PART 7 - BERSAMA NADA

1503 Words
PART 7 – BERSAMA NADA. Matahari sudah melewati atas kepala, ketika Aira sampai di rumah Alam. Sepeda yang Aira bawa, ia letakkan di pekarangan sebuah rumah yang tampak mungil minimalis. Ia tersenyum sebelum melangkah memasuki pekarangan rumah. Andaikata hubungan mereka dulu tidak terhalang restu, mungkin saat ini ia yang akan menjadi pemilik rumah dan kebahagiaan ini. Aira menggeleng. Tak baik iri sama kebahagiaan orang lain. Alam sudah bahagia bersama Mila dan Nada putrinya. Ingat Aira! Kamu hanya menganggap Alam tak lebih dari seorang kakak. Begitu suara hatinya mengingatkan. “Tante Airaaa.” Teriakan dari dalam rumah menggema. Sesosok anak kecil tak jauh dari usia Alvin keluar dan berlari, lalu memeluknya ketika Aira berjongkok untuk menerima rangkulannya. Aira mencium gemas pipi chubby itu. Ditatapnya sesaat wajah Alam versi wanita. Aira yakin, saat besar nanti, Nada pasti menjadi gadis yang cantik. Kecilnya saja menggemaskan sekali. Nada melepaskan pelukannya dan menatap Aira dengan matanya yang bulat nan menggemaskan. “Tante Aira kok lama gak datang ke mari? Nada’kan kangen,” rajuknya dengan mulut mengerucut. Seolah protes akan kehadiran Aira yang selalu ia nantikan di rumah ini. “Iya sayang, maaf. Tante Aira sibuk.” Aira merapikan rambut Nada yang berantakan dan tercampur keringat. “Tante bawa sesuatu buat aku?” Mata bulat indah itu berkedip, membuat Aira tak ragu mencium kembali pipinya yang halus. “Tentu dong. Kali ini Tante bawa ....” Aira mengeluarkan sesuatu yang membuat Nada berseru bahagia. “Coklatttt!” Nada bahkan melompat-lompat menunjukkan kegembiraannya. Lalu Nada meraih coklat dari tangan Aira. Selain menyukai kehadiran Aira, Nada pun suka akan hadiah yang Aira kerap bawa saat datang ke rumah ini. “Terima kasih Tante, yuk masuk.” Nada mengajak Aira masuk, lebih tepatnya menarik. Nada berharap Aira akan lama di rumahnya, biar bisa bermain bersamanya. “Aira?” Istri Alam yang tak lain Mila menatap kedatangannya. Matanya mendelik menatap Aira dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kalau mau ketemu ayahnya Nada, dia belum pulang.” Masih tetap tak berubah, tatapan sinis dan tak suka, kerap Aira terima dari wanita yang berstatus istri Alam ini. “Aku kemari mau ajak Nada main kok. Boleh ya?” pinta Aira ramah. Ia kembali mengusap puncak kepala Nada dengan sayang. Sementara Nada tersenyum bahagia. “Hmmm, asal jangan jauh-jauh. Kebetulan aku mau tidur sejenak. Kalau kamu mau pulang jangan lupa kasih tahu aku.” Lalu Mila masuk ke dalam kamarnya tanpa mempersilahkan Aira masuk. Aira sudah sangat amat paham sama sifat wanita yang satu itu. Aira menoleh kembali pada Nada. “Sekarang Nada mau main apa?” Nada terlihat berpikir. “Main boneka di depan saja ya. Tante jadi mamanya, aku jadi anaknya,” usul Nada. Ini yang Aira suka dari Nada. Selalu aktif saat mengemukakan keinginannya. “Ayo, kita main di depan.” Nada tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya, ketika Aira mengikuti permintaannya. Aira bahkan harus berulangkali menjawab pertanyaan dari Nada. Dan Nada selalu banyak bertanya tentang segala hal pada Aira. Sifat cerdas Nada pasti menurun dari Ayahnya. Karena Aira tahu bagaimana cerdasnya Alam dulu ketika sekolah. Selalu menjadi juara di kelas setiap tahunnya. Rasa keinginan tahuan bocah seusia Nada memang besar, dan Aira tanpa lelah menjawabnya. Tak terasa sudah sejam Aira habiskan bermain menemani Nada. Aira melirik jam tangannya. Tepat ketika itu sebuah sepeda motor berhenti di depan mereka berdua. Nada yang masih duduk bersama Aira, bangkit dan setengah berlari ketika melihat siapa yang duduk di atas sepeda motor itu, yang kini sedang melepas helmnya. “Ayah,” panggilnya pada sosok yang tak lain adalah Alam, ayahnya. Alam tersenyum kala sang putri menghampiri dan mencium telapak tangannya, lalu ia mengarahkan pandangan pada Aira. Tak menduga akan bertemu Aira di rumahnya. “Ayah, Nada habis bermain bersama Tante Aira,” terang Aira ketika melihat Ayahnya memandang Aira. “Iya sayang, Bunda mana?” tanya Alam pada putrinya. “Bunda bobo, Ayah.” Alam melangkah mendekati teras dimana Aira bangkit dan tersenyum padanya. “Kak Alam,” sapa Aira. Nada yang berjalan beriringan bersama Ayahnya, melangkah mendekati Aira. “Apa khabar Aira, lama kamu gak datang kemari?” Alam memandang gadis yang pernah menjadi cinta pertamanya. “Iya kak, kesehatan Ibu sedikit berkurang. Jadi aku baru hari ini punya waktu main kemari ketemu Nada.” Aira mengusap kepala Nada dengan lembut, dan itu tak lepas dari tatapan Alam. “Oh ya, Kak Alam sudah makan? Mau aku siapkan?” tawar Aira. “Owh gak usah, biar nanti aku minta sama Mila saja.” Alam merasa tak enak hati jika Aira menawarkan bantuan, yang tak jauh beda seperti asisten rumah tangga. “Mila kayanya sedang istirahat kak. Gak apa, sebentar aku siapkan ya.” Tanpa menunggu lama, Aira langsung menuju dapur. Ia sudah hapal kebiasaan Alam dan Mila di rumah ini. Aira membuka tudung saji, dan aneka makanan sudah tersedia. Ia tinggal menyiapkan minuman dan mengisi piring kosong dengan nasi dan aneka lauknya saja. Alam memasuki ruang makan bersama Nada. Ia melihat Aira menuangkan air ke dalam gelas untuk dirinya. Harusnya ini tugas Mila. Namun kerap Mila memilih untuk berlama-lama tidur siang dibanding menemaninya makan. Alam menarik kursi dan duduk sambil meraih sendok untuk memulai makan. “Kamu gak makan sekalian Aira?” tanya Alam sambil menyuap makanan. “Sudah tadi sebelum kemari Kak. Nada mau makan sayang?” tanya Aira pada Nada. Nada menggeleng, dan gadis kecil ini terlihat menguap. Sepertinya putri Alam ini kelelahan bermain, dan kini ia mengantuk. “Nada mandi yuk, nanti setelah itu Tante temani bobo, gimana?” tawar Aira. Nada mengangguk. Lalu mereka berdua melangkah ke kamar mandi. Alam menghela napas. Andai dulu mereka berjodoh, tentu ia bahagia menjadi suami seorang Safa Aira. Jika saja ia mau sabar menanti Aira, dan tahu jika pernikahan Aira tidak berlangsung lama. Mungkin ia tidak akan nekad melamar Mila. Gadis yang menjadi adik kelasnya, yang memang sudah lama menaruh hati padanya. Alam melamar Mila, ketika putus asa mendengar perjodohan Aira. Apalagi ia mengetahui calon suami Aira bukan orang sembarangan. Ia sadar diri untuk tidak memberanikan diri melamar Aira, apalagi ia tahu Ayah Aira membutuhkan dana untuk usahanya. Yah, Alam tahu apa alasan perjodohan itu. Yang Alam tidak tahu apa alasan Aira kembali ke rumah orang tuanya, bahkan sudah dalam status janda. Alam menyelesaikan makannya ketika Aira selesai memandikan putrinya. Alam memilih duduk di teras rumah, tak enak jika istrinya bangun dan mendapati mereka berdua ada didalam rumah. Mila dan segala kecemburuannya jika melihat Aira. Aira tersenyum kala melihat mata Nada yang terpejam. Ia bahagia bisa bermain bersama Nada. Dikecupnya dahi Nada sebelum Aira melangkah keluar kamar Nada. Menutup pintu dengan perlahan. Aira meraih cangkir dan menyeduh kopi untuk ia berikan pada Alam. Setelah meletakkan cangkir di meja teras, Aira duduk di kursi yang hanya terhalang meja dengan kursi Alam. “Terima kasih Aira, seharusnya kamu gak perlu repot. Kamu’kan tamu disini.” Aira tersenyum. “Gak apa Kak, Mila pasti lelah seharian menjaga Nada.” “Kamu betah kerja sama Pak Danang?” tanya Alam sambil menoleh memandang wajah Aira, yang terlihat lebih dewasa kali ini. Tentu dengan kecantikan alaminya. “Betah Kak. Pak Danang baik orangnya.” Aira sudah menganggap Pak Danang seperti ayahnya sendiri. “Syukurlah kalau gitu.” Hening sesaat, hingga kemudian Alam menyeruput kopinya. “Hmm Aira, apa kamu gak niat untuk mencoba membuka hati?” Pertanyaan Alam membuat Aira menatapnya. “Maksud Kak Alam?” tanya Aira tak mengerti akan pertanyaan Alam juga tatapannya. “Sudah berulang kali kamu menolak lamaran orang yang serius mau memperistrimu.” Aira terdiam. “Boleh aku tahu alasan perpisahanmu dengan suamimu dulu?” Aira menunduk. Sampai saat ini ia merahasiakan apapun masalah dalam rumah tangganya, termasuk kepada ibunya sendiri. Biar hanya ia yang tahu mengapa hanya dalam waktu sebulan dari pesta mewahnya, ia kembali pulang ke rumah tanpa di dampingi suami. Mengingat kata suami, membuat d**a Aira merasakan rasa yang selalu ia ingkari. Tidak, ia tidak boleh mengingat nama itu lagi. “Aira, apa kamu mengalami semacam trauma pernikahan?” Aira menatap lelaki di sampingnya. Mata mereka bertatap sebentar, selanjutnya Aira melemparkan pandangan kemana saja, selain kepada Alam. “Sudah enam tahun berlalu Aira. Tidakkah kamu ingin memulai sebuah pernikahan, dan memiliki seorang anak seperti aku dan Mila?” Aira bangkit semata menyembunyikan matanya yang mulai berkaca. “Sebaiknya aku pulang sekarang.” Alam ikutan berdiri. “Tunggu Aira.” Aira menghentikan gerakannya. “Mengapa kamu selalu menghindar jika aku bertanya mengenai hal ini?” Aira menatap mata Alam setelah sebelumnya mengerjapkan matanya, menghalau riak yang hendak turun tanpa permisi. “Aku tidak mau membahasnya Kak.” “Tapi mengapa Aira? Apa yang terjadi antara kamu dan suamimu dulu? Apa suamimu sudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga kalian?” Aira menghela napas. Tanpa menjawab pertanyaan Alam, Aira bergegas meraih sepedanya, dan tanpa menoleh lagi ke belakang, mengayuh sepedanya menuju rumah. Dalam perjalanan Aira memikirkan pertanyaan demi pertanyaan yang Alam ajukan. Kekerasan dalam rumah tangga? Lebih dari itu Kak. Apa yang aku alami lebih sakit dari sekedar luka fisik. Karena luka di hati aku lebih sulit untuk sembuh dari pada luka karena kulit teriris pisau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD