Lari, Era. Larilah! Lari sejauh yang kau bisa!
Rintik hujan semakin menderas jatuh ke bumi. Pekat malam semakin menggulita di tengah malam yang sunyi. Semua hening. Tak ada seorang manusia pun di luar sana. Tidak ada. Kecuali, dia. Seorang gadis yang mempertaruhkan hidupnya dengan tiap napas tersengal yang ia miliki.
Ia adalah ... Era.
*
Sebelumnya, ketika matahari masih di atas kepala.
Sama seperti biasanya. Keheningan adalah hal yang menyambut kepulangan Era kala itu. Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun yang nyaris menghabiskan seluruh hidupnya di kota. Dengan alasan kuliah padahal yang sebenarnya adalah ia enggan berada di atap yang sama dengan sang ayah.
Hendra, memang tidak pernah menjadi ayah idaman bagi anak mana pun di muka bumi ini. Terutama bagi Era. Yang tau dengan pasti bagaimana Hendra selalu memperlakukan dirinya dengan begitu kejam. Tidak manusiawi. Tidak seperti seorang ayah pada putrinya. Tidak seperti yang seharusnya.
Dan sejujurnya saja, mendapati suasana rumah yang sunyi sepi seperti ini adalah suatu kebahagiaan bagi Era. Ia senang mendapati rumah itu kosong ketika ia pulang. Ia bahagia karena itu artinya ia tidak perlu bertemu dengan Hendra.
Melangkah masuk, melewati pintu kayu tua yang menimbulkan suara berderik saat didorong, Era mengangkat pandangannya. Melihat ke sekeliling dan mengamati dengan lamat. Pada tiap sisi ruang tamu yang menyambut kedatangannya.
Debu. Abu dan puntung rokok. Botol-botol alkohol. Setidaknya empat benda itulah yang Era tau mewarnai keadaan di sana. Tampak begitu berantakan. Sesuatu yang tidak mengherankan untuk Era sebenarnya.
Tidak ingin mengotori telapak kakinya, Era dengan sengaja tidak melepas sepatu yang ia kenakan. Ia melangkah masuk. Dengan menahan napas ketika aroma busuk itu menyengat menyapa indra penciumannya.
Era tak yakin. Mungkin itu berasal dari sisa makanan yang di dapur. Kebiasaan Hendra yang tak akan membuat ia heran lagi.
“Ah! Kau pulang, Era?”
Menghentikan langkah kakinya, Era sontak menahan napas. Matanya memejam dengan dramatis. Dalam hati ia merutuk. Mengapa ia harus bertemu dengan sang ayah?
Hendra masuk. Berperawakan besar dan tinggi, pria paruh baya itu tampak menyeringai melihat sang putri. Dengan satu tas ransel bewarna biru tua di punggungnya. Satu benda yang membuat ia mengulurkan tangan. Tanpa peringatan sama sekali, Hendra menarik tas ransel itu.
“Ah!”
Era berseru. Perpaduan antara rasa kaget dan sedikit sakit ketika tas ransel itu dipaksa lepas dari kedua pundaknya. Ia meringis. Berbalik dan mendapati bagaimana Hendra yang langsung duduk di kursi. Tangannya menarik retsleting tas itu. Dengan seringai tak berperikemanusiaan, ia bertanya pada Era.
“Berapa sisa uang beasiswamu? Aku ingin beli minuman. Aku sudah lama tidak minum.”
Era mengatupkan mulutnya dengan rapat. Kedua tangannya terkepal dalam upaya menahan air matanya. Melihat bagaimana sang ayah yang membongkar tasnya, membuat ia merasa benci.
“Tidak ada.”
Hendra yang tengah mengeluarkan satu buku dari dalam tas ransel itu sontak menghentikan perbuatannya. Ia mengangkat wajahnya. Melihat pada Era dengan sorot tak mengerti.
“Tidak ada?” tanya Hendra. “Apa maksudmu tidak ada?”
Era menarik napas dalam-dalam, menahannya sejenak di d**a, dan lalu mengembuskannya perlahan. Berusaha tersenyum dengan kaku, ia tampak mencemooh sang ayah.
“Uang beasiswaku sudah aku habiskan. Tidak ada lagi yang tersisa.”
Geraman Hendra terdengar. Rahangnya mengeras dengan sorot tajam yang tertuju pada putri tunggalnya itu.
“Kau bohong.”
Era mendengkus. “Aku tidak bohong. Coba saja bongkar tasku. Kalau ada sepeser uang yang tersimpan di sana, itu berarti keajaiban.”
Menatap Era untuk beberapa detik, Hendra terdengar menyumpahi gadis itu. Lalu ia kembali membongkar tas ransel Era. Dengan menggebu. Membuang isi di dalamnya ke berbagai arah. Hingga kemudian, ia menemukan satu dompet di sana.
“Hahahahaha.”
Hendra tertawa besar melihat dompet bewarna coklat tua itu. Ia membukanya dengan terburu-buru. Hanya untuk membuat tawanya berhenti seketika.
Kosong.
Tidak ada selembar uang pun di dalam sana.
Dan Era tersenyum kecil melihat perubahan pada wajah Hendra. Yang tampak tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bahwa dompet itu benar-benar tidak ada isinya.
Tidak menyerah, Hendra membuka dompet Era dengan lebih teliti. Mencari di tiap selanya. Pada kantung kecilnya. Di mana-mana. Semua ia periksa. Tapi, yang dikatakan oleh Era memang benar adanya. Ia tidak menemukan uang sepeser pun di dalam sana!
Hendra bangkit. Seraya membanting dompet itu. Dalam langkah besar, ia lalu menghampiri Era. Dengan tangan yang langsung meraih kerah kemeja gadis itu. Mencengkeramnya. Nyaris mengangkatnya. Hingga Era merasa sedikit kesulitan untuk bernapas.
“Le-lepaskan ... aku.”
Megap-megap berusaha untuk menarik udara, kedua tangan Era naik. Memukul cengkeraman tangan sang ayah. Tapi, tenaganya jelas bukan tandingan tenaga pria paruh baya itu.
Hendra menggeram. Tepat di depan wajah Era.
“Di mana kau sembunyikan uangmu, Era?! Katakan padaku, dasar kau anak sialan!”
Era menyeringai. Dengan mata yang masih sedikit berlinang, ia menguatkan diri. Air matanya mungkin memang timbul. Tapi, itu bukanlah air mata ketakutan atau kesedihan. Alih-alih air mata menahan amarah dan kebencian.
“Sudah kubilang kan? Uangku sudah habis. Semuanya kupakai untuk berfoya-foya di kota.”
“Kau!”
Hendra menggeram dengan penuh kemarahan. Cengkeramannya semakin kuat. Dan lalu, tanpa peringatan sekali pun, tangan kirinya melayang.
“Plaaak!”
Suara keras terdengar memecah udara. Diiringi oleh pekik sakit Era ketika merasakan pipinya dengan kuat ditampar oleh Hendra. Kepalanya terbanting ke satu sisi. Seketika pandangannya berkunang-kunang. Terasa pening.
“Dasar anak tidak tau diuntung! Sekali kau pulang ke rumah, kau justru membuat aku marah! Anak durhaka!”
Memejamkan matanya menahan sakit, Era terkekeh samar. Merasa lucu dengan apa yang dikatakan oleh Hendra padanya.
“Anak durhaka?” tanya Era dengan tawa rendah yang menyertainya. “Anak durhaka kau bilang?!”
Hendra melotot. Menatap Era dengan sorot syok. “Apa kau bilang? Panggil aku ‘ayah’, sialan!”
Meluapkan kembali kemarahannya, Hendra lagi-lagi melayangkan tangannya. Dua kali. Tiga kali. Bertubi-tubi sehingga suara keras itu terdengar tiada henti.
“Ah!”
Kali ini Era tak lagi mampu bertahan. Rasa sakit yang mendera pipinya membuat pandangannya seketika nanar. Hingga tidak heran sama sekali bila tubuh Era langsung lunglai terjatuh di lantai ketika Hendra melepaskan cengkeramannya.
“Bruuuk!”
Hendra berkacak pinggang. Meludah ke lantai dan mendengkus.
“Ternyata begini ulahmu di kota. Kau bilang kau kuliah? Hah! Gadis kampungan sok mau kuliah! Hahahaha.”
Mengabaikan tawa Hendra yang membuat perutnya mual, Era berusaha untuk bangkit. Kedua tangannya bertahan pada lantai. Tapi, ketika ia akan berdiri, rasa pening itu membuat dunia seolah berputar-putar.
Era memejamkan matanya. Menahan ringisannya. Tapi, tak urung jua rintihan sakit itu lolos juga dari bibirnya.
“Aaargh!”
Dan mendengar erangan penuh dengan rasa sakit itu, Hendra tidak merasa kasihan sama sekali. Malah sebaliknya. Ia terlihat menyeringai. Merasa puas. Seolah ada kesenangan tersendiri yang ia rasakan ketika melihat anaknya merayap di atas lantai dengan keadaan yang menyedihkan seperti itu.
Hendra menghampiri Era. Turun berjongkok dan menyambar rambut panjang Era. Menyentaknya hingga kepala gadis itu terhenyak ke belakang.
“Kuliah di kota membuatmu jadi tidak sopan pada orang tuamu hah?! Membuat kau tidak hormat pada ayah kandungmu?!”
“Ah!” rintih Era. Tangannya naik. Berusaha menggapai tangan Hendra yang menarik rambutnya dengan kasar. “Lepaskan.”
“Tidak akan. Aku tidak akan melepaskanmu, Era. Sebelum kau memanggilku dengan hormat!”
Era memejamkan matanya. Rasa sakit itu semakin menyentak kulit kepalanya. Seiring dengan jambakan Hendra yang semakin menguat.
Melihat ekspresi kesakitan di wajah Era, Hendra tertawa besar. Sesuatu yang bukannya membuat ia iba, alih-alih sebaliknya. Ia tampak senang melihat Era yang merintih menahan sakit.
“Ayo, anak sialan. Panggil aku ...,” desis Hendra dengan penuh penekanan. Ia sedikit menunduk dan berbisik di telinga Era. “... ayah.”
Hendra menunggu. Yang entah mengapa untuk hal seperti ini, ia layaknya memiliki kesabaran. Ia seolah bisa menghabiskan waktunya berjam-jam lamanya demi melihat Era tersiksa. Tersudut. Hingga pada akhirnya, mau tak mau Era akan melakukan apa yang ia mau.
Bagi Era sendiri, kata ayah sudah lama menghilang dari kamus hidupnya. Ia sudah menganggap dirinya yatim piatu. Tanpa ada ibu atau pun ayah di dalam hidupnya. Dan Hendra? Tak ubahnya seperti seorang pria tua yang tidak dewasa sama sekali.
Era membenci Hendra. Ia muak akan pria itu. Tapi, cengkeraman jari-jari Hendra di rambutnya membuat ia tak berdaya.
Era tau. Hendra tidak pernah main-main. Dan menarik lepas rambut-rambutnya dari kulit kepala pastilah bukan hal yang sulit untuk ia lakukan. Pria itu sungguh tidak memiliki belas kasih pada putrinya sendiri.
“Le-lepaskan aku ...” Era memejamkan matanya dengan teramat kuat. Bukti nyata bahwa ada peperangan yang terjadi di batin gadis itu. Tapi, ia tidak punya pilihan lain. “... ayah.”
Demi mendengar satu kata itu, satu seringai pun pelan-pelan menyungging di wajah gelap Hendra. Diikuti oleh kekehan samar yang perlahan melantun dari bibirnya. Ia tertawa. Tampak puas mendengar Era memanggilnya ayah.
“Hahahahaha. Bagus bagus. Kau memang anak penurut!”
Mengatakan itu, Hendra kemudian menghempaskan kepala Era. Membuat gadis itu membentur lantai. Menghadirkan rasa pening yang lagi-lagi menyapa dirinya.
Hendra bangkit. Tampak membuang napas seraya melihat Era yang masih meringkuk menahan sakit di lantai. Ia berdecak.
“Aku sudah menunggumu pulang setahun ini. Dan sekali kau pulang, ternyata kau tidak bisa diharapkan. Bagaimana bisa kau pulang tidak membawa uang sepeser pun?”
Era tidak menjawab pertanyaan itu. Ia masih berusaha menenangkan diri dari rasa sakit yang bertubi-tubi ia dapatkan. Pun termasuk menenangkan rasa syok ketika ia mencicipi rasa asin di sudut bibirnya.
Harusnya Era tidak heran lagi. Terluka bukanlah hal yang aneh untuk ia rasakan. Selama tinggal dengan Hendra, sudah tak terhitung lagi berapa kali ia mengeluarkan darah. Bahkan dengan tamparan pun ia bisa memastikan bahwa Era akan kembali merasakan luka.
“Ini tidak boleh terjadi! Argh! Kau seharusnya membawakanku uang, Era!”
Hendra membentak. Seiring dengan kakinya yang kemudian bergerak. Menendang Era yang bahkan masih belum bangkit dari atas lantai.
Era kembali terjerembap. Dagunya menggesek lantai. Menimbulkan lecet yang diikuti oleh rasa perih.
Mengabaikan Era, Hendra menyugar rambutnya. Mengusap peluh yang muncul di wajahnya. Dan ia tampak cemas.
“Bagaimana ini? Hari ini hari terakhir! Argh! Seandainya aku ada uang!”
Hendra mondar-mandir. Ia tampak berpikir di saat Era perlahan bangkit berdiri kembali. Berpegangan pada dinding. Lalu menarik napas dalam-dalam. Mencoba untuk mengabaikan rasa sakitnya, ia perlahan menguatkan kembali dirinya.
Era melirik Hendra. Matanya menyiratkan kebencian yang tak tertahankan lagi. Hingga ia melirik pada satu benda di atas lemari.
Cermin. Yang biasa digunakan oleh Hendra untuk mencukur kumisnya yang berantakan itu. Yang mungkin bisa saja Era gunakan untuk hal lainnya.
Era menahan napasnya. Berusaha untuk meredam getar-getar tubuhnya. Mencoba untuk bergerak tanpa menarik perhatian Hendra. Dan ia beruntung. Karena pada saat itu, Hendra lantas merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponselnya.
Hendra menghubungi seseorang. Dengan ekspresi wajah yang tampak cemas. Hingga ketika ia tetap mondar-mandir, ia abai dengan Era.
“Halo, Bos. A-aku minta tambahan waktu, Bos. Aku bukan mau ingkar janji, Bos. Tapi, uangku benar-benar tidak ada. Aku bersumpah. Nanti kalau aku su---”
“Praaang!”
“Argh!”
Kejadian itu terjadi dengan begitu cepat. Diawali oleh suara kaca yang terbanting ke lantai dan kemudian disusul oleh rasa perih yang menggores lehernya. Hendra meraung. Ponsel terlepas dari tangannya.
Napas Era menderu. Ia terengah-engah dengan d**a yang naik turun dengan menggebu. Di tangannya, ada sebilah pecahan kaca. Yang tampak meneteskan darah segar. Darah Hendra.
“Sialan!”
Raungan Hendra meledak. Ia berbalik seraya membekap lehernya. Rasa perih membuat ia murka. Dan semuanya semakin menjadi-jadi saat ia melihat bukti di tangan Era.
“Anak b******n! Dasar sialan!”
Hendra murka. Lalu mengabaikan lukanya yang tidak parah itu, ia bergerak. Mendekati Era yang langsung mengayunkan pecahan kaca yang masih ia pegang.
Hanya saja, dalam sekali tepis, Hendra mampu mengenyahkan senjata yang tak berarti itu dari tangan Era. Melemparnya ke sembarang arah. Dan ia kembali menampar gadis itu.
“Anak tidak tau diuntung! Anak b******k kau, Era!”
Menggeram dengan penuh kemarahan, Hendra memukul Era berkali-kali. Hingga tak sempat lagi telinganya mendengar rintihan gadis itu. Yang ada hanyalah suara pukulannya yang tiada henti.
Pada saat itu, melihat Era yang terhuyung tak berdaya, Hendra tertegun. Tepat ketika matanya terpaku pada kemeja Era yang tersingkap. Satu kancingnya terlepas. Dan memperlihatkan tulang selangkanya di dalam sana. Berikut dengan kulitnya yang mulus.
Mata Hendra membesar. Dengan cepat ia meraih kembali ponselnya dari atas lantai. Mengabaikan lukanya yang tidak seberapa itu, ia kembali menghubungi nomor yang sama.
“Bos. Bos. Bos. Aku memang tidak bisa membayar utangku malam ini. Aku tidak punya uang. Tapi, aku bisa membayar utangku dengan cara lain.”
“....”
“Bos, mau wanita penghibur malam ini?”
Pertanyaan itu bukan hanya didengar oleh lawan bicara Hendra di seberang sana. Alih-alih juga didengar oleh Era. Ia menggeleng. Dalam rasa pening yang tak mampu ia lawan, ketakutan itu dengan serta merta muncul.
“Tidak. Tidak.”
Hendra mengabaikan rintihan Era. Ia justru tersenyum lebar. Tepat ketika ia lanjut berkata.
“Aku punya seorang gadis, Bos. Dijamin masih perawan. Bos tidak akan kecewa. Dan tentunya, setelah Bos puas, Bos bisa menjadikan dia wanita penghibur di klub.”
Rasa takut Era terbukti. Hendra berniat menjadikan dirinya sebagai pembayar utang.
“Hahahaha. Tentu saja. Bos tidak akan kecewa. Ini anakku sendiri, Bos. Bos tau bukan? Era. Dia terkenal di desa sebagai gadis yang cantik dan pintar. Hahahaha.”
Menahan rasa perih, Era membuka matanya. Sorot kebencian itu memancar dengan begitu membuncah. Sungguh, Era tidak habis pikir. Entah terbuat dari apa hati ayahnya itu. Bahkan pada anak kandungnya sendiri pun ia bisa setega itu.
“Ah! Sungguh, Bos? A-aku juga dapat bonus? Hahahahaha. Baik, Bos, baik. Malam ini dia siap untuk dijemput.”
Hendra memutuskan panggilan itu dengan tawa terbahak-bahak. Tak perlu ditanya. Sepertinya pria itu senang sekali. Senang karena berhasil menjual anak sematawayangnya.
Hendra berpaling. Melihat pada Era yang tampak ketakutan wajahnya. Ia menyeringai.
“Mana tampang sok berani tadi hah?! Mana? Hahahaha. Akhirnya kau ada juga manfaatnya, Era. Hahahahaha.”
Era menggeleng. “Kumohon, Ayah. Jangan. Jangan jual aku.”
Mata Hendra mengerjap. Ia tampak mencongkel telinganya. Lalu terkekeh. “Tadi apa kau bilang?” tanyanya. “Ayah? Ayah kau bilang? Hahahaha.”
Era meneguk ludah. Berusaha menguatkan diri pun sekarang percuma. Percakapan Hendra di telepon tadi menghadirkan ketakutan yang tak akan bisa ia hadapi.
Berakhir menjadi gadis penebus utang ayahnya? Sekaligus menyerahkan diri demi menjelma menjadi wanita pemuas nafsu di klub? Tidak. Era tidak menginginkan hal itu.
“A-ayah. Aku mohon. Aku akan berikan uangku. Tapi, jangan jual aku.”
Mengabaikan semuanya, akal sehat yang menentang dirinya untuk mengiba, Era menjatuhkan diri. Memeluk kaki sang ayah. Air matanya jatuh. Kengerian itu sungguh melemahkan dirinya.
“A-aku tidak ingin jadi pelacur.”
Hendra tertawa. “Apa gunanya wajah cantik kalau tidak jadi p*****r hah?!” Ia lantas berjongkok. Kembali menyentak rambut Era yang ia jambak. “Setidaknya kau bisa bersyukur. Karena tidak banyak gadis terlahir dengan wajah secantikmu, Era. Dan sekarang ... kau bisa memanfaatkan wajahmu ini.”
Tuntas mengatakan itu, Hendra tertawa besar di depan wajah Era. Gadis itu memejamkan matanya. Ia menggeleng. Dalam hati menyesali keputusannya untuk pulang hari itu.
“Sekarang, bangun kau!” hentak Hendra seraya menarik rambut Era untuk berdiri. “Masuk ke kamar dan jangan pernah berpikir untuk pergi dari rumah ini!”
Hendra menyeret Era. Tanpa ada belas kasih sedikit pun. Layaknya Era bukan anak kandungnya sendiri.
“Ayah! Lepaskan aku! Aku mohon!”
Era menjerit. Seraya tangannya yang berusaha melepaskan jambakan Hendra. Tapi, bukannya lepas, Era justru mendapati jambakan itu semakin kuat menyakiti dirinya.
“Diam kau, anak sialan!”
Tiba di kamar kecil yang merupakan kamar Era, Hendra langsung membanting gadis itu masuk ke dalam sana. Era yang tak berdaya langsung tersungkur dan membentur tepi tempat tidur yang terbuat dari kayu itu.
“Aaah!”
Mengira dirinya sudah tidak mampu merasakan sakit lagi lantaran mendapati kekerasan dari tadi, nyatanya ringisan tetap lolos dari bibir Era. Punggungnya terasa ngilu. Berkat ranjang yang telak menghantam tulang punggungnya.
Hendra meremas daun pintu. Menatap rendah pada Era yang merintih kesakitan.
“Kau diam di sini. Jangan macam-macam kalau kau tidak ingin mampus hari ini juga. Malam nanti, kau akan terbebas dariku. Hahahaha. Itu kan yang kau mau?”
Tawa ejekan itu membahana. Tepat sebelum Hendra membanting pintu kamar Era. Menutupnya dan tanpa lupa menguncinya. Dan ketika ia beranjak dari sana, hanya samar tawanya yang tertinggal.
Terkurung di kamarnya seorang diri, Era tampak begitu memilukan. Menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya sementara bayang menakutkan mulai menghantui pikirannya. Tidak. Era tidak ingin berakhir menyedihkan menjadi wanita pemuas nafsu di klub malam.
“Ya Tuhan ....”
Era berusaha untuk bangkit. Mengabaikan remuk yang membuat tulang belulangnya terasa copot dari persendiannya, ia berjalan. Tertatih. Menuju ke pintu. Dan walau harapan itu nyaris tidak ada, ia mencoba menekan daun pintu tersebut.
Berulang kali. Tapi, sebanyak apa Era mencoba, hasilnya nihil. Pintu itu bergeming. Jangankan membuka, bergeser sedikit pun tidak.
“Ayah! Buka pintunya! Aku mohon, buka pintunya!”
Era menggedor pintu itu berulang kali. Dengan sekuat tenaga seraya berteriak tanpa henti. Mungkin dengan sedikit harapan yang tersisa di benaknya. Karena kalaupun Hendra tidak memedulikannya, bisa saja ada tetangga yang peduli.
Namun, tidak Era ketahui bahwa ketika Hendra keluar, ia dengan serta merta mengancam beberapa orang tetangga yang kebetulan sudah berdiri di sekitar rumahnya. Jelas tertarik dan penasaran dengan keributan yang terjadi. Pria itu mengangkat tangannya. Menunjuk mereka satu persatu.
“Kalau ada yang menolong Era, urusannya bukan dengan aku. Tapi, dengan Tuan Adijaya!”
Mendengar nama itu disebut oleh Hendra dengan lantang, semua orang yang ada di sana menjadi ciut. Tak hanya itu. Mereka pun kemudian tampak mundur teratur. Pelan-pelan beranjak meninggalkan tempat tersebut. Kembali ke rumah masing-masing. Menyisakan Hendra yang menyeringai senang seraya melihat ke rumahnya. Tampak bahagia di atas teriakan-teriakan Era.
*
bersambung ...