SWM - PART 1

3270 Words
Suasana pagi yang begitu riweuh sedang diperhadapkan kepada Davira Taleetha Adhyasta. Rutinitas paginya hendak berangkat ke sekolah membuatnya kewalahan. Davira memang sering sekali bangun telat, hal itu juga akan berpengaruh dengan perispaannya untuk berangkat ke sekolah. “Vira buruan! Alva udah datang!” Panggil Mamanya Ambar Adhyasta. “Bentar Ma!” Teriak Davira dari kamarnya. Dengan tergopoh-gopoh Davira membawa sepatunya belum sempat untuk dia pakai, bahkan buku-bukunya saja belum dimasukkannya ke dalam tas. Ia bawa begitu saja dengan rambut yang masih berantakan. “Yaampun Vira kamu niat kesekolah nggak sih.” Protes Ambar pada anaknya. Davira segera turun dari kamarnya dengan masih keadaan yang sangat berantakan. “Jangan marah-marah dulu deh Ma, bantuin kek.” Rajuk Davira pada Mamanya. Alva sahabat laki-lakinya sudah hadir di ruang makan tersebut. Ia ikut serta menggelengkan kepalanya melihat tingkah ajaib sahabatnya itu. “Lo habis ngapain? Kayaknya kita lagi nggak ada tugas deh. Nonton drama lagi Lo?” Senyum Davira mengembang menunjukkan gigi putihnya yang langsung dapat pukulan dari Mamanya. Yap alasan Davira telat pasti karena dia habis begadang. Bukan begadang karena tugas tapi karena dia menonton drama korea favoritnya seperti biasa. “Kayaknya wifi bakalan Mama matikan dan laptop kamu kayaknya bakalan Mama tahan kalau kamu kayak gini terus.” “Mama!” Rajuk Davira sambil mengunyah roti untuk sarapannya. Alva segera memasukkan buku-buku Davira ke dalam tas. Sedangkan Ambar sudah berdiri di belakang Davira guna membantu mengikat rambut anak tunggalnya itu. “Kamu udah mau selesai SMA tapi kelakuan masih kayak anak-anak. Masak iya anak SMA rambutnya masih di ikatin sama Mamanya kayak gini.” Kata Ambar memperingati. “Davirakan spesial Ma hehe.” Kata Dvaira sambil cengengesan, karena anak tunggal terkadang membuat Davira memang sedikit manja. “Kamu makan roti aja? Nanti kamu lapar lagi disekolah.” Kali ini Papa dari Davira yang berbicara, Anthoni Adhyasta. “Udah nggak sempat Papa, ini udah telat.” Kata Davira kini sambil menggunakan sepatunya. “Bawain bekal Ma.” Pesan Anthoni pada anaknya. “Gausah Om, ini ada Bunda siapin makan untuk kita.” Jawab Alva. “Lihat Alva saja udah siap semuanya, kamu emang. Ayo buruan, kasihan Alva juga harus ikut telat gara-gara kamu.” Davira memasang wajah cemberutnya. Papanya memang sangat suka membuatnya kesal dengan membandingkan dan membela Alva dibandingkan dirinya. Padahal anaknya adalah Davira bukan Alva. “Davira pergi ya Ma,” Davira memeluk Ambar dan mencium pipinya, kemudian dia memeluk Papanya dan mencium pipi Anthoni. “Davira pergi ya Pa.” “Botol minum kamu!” Ambar sedikit teriak mengingatkan anaknya, Alva yang belum berpamitan langsung mengambil botol minum milik Dvaira yang berwarna biru itu. “Kita pamit ya Om, Tante.” Alva mencium satu-satu punggung tangan kedua orangtua Davira. Setelah itu keduanya berangkat sekolah dengan motor matic milik Alva. Alvarendra Prasaja merupakan sahabat dari Davira Taleetha Adhyasta. Keduanya bersahabat dari umur mereka empat tahun. Semua berawal dari Davira yang baru saja pindah ke sebelah rumah Alva. Semenjak itu mereka berteman hingga sekarang. Orangtua mereka kompak membuat mereka satu sekolah, selain permintaan keduanya. Karena mereka melihat Alva dan Davira seolah tidak bisa dipisahkan. Seiring dengan berjalannya waktu Alva menjadi pria yang bertanggungjawab. Menjaga dan melindungi Davira