PART 6 - KADO DARI ALVIN

1488 Words
PART 6 – KADO DARI ALVIN. Enam tahun kemudian. Aira sudah mematut dikaca. Ia sekali lagi memeriksa riasannya. “Aira, sarapannya sudah siap ya.” Suara Bu Yuni terdengar dari luar. “Iya bu sebentar lagi.” Aira mengambil tas yang biasa ia bawa kerja. Sebelum keluar Aira memperhatikan lagi suasana kamarnya. Sudah rapih semua. Ia tak akan membiarkan ibunya kelelahan karena tugas rumah. Gajinya sebagai Tata Usaha sudah lumayan, hingga ia bisa mencicil rumah yang sangat sederhana. Setelah setahun tinggal di mess, Pak Danang memanggilnya. Ia memiliki rumah yang sudah lama tidak terpakai, dan menawari Aira untuk membelinya dengan mencicil potong gaji. Tentu saja Aira bersedia, lumayan mereka tidak kesempitan lagi. Rumah yang kalau dilihat dari para tetangga sekitar paling jelek, karena catnya sudah banyak mengelupas. Untung Alam mau membantunya membereskan dengan mengecat ulang. Mengingat Alam, rasanya Aira nanti akan mampir ke rumahnya. Ini kan sudah habis bulan, dan ia pasti sudah gajian. Ia akan memberikan beberapa cemilan untuk putri Alam yang bernama Nada. Walau pun tatapan curiga tetap ia terima dari Mila, namun Aira tetap tak perduli. Ia hanya membalas jasa Alam padanya selama ini. Aira tersenyum ketika melihat Ibunya sudah siap di meja makan. Sebuah meja yang hanya berbentuk dari papan sederhana.   “Bu, kalau mau makan gak usah tunggu Aira.” Bu Yuni menyerahkan sepiring nasi pada Aira. Mereka makan bersama. Hidangan sederhana yang sudah terbiasa dilidah mereka. Nasi putih yang hanya di goreng dengan tambahan garam. Terkadang ditaburi bawang goreng, terkadang krupuk. Mereka harus menghemat, karena biaya cicilan rumah menghabiskan separo gaji Aira. Bu Yuni sudah tidak lagi berjualan dikantin, karena faktor usia yang menyebabkannya sering sakit. “Bu, nanti Aira pulang sekolah akan mampir ya ke rumah Kak Alam.” Bu Yuni memandang putrinya dengan heran. “Kamu gak kapok di sinisin sama istrinya Alam?” Aira meminum teh hangat tawar yang ada disamping gelasnya. “Aira tulus kok bu baik sama mereka, gak ada niat jahat sama sekali. Sama tulusnya seperti kak Alam membantu kita selama ini,” tutur Aira dengan senyum hangatnya. “Iya ibu tahu, tapi kan ibu gak suka anak ibu di gosipin sama tetangga. Katanya anak ibu ini pelakor, ngarep Alam balikan sama kamu.” Aira membelai telapak tangan ibunya. “Ibu gak usah pikirin omongan orang, nanti ibu sakit.” Aira melirik jam didinding rumahnya. “Bu, Aira pergi sekarang ya.” Aira mencium telapak tangan ibunya. “Kalau nanti Aira telat pulang, Ibu makan saja duluan. Takutnya Aira lama di rumah Kak Alam.” Jika sudah bertemu Nada, kadang Aira lupa waktu. Ia suka menemani Nada bermain. Sekalipun bundanya Nada bersikap acuh tak acuh. Yuni memperhatikan kegiatan putrinya yang menuju pintu luar, lalu Aira mengenakan sepatunya, dan berjalan meraih sepeda yang biasa mengantarnya ke sekolah, tempatnya bekerja. Aira, ibu gak sangka nasibmu seperti ini nak. Maafkan ibu yang sudah salah memilihkan jodohmu dulu. Batin Yuni. Yuni beranjak masuk kedalam rumah. Ia harus istirahat sejenak. Belakangan ia sering cepat cape. Kalau saja pernikahan Aira langgeng, mungkin sekarang ia sudah memiliki beberapa orang cucu. Yuni menghela napas. Sampai sekarang saja Aira tidak pernah cerita penyebab perpisahannya dengan putra dari sahabatnya itu. Dan Yuni merasa bersalah, andai ia dan suaminya membiarkan kisah cinta Alam dan Aira berlanjut, mungkin Aira sudah bahagia. “Ayah gak setuju Bu, Aira harus mendapatkan lelaki yang bisa membahagiakan hidupnya.” Masih teringat bagaimana ia berdebat dengan suaminya dulu ketika mendengar kabar kedekatan Alam dan Aira. Alam adalah anak yatim piatu yang mereka biayai sekolahnya. Alam selalu mengantar jemput Aira ketika sekolah. Mereka tidak tahu jika akhirnya bisa menumbuhkan rasa diantara keduanya. Jadi ketika sahabatnya Lia datang berkunjung, dan melihat bagaimana Aira, timbul ide Lia menjalin tali besan dengan menjodohkan putra semata wayangnya dengan Aira. Suaminya yang bisa dengan jeli melihat bagaimana tajirnya Lia, langsung menyetujui perjodohan itu. Karena jujur, usaha suaminya sedang goyah. Ia membutuhkan modal yang tidak sedikit, yang ia pikir bisa dengan mudah diperoleh jika menjadi mertua seorang Azka. Yuni sendiri masih mengingat bagaimana tampannya sosok Azka. Aira juga sudah terlihat menyukai lelaki itu. Jangan-jangan perasaan Aira terhadap Alam, berbeda dengan perasaannya terhadap Azka. Kalau berpikir tentang nasib Aira, yang ada rasa bersalah pada diri Yuni makin besar. Hanya doa yang bisa ia panjatkan semoga putrinya bisa menemukan kebahagiaan sebelum ia menutup mata. *** Aira mengayuh sepedanya dengan perlahan. Udara pagi ini terasa segar, tak sia-sia ia pindah ketempat ini. Jalanan yang ia lalui terasa sepi kali ini. Biasanya ia sering berpapasan dengan mobil truk yang keluar dari pabrik sekitar. Jika sudah bertemu dengan mobil besar, rasa takut Aira sungguh besar. Ia lebih sering memilih berhenti dulu membiarkan mobil besar itu lewat, baru kembali mengayuh sepeda. Lebih aman dan cari selamat saja. Ketika hendak berbelok ke arah kiri, sepeda yang dinaiki Aira hampir bertabrakan dengan sepeda motor. Aira terkejut dan agak oleng ke kanan hingga, Tin!! Sebuah mobil berhenti tepat di depan sepeda Aira yang tumbang, untung ia bisa menahannya supaya tidak jatuh menimpanya. Seorang lelaki turun dari mobil Toyota Inova, menghampiri. “Mbanya gak apa-apa?” Aira menoleh, dan melihat seorang lelaki berpenampilan rapi membantunya meraih sepeda yang hampir menimpanya. Aira bangkit membersihkan pakaiannya. Sementara lelaki tadi masih memegang sepedanya. “Terima kasih Pak,” ucap Aira ramah sambil meraih sepedanya kembali. “Ada yang luka gak Mba?” Lelaki itu tampak meneliti Aira dari atas hingga bawah. “Ah gak ada pak. Tadi hanya kaget terus saya hilang keseimbangan saja. Maaf buat bapak kaget juga ya.” Aira tak enak hati. “Untung mba nya gak luka. Tadi saya juga lihat yang bawa motor asal belok saja tidak menyalakan lampu sen.” “Iya pak, kalau gitu saya permisi. Mari.” Lalu Aira kembali melanjutkan perjalanannya yang tertunda tadi. ** Aira akhirnya sampai di gerbang sekolah. Ia mengerutkan dahinya. Itukan mobil yang tadi hampir menabraknya? Mobil Toyota Inova itu berbalik dan melewatinya. Namun ketika dekat, pintu jendelanya terbuka. Lelaki yang tengah memegang setir itu mengangguk ramah padanya sebelum kembali menjalankan mobilnya. Aira menjawab dengan anggukan pula. Lalu kembali membawa sepedanya ke halaman sekolah, tempat sepeda itu di parkir. “Bu Aira.” Panggilan seseorang membuat Aira menoleh. “Alvin.” Seorang anak laki-laki tersenyum dengan wajah tampan dan gigi ompongnya dibagian depan. “Selamat Pagi Bu Aira.” Sapaan ramah membuat Aira tersenyum dan berjongkok. “Selamat Pagi Alvin. Duh makin hari Alvin makin tampan ya.” Aira mengusap kepala anak itu. “Alvin sudah sarapan?” Alvin mengangguk. “Yuk kita ke kelas.” Aira memberikan tangannya yang langsung disambut hangat oleh Alvin. Mereka beriringan memasuki kelas Alvin, kelas satu SD Wijaya. Ternyata anak-anak lain sudah ada yang memasuki kelas, dan ada yang tengah bermain. Alvin mengajak Aira ke bangkunya. Aira mengangguk hormat pada ibu-ibu yang tengah menunggui anaknya. Aira melihat Alvin mengambil sesuatu di dalam tas. Sebuah bungkusan yang dilapisi kertas kado berwarna biru bergambar hello kitty. “Buat Bu Aira,” ucapnya dengan wajah polos. “Buat Ibu?” Aira bertanya tak yakin. Alvin mengangguk. Aira menerima dengan senang hati, dan menebak bungkusan yang di rabanya terasa seperti bahan atau baju. Gerakannya terhenti ketika mendengar kembali suara Alvin. “Dari Ayah.” Aira terpaku. Tatapan  yang ramah segera ia sematkan pada Alvin. “Memang ayah Alvin sudah pulang pulang ke rumah?” “Sudah, bawa oleh-oleh banyak. Dan itu Oma bilang untuk Bu Aira.” Aira memang pernah bertemu Omanya Alvin, yang selalu setia menunggu ketika Alvin masuk sekolah pertama kali. Menurut Omanya Alvin, ayah Alvin yang tak lain adalah putranya selalu sibuk bekerja. Jadi Alvin di asuh oleh Omanya. Sementara Ibunya Alvin sudah lama meninggal. “Bilang sama Oma ya, terima kasih. Bu Aira sudah terima kadonya.” Alvin mengangguk dan tak lama terdengar bel masuk kelas. “Selamat belajar ya Alvin. Yang rajin, biar jadi anak pintar,” pesan Aira. Aira segera bergegas keluar kelas dan menuju ruang kerjanya. Ruang Tata Usaha. “Cie yang dapat hadiah.” Maya temannya yang berprofesi menjadi guru berpapasan ketika Aira sedang berjalan di lorong sekolah. “Kok tahu?” Aira memperlihatkan kado di tangannya. Ia jadi tak enak hati pada Maya. Karena Maya adalah guru Alvin. “Tadi Alvin yang bilang sama aku. Katanya bawa kado buat Bu Aira. Terus aku bilang, buat Bu Guru mana? Dia bilang ayah cuma beli satu buat Bu Aira saja. Duh, so sweet banget kan?” “Eh tapi ada lagi yang lebih sweet nih. Mau tahu gak?” Aira mengerutkan dahinya. “Ayahnya Alvin sengaja datang kemari tadi mau bertemu Ibu Aira. Tapi sayang Ibu Aira telat, karena kelamaan mengayuh sepeda.” Maya terkikik. Aira memanyunkan bibirnya. Selalu saja Maya menggodanya. “Ih aku serius Aira.” “Hmm.” Lalu Aira melanjutkan langkahnya. “Oke punya lho Ayahnya Alvin itu, beneran deh.” Seketika Maya menutup mulutnya ketika melihat Pak Danang keluar ruangan. Maya segera menuju kelasnya, kelas satu tempat ia mengajar. Sementara Aira hanya menggeleng. Terima kasih untuk yang terus ikuti yaaa. Jakarta 6 Maret 2021 Love Herni
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD