Sementara itu, terpisah jarak beberapa kilometer, di pinggiran hutan yang tak terjamah oleh manusia kebanyakan, terlihat pemandangan yang janggal. Beberapa orang pria dan wanita dewasa berlarian. Dengan langkah yang padu walau jalan terjal berliku menjadi pijakan kaki mereka. Hingga pada akhirnya mereka semua sampai di tempat yang mereka tuju. Satu rumah megah yang memiliki kesan antik. Yang terlindungi oleh pagar tinggi dengan ujung meruncing.
Pintu pagar terbuka. Menyilakan mereka untuk masuk ke dalam sana. Terus melangkah. Hingga mereka tiba di pelataran rumah itu.
Setidaknya, rumah itu terdiri dari lima lantai. Tampak menjulang di antara pohon-pohon tinggi yang ada di sekitarnya. Seolah tidak ingin kalah dengan hasil cipta alam di sana.
Saling pandang, mereka tampak menunggu. Hingga kemudian, pintu yang terdiri dari dua bilah itu pun membuka. Menampilkan seorang pria tua yang tampak dihiasi rambut-rambut putih di atas kepalanya. Dalam pakaian rapi khas seorang kepala pelayan.
Pria itu tersenyum dalam sikap hormat. Lalu ia berkata.
“Silakan. Tuan Oscar sudah menunggu kalian di dalam.”
Tuntas mengatakan hal tersebut, pria itu sedikit menarik diri. Memberikan jalan bagi mereka untuk masuk. Satu persatu. Hingga ada seorang pria yang memiliki tubuh besar tinggi berhenti tepat di depannya.
“Apa kabarmu, Abi?”
Sang kepala pelayan yang bernama lengkap Abi Ardianto itu tersenyum. “Kabar saya baik-baik saja, Ken.”
Kenzo mengangguk. Tangannya terangkat dan memberikan satu tepukan singkat pada pundak Abi.
“Syukurlah kalau begitu,” ujar Kenzo seraya membuang napas panjang. “Aku pikir kau tidak akan bertahan menghadapi Oscar yang uring-uringan belakangan ini.”
Abi tersenyum geli. Ketika Kenzo melangkah, ia pun memutuskan untuk mengikutinya. Dan ia mengomentari perkataan Kenzo tadi.
“Hal yang manusiawi terjadi padanya. Di usia yang semakin matang, ia hanya bisa berpegang pada ramalan.”
Kenzo mendengkus. Lalu ia geleng-geleng kepala seraya mempercepat langkah kakinya. Dan ketika ia tiba pada satu tangga yang menghubungkan lantai itu dengan lantai atas, ia melompat. Langsung memijak di anak tangga terakhir.
Di lantai dua itu, Kenzo berbelok. Dengan langkah yang enteng, lebih dari cukup membuktikan bahwa ia hapal di luar kepala mengenai seluk beluk rumah besar itu. Ia tidak tersesat. Tidak menemui kesulitan sedikit pun untuk menemukan satu ruangan besar. Tempat yang mereka kenal dengan nama aula pertemuan.
Memiliki ukuran yang luas, Kenzo yakin ruangan itu lebih luas dari lapangan sepakbola. Yang memang dirancang khusus untuk mampu menampung semua orang ketika perlu diadakan pertemuan besar. Seperti saat ini contohnya.
Tidak kurang dari dua puluh orang pria dan wanita berkumpul di sana. Berdiri di tengah-tengah aula. Menghadap pada satu kursi besar yang menyerupai singsana. Mereka tampak gelisah. Seraya menunggu tentunya.
Hingga kemudian, tanpa ada komando sedikit pun, suara-suara yang semula memenuhi aula itu, berhenti seketika. Tak ada lagi yang bicara. Lantaran udara yang mereka hirup membawa aroma yang tak asing lagi. Aroma yang menguarkan aura dominansi tak terbantahkan. Seiring dengan samar terdengarnya langkah kaki itu.
Seorang pria masuk melalui pintu samping aula. Mengenakan stelan yang rapi bewarna hitam. Berupa tuksedo yang lengkap dengan dasi kupu-kupu dan juga vest di dalamnya.
Memiliki tinggi nyaris seratus sembilan puluh sentimeter, tubuh pria itu tampak kekar dan berotot. Rambutnya yang lurus tersisir rapi sementara wajahnya terlihat keras dan gahar. Dengan barisan cambang yang memenuhi rahangnya dengan kesan tegas, ia serupa dari bentuk nyata kekuatan seorang pria.
Dalam langkah tenang dan terukur, pria itu berjalan. Mengabaikan setiap pasang mata yang melihat padanya tanpa kedip. Hingga pada akhirnya ia tiba di sana. Pada singgasananya. Ia duduk. Lantas bertanya tanpa ada basa-basi sedikit pun.
“Apa kalian sudah lengkap?”
Adalah Kenzo yang menjawab. Ia menyeruak dari tengah-tengah aula. Mengambil tempat di tempat.
“Ya, Oscar,” jawabnya. “Dua puluh orang kawanan sudah berkumpul. Dengan aku, semua lengkap dua puluh satu orang.”
Oscar Donovan mengangguk sekali. Tampak memutar pandangannya. Melihat satu persatu orang yang berkumpul di sana. Mereka semua, entah itu pria atau wanita, sama-sama tampak kuat. Dalam pakaian ringkas perpaduan celana jeans dan kaus, mereka terlihat tangkas.
“Aku tidak ingin misi malam ini gagal.”
Suara Oscar terdengar selang semenit kemudian. Membuat orang-orang bertampang kuat itu sama melihat padanya. Yang berbicara dengan tenang, tapi justru membuat mereka memasang antisipasi.
“Hari ini,” lanjut Oscar. “Purnama penuh di bulan pertama, kalian harus bisa membawanya ke sini. Aku tidak peduli. Sekalipun kalian harus menghancurkan hutan beserta isinya, aku sama sekali tidak peduli. Yang aku pedulikan hanya satu.” Matanya menatap satu persatu dari mereka. “Gadis itu sampai di sini tanpa kurang satu apa pun.”
“Bagaimana kalau ramalan itu kembali keliru, Oscar?”
Seorang wanita bertanya. Membuat Oscar berpaling.
“Itu urasanku, Lea. Yang kalian pikirkan adalah tugas kalian.”
Lea, wanita yang melayangkan pertanyaan itu langsung mengangguk. Lantas tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Aku yakin kalian semua mengerti apa keinginanku. Jadi ... silakan kalian bersiap.”
Tuntas Oscar mengatakan itu, mereka dengan kompak membubarkan diri. Keluar dari aula pertemuan. Menyisakan Oscar dan Abi.
“Tuan.”
Abi memanggil Oscar dengan sopan. Pria itu menoleh.
“Apa? Kau ingin menceramahi aku lagi?”
Abi menggeleng. “Sama sekali tidak. Saya hanya berharap Tuan bisa sedikit meluangkan waktu untuk bersantai. Akhir-akhir ini sepertinya Tuan terlalu banyak bekerja.”
Tidak langsung membalas perkataan itu, Oscar memilih bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar dari sana. Melalui pintu samping yang sama dengan yang ia lewati tadi. Di belakangnya, Abi mengikutinya.
Melewati lorong yang gelap, pada akhirnya Oscar dan Abi mencapai satu lift. Abi dengan cekatan menekan tombol di sana. Menyilakan tuannya untuk masuk terlebih dahulu sebelum ia turut masuk pula. Dan ketika lift itu perlahan mulai bergerak naik, Oscar tampak membuang napas lelah.
“Sejujurnya saja aku mulai bingung dengan semua ramalan ini. Persetan dengan Bunda Maharani.”
Abi tersenyum kecil. “Saya yakin Tuan harus berpikir dua kali sebelum mengumpatinya seperti itu.”
Pintu lift membuka. Oscar keluar. Begitu pula dengan Abi. Dan lagi-lagi, ada lorong yang mereka lalui.
“Kau benar. Dan kalau pun aku ingin merutuki ramalan itu dan membantahnya, semua mustahil. Darah hewan ini seakan memberikan kutukan tersendiri untuk pria dewasa sepertiku.”
Kali ini Abi tidak mampu menahan gelak kecilnya untuk menyembur keluar. Tepat ketika mereka berdua tiba di satu ruangan. Abi membukanya, menyilakan Oscar untuk masuk dengan ekspresi tak percaya di wajahnya.
“Aku yakin kau bisa mendapati hal lucu di sini, Abi.”
Oscar memilih duduk di balik meja kerjanya. Yang berukuran besar dan terbuat dari kayu berpelitur. Dan di waktu yang bersamaan, Abi beranjak. Menuju pada satu kulkas yang tersedia di sana. Tempat di mana ada beberapa minuman kesukaan Oscar tersimpan dengan rapi.
Abi sudah mengenal Oscar sejak pria itu masih kecil. Hingga di usianya yang telah menginjak angka dua puluh sembilan, ia pun tau apa yang menjadi kesukaan dan kebencian pria yang menjadi majikannya itu. Termasuk di dalamnya adalah menikmati secangkir vodka untuk meredakan sedikit emosi yang ia rasa. Dan untuk itulah mengapa Abi pun tidak lupa menaruh kulkas di sana. Karena ia tau, Oscar menyukai sensasi dingin pada minuman yang ia nikmati.
“Silakan diminum, Tuan.”
Oscar meraih gelas kecil berisi vodka bewarna bening itu. Memutar gelasnya di depan wajah. Membiarkan aroma khasnya menyeruak dan menyapa indra penciumannya.
Mata Oscar memejam. Sensasi khas yang menguar dari minuman itu membuat ia merasa lebih tenang. Hingga kemudian, ketika matanya membuka, ia pun perlahan menyesap minuman itu.
Tidak langsung meneguk minuman itu, Oscar menikmati sejenak sensasi yang timbul di langit-langit mulutnya. Beberapa detik lamanya. Hingga ketika ia membuang napas melalui hidungnya, ada aroma unik yang menyerbak memenuhi seluruh indranya.
Mungkin ... itulah salah satu alasan mengapa Oscar menyukai vodka lebih dari apa pun. Karena ketika aroma itu menjajah dirinya, ia seperti melayang dan terdampar pada alam bebas. Bak dikelilingi oleh jerami-jerami kering yang dengan setia tanpa mengeluh membiarkan ia untuk berbaring. Menengadahkan kepala. Menatap ke atas sana. Pada langit biru yang membentang luas.
Namun, ketika akhirnya minuman itu lenyap ke tenggorokannya, semua khayalan itu menghilang dari benaknya. Mengantarkan dirinya untuk kembali melihat pada kenyataan. Bahwa dirinya sekarang berada di ruang kerjanya. Alih-alih di hamparan padang rumput yang sejuk damai.
“Tenanglah, Tuan. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja.”
Menaruh gelas kecilnya di atas meja, Oscar diam saja mendengar perkataan Abi. Pun sampai pria tua itu meninggalkannya seorang diri di sana, ia tetap tidak mengatakan apa pun. Karena baginya, sepuluh tahun berlalu tanpa bisa menyentuh seorang wanita pun sudah cukup menjadi bukti bahwa ia adalah pria yang benar-benar tenang.
Oscar berdecak. Merutuk di dalam hati.
Sialan!
*
Sekarang, setelah purnama muncul di atas langit.
Era mengerjapkan matanya. Beberapa kali ketika kesadaran kembali menyapa dirinya. Ia meringis. Menahan rasa sakit yang seolah mencacah-cacah tubuhnya.
Berusaha bangkit, Era tidak tau entah sejak kapan ia tertidur dengan begitu menyedihkan di depan pintu. Ia meringkuk. Persis seperti seekor anjing yang dipukul oleh majikannya. Kejam. Tidak berbelas kasih. Dan Era tau, keadaannya pasti akan lebih menyedihkan lagi kalau ia tidak bisa melarikan diri saat itu juga.
Aku harus kabur. Sekarang juga. Sebelum orang-orang itu datang.
Menguatkan tekadnya, Era berdiri. Melihat ke sekeliling kamarnya. Mencoba mencari jalan keluar. Tapi, seperti mustahil.
Jari-jari tangan Era mencengkeram terali yang ada di jendela kamarnya. Pengaman yang sengaja ia pasang untuk menjaga dirinya. Tapi, sekarang benda itulah yang justru mengurungnya.
Ya Tuhan. Bagaimana ini?
Tubuh Era mulai gemetaran. Tapi, ia belum menyerah. Tidak. Era tidak akan pernah menyerah.
Era lantas melihat ke atas. Pada plafon kamarnya yang telah usang dimakan usia. Tampak koyak.
Harapan Era timbul. Ia dengan segera menggeser meja yang ada di sana. Menaruh kursi di atasnya. Dan tanpa pikir panjang, ia menaiki kursi tersebut.
“Akhirnya datang juga. Aku sudah lama menunggu, Bos.”
Tepat ketika tangan Era menyentuh balok plafon di atas sana, telinganya mendengar. Suara Hendra yang tampak berbicara dengan seseorang. Dan tidak sampai di sana, suara-suara riuh lainnya pun terdengar.
Mereka sudah datang.
Era merasa jantungnya berdetak dengan cepat. Keringat mulai memercik di dahinya. Dan tangannya mulai gemetaran.
Ayo, Era. Kau harus kabur dari sini.
Menguatkan dirinya, Era memegang balok plafon itu. Dengan kedua tangannya. Ia berusaha untuk mengangkat tubuhnya. Tapi, gagal.
Percobaan kedua, Era pun gagal lagi. Sesuatu yang membuat ia nyaris pesimis. Dengan air mata kepanikan yang mulai merebak di kelopak matanya.
Tidak, Era. Kau tidak boleh menangis sekarang. Jangan menangis.
Era menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan dirinya. Mengumpulkan semua kekuatannya. Dan memusatkan konsentrasinya.
Hingga ketika telinganya mendengar suara-suara riuh itu semakin dekat, Era pun menggigit bibir bawahnya. Ia melompat. Seiring dengan tangannya yang menguat di balok itu. Dan ia berhasil. Dengan susah payah, ia pun bisa mengangkat tubuhnya.
Kedua tangan Era terulur. Bertahan pada balok-balok lainnya, lalu ia menyeret tubuhnya untuk naik sepenuhnya. Hingga pada akhirnya, Era pun mendarat dengan sempurna di atas sana.
Napas Era terengah-engah. Keringat semakin membasahi tubuhnya. Tapi, ia tau. Semuanya belum berakhir. Ia harus benar-benar kabur dari sana.
Berusaha untuk berjalan dengan cepat tanpa menimbulkan satu suara pun, Era tiba di sisi atap. Ia melongok sedikit. Melihat ke bawah. Dan ia tak punya pilihan lain. Ia harus melompat.
“Sialan! Anak itu kabur!”
Bentakan kemarahan itu membuat Era tanpa pikir panjang langsung melompat. Tak peduli bahwa hal itu bisa membahayakan nyawanya, ia memutuskan untuk mengambil risiko. Apa pun. Asalkan ia tidak berakhir menyedihkan di tangan ayah kandungnya sendiri.
“Bruuuk!”
Era meringis. Ia mendarat dengan salah. Hingga kakinya terasa sakit. Dan menimbulkan suara yang membuat orang-orang di dalam rumahnya tau keberadaannya.
“Itu dia! Itu pasti anak sialan itu!”
Era abaikan tubuhnya yang kotor. Ia langsung berlari. Meninggalkan rumahnya yang serupa neraka bagi kehidupannya.
Lari dan terus berlari.
Era tau tidak akan ada tetangga yang mau menolongnya. Era tau. Menolong dirinya artinya berurusan dengan Adijaya. Orang yang paling disegani di desanya. Dan tidak akan ada manusia yang ingin mengambil risiko sebesar itu.
Era tidak punya pilihan. Hutan yang membentang dengan kegelapan itulah yang akhirnya ia tuju. Di bawah sinar purnama penuh, ia menerobos masuk. Ia abaikan kemungkinan akan ada binatang buas di dalam sana. Karena baginya, mati pun lebih terhormat ketimbang ia melihat Hendra bahagia di atas penderitaannya.
Ranting-ranting patah. Di bawah pijakan kaki Era yang melaju dengan cepat.
Daun-daun bergemerisik. Beradu dengan tubuh Era yang menembus tanpa jeda.
Jantungnya berdegup dengan kencang. Napasnya memburu sahut-sahutan. Dan semua kengerian itu membuat ia semakin mempercepat larinya.
“Dia kabur ke sana!”
“Tangkap dia!”
Sekalipun, Era tidak menoleh ke belakang. Ia terus berlari. Tak peduli ketika ia justru membentur batang besar, ia terus berlari. Hingga ia tak tau, entah sudah berapa lama dan sejauh mana ia berlari.
Terus menerobos. Semakin masuk ke dalam hutan yang gelap gulita, keringat yang membasahi tubuh Era kemudian bercampur dengan tetesan air yang turun dari atas sana. Yang mulanya hanya rintik-rintik tipis. Tapi, dalam waktu yang cepat, air itu pun menderas.
Era mengerjapkan mata. Berusaha mengabaikan air hujan yang mengganggu penglihatannya yang terbatas.
Gelap.
Basah.
Pada akhirnya, kaki tegar itu mendapatkan kesialannya. Menginjak pada tanah yang lunak. Hingga Era terpeleset. Tak mampu bertahan ketika gaya gravitasi mengambil alih kuasa dirinya.
“Braaak!”
Tubuh Era terjatuh. Seiring dengan pekik kesakitannya yang memecah keheningan malam. Ia berguling-guling. Beberapa kali. Hingga ketika tubuhnya berhenti bergerak, Era benar-benar bergeming.
Di bawah hujan yang turun kian menderas, Era tak bergerak. Ia pingsan. Kehilangan kesadaran tepat di saat orang-orang yang mengejarnya menemukan dirinya.
“Hahahaha.”
Hendra tertawa dengan puas. Begitu pula dengan beberapa orang yang turut serta mengejar bersama dengannya.
“Akhirnya anak sialan ini tertangkap juga!” seru Hendra. “Ayo! Kalian bawa dia. Jangan sampai kalian membuat Bos menunggu lama!”
Memberikan perintah pada orang-orang itu, Hendra tampak terbahak-bahak. Bayangan utang yang lunas dan ditambah pula dengan bonus yang akan ia dapatkan, membuat ia merasa begitu bahagia. Serasa ia tengah berjalan di atas angin.
Namun, tawa kesenangan Hendra putus. Tepat ketika telinganya mendengar suara aneh yang memecah kegelapan malam itu. Lolongan serigala.
Hendra dan semua orang di sana memandang ke sekeliling. Hanya untuk memucat. Lantaran ada beberapa ekor serigala yang mengerumuni mereka. Entah datang dari mana.
Satu dari kawanan serigala itu maju. Di bawah cahaya purnama, tampak surainya yang bewarna hitam coklat. Muncungnya membuka. Memamerkan barisan taring kuat yang ada di dalam sana.
Hendra meneguk ludah. Begitu pula dengan yang lainnya. Mata mereka membesar. Wajah mereka memucat. Karena dengan penerangan seadanya, mereka bisa melihat serigala itu dengan jelas. Teramat jelas hingga mereka terpaksa mengangkat wajah saat menatapnya.
Ini jelas bukan serigala biasa. Tidak ada serigala biasa yang memiliki tubuh sebesar itu. Maka tidak aneh rasanya, ketika mereka langsung berlari dari sana. Tanpa ada komando, mereka sama menyelamatkan diri. Meninggalkan Era yang pingsan bersama dengan sekumpulan serigala itu.
*
bersambung ....