yang suka sekali ceroboh. Maknaya orangtua Davira lebih percaya dengan Alva dibandingkan dengan anak mereka sendiri. Tetapi jangan salah Davira juga menjadi anak kesayangan dari Bundanya Alva, Irene Prasaja. Alva memang anak tunggal sama dengan Irene, tapi Alva hanya seroang Bunda tidak Ayah. Sampai sekarang Alva tidak tahu siapa Ayah kandungnya. Alva sangat menyayangi Bundanya, karena hanya Irene saja yang Alva punya sebagai keluarga. “Hah untung aja pas banget waktunya.” Kata Davira bisa bernafas lega. Saat Alva memarkirkan motornya, disaat itu juga bel langsung berbunyi. “Lain kali jangan gitu, tadi untung aja kita nggak kenapa-kenapa di jalan.” Alva memang mengebut tadi ketika di dalam perjalanan. Mau tidak mau Alva harus melakukannya demi mereka tidak telat sampai di sekolah. “Iya-iya. Ayo buruan Pak Bruto yang masuk ini.” Davira mengingatkan. Pak Bruto adalah guru Fisika yang terkenal galak dan sangat memaatikan. Kenapa guru eksakta itu mengerikan ya pikir Davira, nggak hanya fisika, matematika dan kimia juga. Alva yang langsung berjalan dengan cepat kemudian disusul dengan Davira. Mudah bagi Alva untuk berjalan cepat tapi tidak dengan Davira, karena Alva mempunyai kaki yang Panjang tidak dengan dirinya. Kalau Alva berjalan cepat maka dengan Davira seperti berlari.   ***** “Lo ga bawa jaket? Jadi tadi pagi Lo ga pake jaket?” Tanya Alva dengan nada tinggi. Ia kesal dengan keteledoran Davira yang suka lupa. Davira menggelengkan kepalanya sambil tersenyum menampakkan giginya. Alva juga tidak terlalu memperhatikan tadi pagi, karena mereka sudah terlambat. Fokus Alva tertuju hanya bagaimana mereka bisa sampai di sekolah dengan selamat dan tepat waktu. “Kebiasaan banget sih Lo Vir!” Alva membuka jaket miliknya. Mereka baru saja pulang sekolah dan hari ini mereka tidak ada bimbingin belajar. Maka keduanya memilih untuk pulang, biasanya mereka pakai untuk makan diluar atau menemani Alva membeli buku. Tapi kali ini tidak, karena sedang tanggal tua. Keduanya kompak keuangan mereka sedang menipis. Keduanya memang mempunyai orangtua yang punya uang tapi tidak berarti mereka selalu dipenuhi dengan uang yang kelimpahan juga. Tetap orangtua mereka memberikan jatah uang secukupnya layaknya anak sekolah pada umumnya. “Pake ini.” Kata Alva sambil memberikan jaket miliknya. “Lo aja deh yang pake gue gapapa.” “Gausah ngebantah deh Lo, pake gak atau Lo pulang naik angkot sana!” Davira memajukan bibirnya tanda sedang kesal, ia mengambil jaket dari tangan Alva. Pria itu segera menghidupkan motornya sambil menunggu Davira. “Helmnya dikancing Davira.” Kata Alva dengan tegas, lagi Davira memang sangat tidak suka mengancing helmnya. Alasannya terlalu mengikat, namanya juga helm pasti mengingat bukan? Kalau nggak dikancing, seandainya jatuh bisa aja helmnya lepas dari kepala dan tidak lagi menjadi pelindung bagi kepala bukan? Itu alasan Alva. “Iya bawel!” Setelah mengancing barulah Davira naik ke motor Alva dengan menumpukan tangannya pada bahu Alva. “Udah ayo.” Barulah Alva menjalankan motornya menuju rumahnya. Tak berapa lama Alva memarkirkan motornya di garasi rumahnya. Davira turun dan membuka helmnya, ia langsung masuk ke dalam rumah Alva tanpa berniat menunggu pria itu. “Bunda! Hello Bunda Davira coming! Bunda!” Suara Davira memenuhi rumah milik Alva. “Bunda di dapur.” Jawab Irene, Bunda Alva. Davira langsung menuju arah dapur dan menajamkan penciumannya karena ia sudah mencium aroma makanan. “Tangan Bunda kotor gabisa cium, peluk Bunda aja deh.” Kata Davira sambil memeluk Irene. Wanita paruh baya itu tersenyum. “Bunda buat cookies kesukaan kamu.” “Iya Bunda, udah kerasa tadi harumnya.” Davira hendak mengambil cookies yang masih ada di atas panggangan tapi langsung dapat pukulan dari Alva yang baru saja datang. “Cuci tangan dulu kalau mau makan sesuatu.” Davira menghentakkan kakinya tapi mengikuti intruksi Alva. Ia berjalan ke arah westafel guna cuci tangan. Satu Alva juga penganut kebersihan, tapi makan dipinggir jalan gapapa. “Siang Bunda.” Sapa Alva sambil mencium pipi Bundanya. “Siang Nak.” “Bunda nggak ke toko kue?” Tanya Alva sambil ikut mencuci tangan dengan Davira. “Tadi Bunda udah kesana control biasa, terus pulang.” Pekerjaan dari ibu Alva adalah wirausaha. Dengan mempunyai beberapa toko kue yang dikelola. Awalnya satu, tapi kelama-lamaan mempunyai cabang. Resep kuenya juga semua hasil dari ciptaan Irene sendiri. Irene memang sangat mahir dalam masak-memasak apapun. Irene juga punya catering yang resepnya juga langsung buatan Irene sendiri. “Kenapa? Bunda sakit ya?” Tanya Alva khawatir. Karena yang Alva tahu, kalau Bundanya hanya sebentar di toko itu karena sedang tidak enak badan. “Enggak kok, Bunda sehat. Emang mau di rumah aja, sekalian masak cookies untuk Davira sama makan siang kalian. Bunda tahu kalau kalian nggak bimbingan hari ini.” Davira jelas sangat senang, setelah mencuci tangan ia langsung mencomot kue buatan Irene. “Huaaaa selalu enak Bunda.” Puji Davira. “Makanya kalau mau makan enak kayak gitu belajar supaya ga hanya makan, tapi bisa buat.” Ejek Alva. “Santai dong, pelan-pelan. Guekan emang udah belajar sama Bunda, iya nggak Bun? Apa lagi Bunda bilang mau menurunkan resepnya hanya untuk seorang Davira Taleetha Adhyasta iyakan Bun?” Irene tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Seriusan Bun?” Tanya Alva tak percaya. “Iya, Bunda mau kasih resep Bunda untuk Davira aja.” “Kenapa?” Tanya Alva bingung. Ia masih tak percaya Bundanya mau memberikan resepnya pada Davira. Padahal banyak yang mau membeli resep Bundanya dengan harga yang fantastis, bahkan mengajak Kerjasama saja ada, tapi Bundanya tidak mau membagi resepnya pada siapapun. Tapi Bundanya mau memberikan resepnya secara cuma-cuma pada Davira? “Gapapa, kan Davira anak Bunda. Jadi sudah pasti Bunda kasih sama anak Bunda resepnya. Kamukan mana mau belajar masak, walaupun sekarang Davira belum bisa tapi Bunda yakin nanti juga bakalan bisa kayak Bunda.” Davira senyum penuh kemenangan menatap Alva, menandakan bahwa dirinya menang. “Yaudah terserah Bunda aja itukan hak Bunda.” Alva tidak keberatan kalau Bundanya mau memberikan pada Davira, hanya saja ia kaget kalau Bundanya memilih Davira tidak yang lain. “Kamu ganti baju dulu gih, biar kita makan siang bersama. Bunda pindahin sekalian cookiesnya ke toples, okey?” Davira menganggukkan kepalanya senang seperti seorang anak yang mendapatkan mainan. “Davira ke rumah dulu ya Bun, jangan kasih Alva cookiesnya nanti jatah Davira berkurang Bun.” “Maksud Lo apa gue nggak boleh? Buatan Bunda gue nih.” “Bunda gue juga kali!” “Udah-udah kalian jangan ribut. Bunda buat banyak kok jadi nggak bakalan kehabisan, Bunda lebihin untuk kamu dibandingkan Alva ya.” “Yeayyyyy!” Teriak Davira kesenangan. “Bunda!” Protes Alva tak terima karena Davira lebih banyak dibandingkan dirinya. Kalau dengan orangtua Davira, Alva yang akan di bela dan diutamakan. Begitu juga dengan Bunda Alva, maka Davira yang lebih diutamakan dan di bela. “Makasih Bunda.” Davira mencium pipi Irene setelah itu menjulurkan lidahnya pada Alva guna mengejek sahabatnya itu. “Resek Lo!” Alva hendak menoyor Davira tapi wanita itu lebih cepat mengelak dengan pergi sambil terus mengejek. “Lihat jalan Lo ntar kesandung aja baru tahu.” Alva memang jam pengingat bagi Davira, sahabatnya itu emang punya sifat yang ceroboh. Bagaimanapun kesalnya Alva pada Davira tapi tidak kesal sepenuhnya, mereka memang sudah terbiasa seperti itu. Keduanya sudah terbiasa dengan hadirnya mereka satu dengan yang lain dikehidupan mereka masing-masing. Teman-teman sekolahnya saja banyak yang salah paham akan persahabatan keduanya. Banyak yang mengira kalau mereka bukan hanya sahabat pada umumnya, karena perhatian Alva ke Davira itu beda begitupun sebaliknya. Tapi keduanya selalu kompak dan tegas keduanya memang bersahabat tidak lebih. Semenjak itu keduanya tidak ambil pusing apapun kata orang lain. Paling penting bagi mereka adalah, bagaimana keduanya menjalani. Karena mereka yang menjalani bukan orang lain. Dimana ada Alva maka disitu akan ada Davira, begitupun sebaliknya. Selalu bersama, bahkan untuk liburan saja mereka bersama. Tiada hari tanpa keduanya berpisah kecuali tidur dan mandi pastinya!   ***** “Alva,” Panggil Davira. “Hmmmm.” Jawab Alva cuek, karena dia masih mengerjakan tugas fisika. Sedangkan Davira sedang tiduran di atas ranjang empuk milik Alva. Malam sudah tiba keduanya baru saja selesai makan malam dan langsung mengerjakan tugas. Alva dengan kepintarannya maka ia lebih dulu mengerjakan tugas. Sedangkan Davira bakalan mengandalkan hasil dari Alva. Apakah Alva tidak marah? Jelas marah pastinya, tapi apa mau di kata? Bisa apa Alva kalau sudah Davira memohon mengemis padanya. “Lo masih mau jadi jaksa?” Tanya Davira. Entah mengapa saat ia menatap langit-langit kamar Alva membuatnya berpikir akan masa depan termasuk cita-cita mereka. Apa lagi keduanya sebentar lagi bakalan selesai di sekolah menengah atas. “Tumben banget pertanyaan Lo berfaedah kayak gitu?” Davira langsung menatap Alva dengan kesal. “Lo emang suka banget ya kayaknya mengacaukan suasana. Padahal gue udah serius.” Alva tertawa, ia suka kalau Davira kesal karenanya. “Sampai saat ini cita-cita gue nggak pernah berubah, Lo tahu sendiri tujuan gue jadi jaksa apa.” Davira menganggukkan kepalanya mengerti, kemudian ia kembali menatap langit-langit kamar Alva. Alva memang dari dulu ingin menjadi jaksa. Alasannya karena dia mau menemukan Ayah kandungnya. Kenapa tidak bertanya pada Bundanya? Hal itu sudah pernah dilakukan Alva, tapi apa yang didapatkannya? Bundanya malah menangis histeris, semenjak itu Alva tidak mau menanyakan pertanyaan hal itu lagi pada Bundanya. Satu yang dapat Alva artikan, ada suatu hal tentang Ayahnya yang sangat berarti sehingga membuat Bundanya bersikap seperti itu. Alva paling tidak bisa melihat Irene menangis, makanya dari pada harus melihat Irene kembali menangis. Ia mengubur rasa penasarannya dan mencarinya suatu saat nanti dengan caranya. Karena bagaimanapun ada rasa penasaran dan keingin tahuan dengan sosok Ayah kandungnya. Ia ingin tahu siapa yang menjadi Ayahnya, walaupun baik atau buruk nanti hasil yang didapatkan tentang Ayahnya Alva tidak peduli. Setidaknya ia tahu sosok Ayahnya, makanya ia mau emncari tahu tanpa sepengetahuan Bundanya. Menurut Alva dengan dirinya menjadi seorang jaksa ia akan mendapatkan informasi tentang Ayahnya. Hal itu akan memudahkannya, makanya Alva ingin menjadi jaksa tujuan utamanya hal itu. Selain itu Alva ingin menegakkan kebenaran yang sebenernya. Karena menurutnya hukum yang ia tahu bisa memberikan pelajaran bagi seseorang yang salah, kini mulai bergeser. “Kenapa Lo tiba-tiba nanya kayak gitu?” Davira menggelengkan kepalanya. “Gapapa gue masih penasaran aja sama masa depan kita bakalan kayak gimana ya. Sama nggak ya sama yang kita pikirkan dan impikan atau bakalan beda. Kalau beda, bakalan beda kayak gimana ya. Gue mikirnya kayak gitu sih.” “Apapun itu dan gimanapun itu ya jalanin aja dan disyukuri. Nggak akan ada yang tahu soal masa depankan? Bahkan untuk besok aja kita nggak tahu gimana dan apa yang terjadi. Jadi bagian kita ya jalani aja dan lihat gimana kedepannya.” Davira menganggukkan kepalanya setuju dan kembali sibuk dengan pikirannya. “Lo masih mau jadi pengajar yang baik?” Davira menganggukkan kepalanya. “Lo mau jadi pengajar yang baik, Lo aja jadi murik belum jadi yang baik dan teladan. Kadang aja Lo suka ngejek guru-guru.” “Makanya gue mau buat anak murid gue nanti suka sama gue, bukan ngejelek-ngejelekin gue. Pokoknya gue mau nanti murid-murid gue nggak kayak gue.” “Jadi guru nih jadinya? Tapi Lo percaya sama karmakan, tabur tuai loh Vir.” Davira menatap kesal pada Alva. “Jangan doain macam-macam gitu dong satu macam aja.” “Gue nggak doain yang aneh-aneh Lo kan gue Cuma bilang.” “Berawal dari bilangkan tapi, kesel gue sama Lo!” Alva kembali tertawa karena Davira kesal. “Iya-iya sorry. Gue doain murid Lo nanti nggak bakalan kayak Lo, makanya selagi ada waktu berbubah jangan kayak gitu lagi.” “Hmmmm.” “Jadi guru nih? Bukan dosen?” Tanya Alva sambil mengalihkan supaya Davira tidak kesal lagi. “Belum tahu sih mau yang mana, gue belum memutuskan. Menurut Lo gue lebih bagus yang mana? Jadi guru atau dosen?” Alva mengedikkan bahunya ketidaktahuan. “Ya gue manatau mana yang terbaik buat Lo. Yang tahu baik buruknya ya Lo sendirikan. Tapi lihat Lo suka dan nyamannya dimana, jangan karena gengsi atau apa ya. Menurut gue seorang tenaga pendidik itu nggak mudah, jadi kalau Lo emang mau jadi dosen atau guru itu baik. Tingkatkan kualitas Lo, jadilah tenaga pendidik yang bertanggungjawab. Tenaga pendidik yang bisa menjadi manfaat bagi banyak orang, membuat orang-orang mengerti sama apa yang bakalan Lo ajarkan. Kesuksessan seseorang juga bisa dia dapat dari tenaga pendidiknyakan? Jadi kalau emang Lo mau disitu ya totalitaslah berikan yang terbaik.” Davira mencoba mencerna perkataan Alva dengan baik-baik. “Apa lagi Om juga nggak nuntut Lo buat ini itu, jadi menurut gue ya Lo bebas menentukan keinginan dan kemauan Lo gimana. Tinggal Lo nya aja yang manfaatin kesempatan dengan maksimal. Right?” Davira menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Alva. Di satu sisi Davira memang bersyukur karena kedua orangtuanya tidak menuntutnya untuk menjadi ini ataupun itu. Semua diserahkan sepenuhnya kembali padanya ingin jadi apa dan mau seperti apa. Orangtuanya akan mendukung apapun keputusan Davira, karena tidak mau anaknya nantinya menyalahkan orangtua ketika tidak berhasil. Tetapi kalau sudah punya pilihan sendiri harus bisa ditanggungjawabi dan dilakukan yang terbaik. Orangtuanya selalu pesan lakukan dan kerjakanlah hal yang disukai selagi itu positif dan membangun. “Nanti deh coba gue pikirin mau jadi dosen atau guru. Pokoknya di antara dua itu deh.” Alva menganggukkan kepalanya kemudian melanjutkan tugasnya. Handphone Davira berdering dan ia melihat Mamanya yang sedang menelvon. “Hallo Ma,” “Kamu dimana, kenapa nggak ada di rumah?” Tanya Ambar. “Kalau nggak ada di rumah berarti dimana lagi Ma?” “Tempat Alva?” “Hmmm.” “Masih lama? Kamu ngapain?” Tanya Ambar lagi. “Mau ngerjain tugas, kenapa emang Ma? Mama baru pulang udah nanya-nanya.” Ambar dan Anthoni memang jarang berada di rumah kalau siang bahkan sampai malam. Kalau Anthoni jelas bekerja, tapi Ambar kalau tidak pergi arisan bertemu dengan teman-temannya pasti mendampingi Anthoni. “Gapapa berarti kamu udah makan, setidaknya kamu aman sayang.” Ambar memang kadang tidak enak hati kalau sering meninggalkan Davira. Untung saja ada Alva dan Bundanya yang bisa menemani Davira. “Iya udah kok Ma, ntar kalau udah selesai baru Davira pulang. Mama sama Papa istirahat duluan aja, Davirakan ada kunci sendiri.” “Yaudah kalau gitu, Mama sama Papa tidur duluan ya.” “Okey Ma.” Setelah itu Davira mematikan sambungan telvon dengan Ambar. “Nggak sedih Lo sering ditinggal sama mereka?” “Sedih kenapa, gue punya Lo sama Bundakan.” Davira bangkit berdiri mengambil cookies buatan Irene dan membawanya ke meja belajar milik Alva dan ikut duduk disamping sahabatnya itu. “Tetap ajakan Lo kadang pengen punya waktu sama mereka.” “Seriusan gue biasa aja, lagian kalau mereka ada waktu beneren kasih waktunya buat guekan? Ajakin gue sama Lo liburan, jadi itu lebih dari cukup. Gue cukup mengerti kok kegiatan mereka jadi gue ya santai aja deh.” Alva menganggukkan kepalanya dan menggeser bukunya di hadapan Davira. “Buruan Lo tinggal salin. Kurang baik apa gue sama Lo. Mudah-mudahan nanti siswa atau mahasiswa Lo nggak kayak Lo.” “Alva!” Pekik Davira kesal dan sudah memukul bahu Alva dengan keras. “Lah Lo kenapa mukul gue, kan gue bener ngomongnya.” “Ngeselin banget sih Lo, huaaaaaaa Bundaaaaaaaa!” Teriak Davira berpura-pura menangis. “Nggak usah drama deh mau cari perhatian dari Bunda.” Alva memang langsung tahu busuk Davira bertingkah seperti ini supaya Alva bisa dimarahi Irene. “Kan Lo jahat! Huaaaaaa Bundaaaaa Alva jahat Bundaaa huaaa!” Teriak Davira lagi lebih keras, kalau sudah begini Irene segera masuk kamar. “Alva! Kamu apain Vira.” Kata Irene sudah khawatir. Bunda dari Alva itu sudah berada di kamar Alva memeluk Davira. “Alva jahat Bundaa huaaaa.” Teriak Davira pura-pura menangis tapi wajahnya sudah senyum penuh kemenangan dan mengejek Alva. “Biasa Bun Davira lagi drama lihat tuh mukanya mala senyam-senyum.” Saat Irene hendak melihat wajah Davira, maka ia mengubah raut wajahnya seperti menangis. “Wahhhhh anda memang luar biasa aktingnya.” Puji Alva. “Kan Bunda, Alva suka banget emang ejekin aku. Terus Alva suka ngata-ngatain aku huaaaa Bundaaa Alva jahat bangetttt.” “Kamu ini ya suka banget ngejahilin Davira. Kalau nggak ada dicariin, kalau ada diiseingin begini, kamu maunya apa sih.” Alva menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Iya-iya udah deh diem minta maaf gue.” Kata Alva mengalah. “Bundaa lihat Alva minta maafnya nggak ikhlas.” Alva mengusap wajahnya kasar. “Yaampun Tuhan apa salah dan dosaku kepadamu sehingga hidupku seperti ini.” Alva langsung mendapat pukulan bertubi-tubi dari Irene membuat Davira tertawa kegirangan. Ia sangat senang melihat Alva di marahin Irene. Kebahagiaan Davira nggak neko-neko hanya senang melihat Alva tersiksa seperti ini. Tidak tersiksa seperti yang seharusnya ya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD