PART 5 - BATU ALAM SUKABUMI

1571 Words
PART 5 – BATU ALAM SUKABUMI. Rumah peninggalan orang tua Alam jauh berbeda jika di bandingkan rumah milik Aira. Tapi untuk saat ini Aira dan Yuni patut bersyukur tidak tidur beratapkan langit. Alam mempersilahkan Aira dan Ibunya menempati salah satu kamar dirumahnya. Ia membuka pintu kamar yang letaknya nomer dua dari depan. Sebuah kamar dengan kondisi sangat sederhana. Hanya ada sebuah tempat tidur yang terbuat dari papan sederhana, dengan sebuah kasur yang mungkin bisa dikatakan sudah tidak layak pakai. Sudah sedemikian tipis. Paling tidak mereka tidak akan pegal jika tidur tidak memakai alas. “Ini tempat Ibu dan Aira tidur. Maaf keadaanya seperti ini.” Alam tak enak hati. “Gak apa kak Alam. Ini saja kami sudah terima kasih.” Bagi Aira ini saja sudah lebih dari cukup. Entah kalau gak ada Alam, mungkin Aira dan ibunya sudah menjadi gelandangan di jalan. “Akang, cepetan tidur. Mila sudah ngantuk!” Mila mendadak ada di samping Alam sambil bibir mengerucut. Seolah memberi tanda pada suaminya untuk segera masuk ke dalam kamar. “Iya sebentar dik Mila.” “Aira, Bu Yuni, selamat beristirahat ya.” Lalu Aira melihat Mila mengajak Alam masuk ke kamar yang paling depan. “Yuk bu, kita tidur,” ajak Aira, yang langsung di ikuti oleh Yuni. Mungkin karena lelah, Aira langsung terlelap. Tengah malam Aira seperti mendengar isak tangis, sontak ia membuka matanya. Aira terkejut, ternyata yang ia dengar adalah suara isak tangis Ibunya. Bahkan bahu sang Ibu ikutan bergetar. “Bu, ibu kenapa?” Aira mengucek kedua matanya. Hawa kantuk masih menyerangnya. “Aira, Ibu mau pulang. Ibu gak betah disini,” isaknya. Aira menjadi terenyuh. Ia belum pernah melihat Ibunya menangis seperti ini, kecuali ketika Ayahnya meninggal kemarin. Mungkin karena ibu sudah terbiasa tidur di ranjang yang empuk, dan kamar yang nyaman. Memang Aira akui kasurnya agak tipis, tapi mau gimana lagi. Namanya menumpang, kan harus terima “Ibu kangen sama Ayah, Aira.” Aira menghela napas. “Bu, Aira juga kangen sama Ayah. Tapi semua sudah takdir Bu. Ibu yang sabar ya. Aira akan bekerja supaya kita gak kekurangan.” Rupanya Ibunya masih teringat akan mendiang Ayah, Suatu hal yang wajar, karena mereka sudah puluhan tahun membina rumah tangga. Andai ibunya tahu, jika Aira pun merindukan Ayahnya. “Maafkan Ibu ya nak. Ibu gak tahu jika usaha Ayahmu menjadi seperti sekarang. Pantas ketika Lia ingin melamarmu, Ayah seperti tidak sabaran menikahkanmu dengan putranya Lia. Ternyata Ayah memang membutuhkan dana untuk usahanya, tapi ibu gak tahu jika sebanyak itu hutang Ayahmu,” tutur Yuni. Aira terpekur. Ia baru menyadari satu hal. Jadi karena Azka dari keluarga kaya raya, makanya Ayah menjodohkan dirinya dengan Azka? Lalu ketika melihat aku kembali tanpa Azka, Ayah pasti kecewa dan tahu jika niatnya tak terlaksana? Lalu penyakitnya kumat? Ayah, maafkan Aira. “Mengapa Ayah tak jujur pada Aira, bu?” Aira menatap wajah sembab ibunya. Andai Aira tahu niat Ayahnya seperti itu. Ia tak akan pergi dari rumah Azka, ia pasti akan bertahan disana. Entah akan seperti apapun rumah tangganya kelak. Andai semua bisa di putar. Andai Ayahnya jujur. Ya Tuhan. Terlalu banyak andai yang ingin ia lakukan. Bu Yuni menyeka pipinya yang basah. “Ayah gak mau membuat kamu banyak pikiran Aira. Ayah yakin Azka lelaki yang baik untuk kamu.” Dia memang baik bu, aku yang tidak baik untuknya. Mengingat nama menantunya, Yuni menjadi teringat. “Aira, kamu belum bilang sama ibu. Apa yang terjadi sama rumah tanggamu dengan Azka?” Aira termasuk anak yang jujur, apalagi terhadap ibunya. Namun untuk urusan Azka, biarlah hanya ia yang tahu. Ia tak ingin membuat ibunya makin terbebani masalahnya. “Bu mungkin jodoh Aira dan Azka memang sudah sampai disini saja. Jadi Aira mohon ibu juga ikhlas ya?” “Lalu bagaimana jika kamu hamil?” Aira tertunduk. Tidak mungkin. “Aira sudah periksa, gak kok bu.” Ibu Yuni menghela napas lega. Mungkin bersyukur, karena hidup mereka sudah susah. Mereka gak mungkin membuat calon bayi Aira ikut susah seperti mereka. “Sekarang Ibu tidur ya, besok kita harus berangkat pagi-pagi ikut Kak Alam.” Yuni mengangguk lemah, lalu kembali membaringkan tubuhnya disamping Aira. “Aira,” panggil Bu Yuni yang membuat Aira kembali menoleh menatap wajah Ibunya. “Tahu gini, lebih baik kamu menikah saja sama Alam ya.” “Huss ibu, jangan gitu ah. Gak enak di dengar Mila.” “Ibu lihat Alam begitu baik sama kita, padahal ibu tahu dia kecewa sekali saat kamu menikah dengan Azka. Kenapa orang sebaik Alam mendapatkan istri judes kaya Mila ya?” Yuni masih mengingat bagaimana tatapan istri Alam tadi. Padahal dulu Mila ramah kalau bertemu. Apa karena sekarang mereka susah dan di anggap benalu? “Jodohkan sudah Tuhan yang atur bu. Mila juga baik kok orangnya, mungkin kita saja yang belum mengenal Mila.” Bisa repot jika Ibunya berselisih dengan Mila. Aira menatap wajah tua Ibunya. Rasa bersalahnya makin besar terhadap kedua orang tuanya. “Tapi nanti kita jangan satu rumah ya sama Mila. Ibu gak mau di tatap judes kaya tadi.” Wajah Yuni sudah menunjukkan ketakutan. Aira tersenyum. “Iya bu, mudah-mudahan kita benar dapat mess ya disana. Sampai kita mendapat kontrakan yang lebih layak nanti. Sekarang ibu tidur ya, sudah malam.” Aira membelai lengan tua Ibunya, berharap Ibunya tak lagi melanjutkan perbincangan malam ini. Ia khawatir Alam dan istrinya bisa mendengar. Yuni kemudian menutup matanya, namun Aira masih terus menatap garis yang mulai terlihat keriput diwajah Ibunya. Wanita yang telah membesarkan dirinya hingga kini, bahkan telah memberikan kasih sayang selama hidupnya. Setelah meyakinkan ibunya terlelap, Aira membalikkan tubuhnya, membekap mulutnya, isaknya terendam bantal yang ia kenakan. Aira menangis, andai ia tahu, tidak akan melakukan hal bodoh dengan meninggalkan Azka, semua gak akan terjadi seperti ini. Maafkan Aira, Ayah. Maafkan Aira, Ibu. Aira sunguh anak yang tidak berbudi. Karena Aira, Ayah pergi. Karena Aira, Ibu jadi harus menderita seperti ini. ** Batu Alam. Sukabumi. Aira menatap tiap sudut ruangan yang akan menjadi messnya. Hanya sebuah kamar kecil, yang berisi sebuah kasur. “Bagaimana Aira? Kamu mau tinggal disini?” Seorang lelaki berkaca mata seusia Ayahnya bertanya pada Aira. “Iya pak, saya bersedia. Terima kasih banyak.” Aira mengangguk hormat pada kepala sekolah SD Wijaya 01 Pagi. “Besok kamu sudah bisa bekerja di bagian Tata Usaha, semoga betah ya.” “Sekali lagi terima ya Pak.” Aira menjabat tangan Pak Danang sebelum pemilik yayasan itu beranjak pergi. Aira memasuki ruangan, yang jika ia jujur besarnya saja dibandingkan kamar mandi rumahnya yang dulu kalah besar. Tapi tak apa, mungkin sudah saatnya ia dan Ibunya mencoba untuk merubah hidup. Walau dulu ketika mereka hidup berkecukupan, Aira dan Ibunya bukan termasuk orang yang suka menghamburkan uang. Ruangan mess ini terlihat sudah lama tidak pernah dipakai. Begitu banyak jaring laba-laba di langit-langit kamar. Aira yakin Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan umatnya. Ia yakin, selagi ia berusaha, Tuhan pasti akan memberi jalan. “Aira.” Tampak Ibunya menghampiri dengan tersenyum. “Ibu sudah bicara dengan pemilik kantin yang lain, Ibu boleh ikutan berjualan disini.” Aira mengeryit bingung. “Ibu mau jualan? Jualan apa? Nanti ibu capek lagi.” “Ihs gak, gak capek kok. Kalau kamu kerja nanti, masa ibu bengong diam saja di kamar. Ibu gak mau ah. Pokoknya Ibu mau bantu kamu cari uang. Boleh ya?” pinta bu Yuni. Aira menghela napas. “Boleh tapi jangan terlalu capek ya bu. Aira gak mau ibu sakit.” “Iya Aira. Ibu gak akan capek-capek kok. Paling ibu akan jualan gorengan saja. Eh ya, nak Alam mau membantu memberi modal sama Ibu. Nih kamu lihat.” Ibu Yuni memperihatkan amplop didepan Aira. Aira termangu melihat jumlah uang yang ibunya pegang. “Ibu belanja dulu ya buat kebutuhan besok. Ibu minta antar sama penjaga kantin yang di ujung. Kebetulan dia mau belanja sekarang. Kamu gak apa kan ibu tinggal sebentar ya.” Belum juga mendengar jawaban Aira, Bu Yuni sudah melangkah pergi. Bahkan Bu Yuni bertabrakan dengan Alam yang hendak menghampiri Aira. Aira tersenyum. Melihat bagaimana raut wajah Ibunya kembali berseri, setelah beberapa hari bersedih terasa karena terpaksa bermalam di rumah Alam. Jangan tanya bagaimana sikap Mila pada mereka. Sungguh menyakitkan, antara mulut dan tatapan sebelas dua belas, ibarat singa betina yang terancam lahannya dirampas. Padahal selama tinggal di rumah Alam beberapa hari, baik Aira dan ibunya diperlakukan seenaknya. Bahkan lebih mirip pembantu. Mila hanya baik ketika Alam ada di rumah. Namun jika Alam sudah bekerja, sifat asli Mila keluar. Beruntung Pak Danang cepat kembali dari tugas luar kotanya, sehingga mereka langsung menepati mess di sekolah ini. Sungguh, satu rumah dengan Mila sangatlah tidak nyaman, tapi Aira dan ibunya gak mampu berbuat apa-apa. “Ibu terlihat bersemangat ya,” ujar Alam setelah berada di samping Aira. Ia tak enak hati pada Aira dan ibunya atas perlakuan istrinya selama mereka menumpang di rumah ny Alam mengajar di sekolah yang berbeda. Dan ia sudah menyetujui keinginan istrinya untuk melarang menerima Aira bekerja di tempat yang sama dengan Alam. Mila dan segala kecemburuannya. “Oh iya, kamu mau membersihkan kamar ini kan, aku bantu ya.” Alam lalu mengambil sapu yang di tangan Aira. “Kak Alam.” Panggilan yang Aira ucapkan membuat Alam menghentikan gerakannya. “Terima kasih atas kebaikan kak Alam. Entah dengan apa Aira harus membalas semuanya kak.” Alam tersenyum dengan hangat. “Kamu bisa membalasnya dengan selalu tersenyum. Aku ingin melihat kembali Airaku yang dulu.” Judul : TERSESAT RINDU. LINK : https://m.dreame.com/novel/Br97UKH4+/KVPNtq7tQ80w==.html
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD