaf neng ya, malam ini juga neng diminta mengosongkan rumah ini. Karena rumah ini besok sudah di oper ke pembeli.” Yuni terdengar terisak sambil memeluk putrinya. “Aira, kita mau kemana?” Aira menghela napas. Ia harus bisa berpikir tenang, supaya bisa mencari jalan keluar. “Bu, kita memang harus pergi dari sini.” Aira mengelus pelan bahu ibunya. “Tapi kemana Aira? Kita mau tinggal dimana?” tangisnya. Kehidupan di dunia ini memang hanya titipan. Siapa yang bisa mengira mereka yang biasa hidup berkecukupan, kini bingung hanya untuk memikirkan dimana mereka menginap malam ini. “Kalian bisa ikut saya.” Terdengar suara orang yang sangat Aira kenal, membuatnya menoleh hanya untuk memastikan jika ia tidak salah dengar. “Kak Alam?” Alam baru saja kembali ke desa ini, setelah seminggu akhirnya menikah dengan Mila, adik kelasnya juga. Ketika mendengar berita duka cita tentang meninggalnya Pak Burhan, Alam segera kembali ke desa ini. Selain niatnya menengok rumah peninggalan orang tuanya, Niatnya juga ingin mengucapkan turut berbela sungkawa. Namun yang ia lihat jauh dari yang kira. Keluarga Pak Burhan yang semula terpandang, jatuh miskin dan nyaris terlunta-lunta. Walau Pak Burhan sedikit sombong, namun ia pernah berbuat baik membantu Alam ketika Alam kesulitan biaya sekolah. Alam adalah anak yatim piatu yang bisa melanjutkan sekolah karena kebaikan hati Pak Burhan. Jadi tidak salah bukan jika Alam membalas budi baiknya pada istri dan anak Pak Burhan? Dan lagi Alam tak mungkin membiarkan wanita yang pernah ia cintai kesusahan. Yah, Alam masih mencintai Aira. Sejak dulu hingga sekarang. Hanya karena Aira akhirnya menikah dengan lelaki dari kota, membuat Alam akhirnya meminang Mila dan pindah ke Sukabumi. “Saya ikut berduka cita atas meninggalnya Pak Burhan. Maaf saya datang terlambat,” sesal Alam. “Terima kasih Kak,” ucap Aira sambil menunduk. “Hari sudah mulai malam, sebaiknya kita ke rumahku sekarang. Sebaiknya kalian berkemas.” Aira dan Yuni hanya membawa dua buah tas berisi pakaian. Mereka memandangi rumah yang telah mereka tempati puluhan tahun. Rumah tempat Aira tumbuh dan berkembang. Kini semua sudah kembali diambil oleh sang Pencipta. Lelaki pemimpin keluarga berikut harta bendanya. Yuni dan Aira sama sekali tidak di berikan warisan apapun oleh Burhan. Sudah beruntung, mereka tidak diminta melunasi sisa hutang milik Burhan yang memang lumayan banyak. Alam membuka pintu rumahnya. “Silahkan masuk Aira, Bu Yuni.” Alam meletakkan tas yang tadi ia bantu bawakan ke atas kursi yang terlihat sudah pudar warnanya. “Lho Kak Alam?” Aira dan yang lain menoleh ke arah suara. Ternyata Mila keluar dari arah dapur. “Kok mereka di ajak kemari?” Dari nadanya Aira tahu jika kehadirannya tidak disukai Mila. Istri Alam. Sejak dulu Mila memang tidak menyukai Aira karena kedekatan Aira dengan Alam. “Iya, besok saat kita pulang ke batu alam, mereka ikut kita,” tutur Alam. “Apa? Ikut kita?” Pandangan Mila makin menyelidik ke wajah Aira. “Kak Alam sebelumnya terima kasih sudah baik pada aku dan Ibu. Maaf Mila kalau kami merepotkan. Tapi besok kami akan pergi kok pagi-pagi.” “Kamu mau kemana Aira? Memangnya ada tempat yang akan kamu tuju? Aku sudah dengar jika kamu sudah ditalak suamimu.” “Apa? Kamu ditalak suamimu? Yang kaya raya itu?” Pertanyaan Mila lebih seperti sindiran dari pada prihatin. Aira menunduk. “Itu sebabnya Aira besok kita ke Batu Alam, dik Mila. Kebetulan temanku ada yang butuh karyawan bagian tata usaha. Kamu mau kan kerja disana Aira?” Aira mengangkat wajahnya. Lalu gantian menatap Alam dan Ibunya. Melihat ibunya tersenyum dan mengangguk, Aira lalu berkata, “Aku mau kak, aku mau kerja apa saja.” “Terus mereka mau menumpang dirumah kita nantinya Kang?” tanya Mila gemas. Mila tak segan menunjukkan keberatannya. Alam menghela napas, tau kemana arah istirnya bicara “Aira dan Ibunya akan mendapat mess disekolah, dik Mila. Gak apa kan Aira?” Walau sebenarnya Alam tak tega, ia bisa saja memberi tumpangan di rumahnya. Namun bagaimanapun juga ia sudah memiliki istri, tak baik rasanya meminta Aira satu atap dengannya. Judul : TERSESAT RINDU. PEN NAME : HERNI RAFAEL. LINK : https://m.dreame.com/novel/Br97UKH4+/KVPNtq7tQ80w==.html
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD