Malam Pertama

1082 Words
Sumpah ya, berani dikutuk jadi awet muda seumur hidup, disuruh datang ke rumah dosen brewok ternyata lebih mengerikan daripada ditagih bayar sewa kos sama Mpok Nuri. Ah ya, aku Sani. Hidup sebatang kara di negara yang konon kaya akan sumber daya alam ini. Kedua orang tuaku sudah meninggal. Sebenarnya sih, aku punya dua saudara. Keduanya laki-laki. Aku anak perempuan satu-satunya. Sayang, kedua saudara laki-lakiku juga sudah tiada. Kejadian mengenaskan menimpa keluargaku saat aku masih duduk di bangku SMP. Kecelakaan maut saat kami hendak berlibur. Semua meninggal kecuali aku. Alhasil, aku banting tulang hidup sendirian. Fakta mengenaskan berikutnya adalah, semua harta peninggalan orang tuaku hanya uang tabungan yang cukup untuk biaya sekolahku hingga SMA. Aku bahkan baru tahu kalau rumah yang kami tempati dulu bukan milik orang tuaku. Melainkan rumah sewa. Karena sewa rumah sebesar itu sangat mahal, akhirnya aku pergi dan jadilah aku di sini. Kadang kalau lagi datang setannya, rasanya ingin menyerah dan cari jalan pintas. Konon katanya jadi wanita panggilan itu duitnya cepat banyak. Untungnya aku belum segila itu. Sebatas jadi pelayan toko atau tukang cuci piring di restoran. Walau rasanya sekujur tubuh terasa remuk, tapi uangnya cukup lumayan. Dan ya, inilah efeknya. Kuliah terbengkalai. Tuan Brewok ini juga salah satu efek dari hasil kerjaku yang tak kenal waktu. Beberapa kali aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Di depanku terpampang sebuah rumah besar yang terkesan elegan dan mewah. Apa benar ini rumahnya? Besar sekali. Padahal hanya seorang dosen. Masa iya duitnya bisa sebanyak itu? Ck, jadi curiga. Jangan-jangan dia ikut pesugihan? Atau lebih parah lagi, aku disuruh ke sini untuk dijadikan tumbal? Seketika bulu kudukku berdiri semua. Atau mungkin saja dia jadi pengedar obat terlarang. Kan yang begitu juga duitnya banyak. Saat sedang berpikir tentang Tuan Brewok itu, tetiba ponsel di saku celanaku bergetar. Lah, panjang umur. Tuan Brewok menelpon ternyata. "Ya, halo?" "Kenapa hanya berdiri di situ? Cepat masuklah! Saya sudah tidak tahan!" "Eh, iya. Sebentar, saya segera masuk." Dengan jalan tergesa-gesa aku segera masuk ke rumah besar ini. Katanya tadi dia sudah tidak tahan. Dimana manusia itu ya? Rumahnya besar sekali. Ruang keluarga saja sangat luas, bisa buat acara liwetan satu komplek ini mah. Eh, tunggu! Dia tidak tahan? Di waktu malam seperti ini? Seorang pria menyuruh gadis datang ke rumahnya dengan cepat dengan alasan sudah tidak tahan? Seketika otakku bertamasya ke lembah durjana. Jangan bilang dia mau .... Drrtt... drttt....! Waduh dia nelpon lagi. Gak sabar amat sih! "Ya, Pak? Anda dimana? Saya sudah di dalam rumah. Bahkan sudah mutar-mutar kesana kemari. Sepertinya ini dapur Anda." "Berbaliklah!" Eh, kok suaranya dekat? Aku mengikuti instruksi darinya. Saat berbalik, nampaklah si Tuan Brewok sedang duduk sendirian. Di depannya hanya ada air putih satu gelas. "Anda bilang sudah tidak tahan? Maksudnya apa?" Aku langsung menodong pertanyaan tanpa basa basi. Si Brewok menunjuk jam dinding di ruangan ini. "Kamu lihat? Ini jam berapa?" Keningku berkerut, "Jam sembilan malam, Pak. Apa ada yang salah? Jamnya rusak? Atau mau dicopot?" "Ngaco kamu! Ini sudah larut malam dan saya tidak tahan lagi." Glek. Aku menelan ludah yang terasa seret. Jangan-jangan aku akan habis malam ini di tangan pria brewok di depanku. "A-apa? Anda su-sudah tidak tahan? Ta-tapi saya ...." "Kenapa malah gagap? Cepat buatkan makan malam!" "Ha?" "Saya bilang cepat buatkan makan malam! Malah hu-ha begitu." Ini orang benar-benar juara dalam hal menindas ya? Nyuruh buatin makan malam jam segini? Atau jangan-jangan dia menyuruhku masak agar dia makan dan mendapat tenaga lebih untuk menikmatiku. Sial, nasibku apes hari ini. Seketika bayangan masa depan bersama suami romantis langsung buyar dan ambyar. Yang tersisa hanya manusia brewok yang sedang duduk tegap dan menatapku tajam. Baik. Nasi sudah menjadi bubur. Sebaiknya aku lanjutkan saja. Tak apa, ini mungkin kecelakaan dalam hidup. Semoga saja setelah aku lulus jadi sarjana, aku bisa dapat pekerjaan yang lebih baik. Setidaknya ini usahaku untuk mencapai gelar kehormatan itu. Mataku menemukan lemari es besar. Tanpa ragu segera aku buka dan memeriksa barangkali ada bahan makanan yang bisa aku masak. Aku memang tidak terlalu pandai memasak. Tapi kalau hanya sekedar masakan sederhana saja, aku bisa. Terbiasa hidup sendiri memaksaku untuk segala bisa. Dan kali ini kubuatkan udang asam manis untuk si Brewok yang tak sabaran itu. Selang dua puluh menit, aku selesai dengan masakanku. Segera ku berikan padanya. Matanya menatap ragu. Lalu menatapku curiga, "Tidak ada racunnya kan?" "Ya ampun, Pak. Mana berani saya? Saya masih waras untuk menghabisi nyawa orang lain. Membunuh Anda sama saja menghancurkan hidup saya. Penjara bukan tempat yang bagus untuk masa depan, Pak." "Baguslah! Tapi saya mau kamu mencobanya terlebih dahulu." "Anda curiga sama saya?" "Waspada itu perlu. Siapa tahu kan kamu masukin jampi-jampi buat memikat saya?" Dih, percaya diri sekali ini orang! Dengan senyum dipaksakan, aku mengambil sendok dan memakan satu ekor udang yang ku masak. "Rasanya enak. Kalau Anda tidak mau, biar saya saja yang makan semuanya, Pak. Ini mahal lho, Pak. Mubazir kalau dibuang," ucapku sambil mengambil piring berisi udang yang sudah kumasak tadi. "Eh, enak saja! Ini punya saya! Tugas kamu hanya memasak dan mencicipinya." Piring tadi ia ambil lagi lalu disimpan kembali di depannya bersama sepiring nasi yang masih panas. "Tugas saya hanya ini kan, Pak?" Sebenarnya aku agak was-was bertanya. Bagaimana kalau setelah makan malam, Pak Adit akan memakanku juga? Gak kebayang bagaimana aku bisa berada dalam pelukan d**a bidangnya yang berbulu itu. "Tugas kamu belum selesai. Duduklah!" Tuh kan? Tugasku belum selesai katanya! Duh, apa ini akan menjadi malam pertama buatku dan Tuan Brewok? Tapi demi masa depan yang lebih baik, aku akhirnya nurut dan duduk di depannya. Melihatnya makan hasil masakanku dengan sangat lahap. "Enak ya, Pak?" tanyaku setelah beberapa menit hanya diam melihat dia makan. "Saya lapar!" Jawabnya singkat. "Jawabannya tidak relevan, Pak." "Saya tidak bohong." "Ya kan saya bertanya, apa masakannya enak?" "Kamu cerewet. Orang lapar bisa makan apapun tanpa mempertimbangkan enak atau tidak." Ck, gengsi amat mengakui kalau masakanku memang enak. Tahu begini, padahal tadi udangnya ku goreng saja tidak usah pakai bumbu segala. Toh dia bilang kalau lapar bisa makan apa saja kan? "Baik. Terserah Anda, Pak. Tapi sekarang saya mau pulang. Tugas saya sudah selesai kan?" "Tidak semudah itu. Kamu pikir untuk menebus nilai kamu cukup dengan masak udang dan nasi?" "Lah, terus Anda maunya bagaimana, Pak?" "Masih ada tugas tambahan." Aku meringis antara pasrah dan takut, "Tapi ini sudah malam, Pak." "Saya tahu. Siapa bilang ini masih siang?" "Tugas saya apalagi ya, Pak?" "Tidur." Ha? Tidur? Tidur beneran atau ditiduri ya? Tetiba pikiranku berkerja cepat. Bayangan malam pertama dengan si Brewok berseliweran. Mampus aku!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD