2. Tawaran Menggiurkan

2334 Words
Seorang wanita tampak tergesa-gesa menyusuri koridor gedung Palma Palace, untuk bisa segera sampai ke ruangannya yang ada di lantai 15. Kalau tidak menjaga keseimbangan dengan baik, ia mungkin bisa dengan mudah jatuh atau tergelincir. Begitu memasuki ruangan, ia dibuat terkejut. Ada seorang pria bertubuh tegap dengan memakai stelan formal terihat sudah menunggunya sedari tadi. Pria itu melipat kedua tangan di depan dadaa sembari bersandar dengan santai di salah satu sudut ruangan. "Sekarang udah jam 8.20 menit. Kalau menurut peraturan, harusnya kamu sudah termasuk kategori terlambat," kata pria itu sembari mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Mampus! Dalam satu bulan ini, Luna Agnesia terhitung sudah dua kali terlambat masuk. Dan sekarang, ia bahkan kepergok secara langsung oleh sang atasan yang entah kenapa tiba-tiba berada di ruangannya. "S-saya, minta maaf, Pak Bimo," jawab wanita cantik itu tergugu. "Tadi ojek online yang saya tumpangi mogok di tengah jalan. Jadi, saya harus tunggu driver pengganti untuk jemput." Pria bernama Bimo itu mengganguk-angguk. Sambil mengusap pelan dagunya yang ditumbuhi rambut-rambut halus, ia menanggapi alasan yang baru saja Luna sampaikan. "Untungnya, saat ini saya nggak butuh penjelasan soal keterlambatan kamu hari ini." "Jadi saya dimaafin, Pak?" Luna langsung mendongak, lalu bertanya dengan hati-hati. "Iya," jawab Bimo seraya mengangguk. Pria itu menegakkan tubuhnya. Bersiap untuk segera beranjak pergi. "Sekarang, taruh dulu tas kerja kamu di meja. Terus ikut saya menghadap Pak Kendra sekarang juga." Luna langsung melotot. Pikiran buruk seketika menari-nari di otaknya. Ini diajak ketemu bos besar, bukan mau langsung dipecat, kan? "Tenang aja. Kamu nggak bakal dipecat," sela Bimo seolah dapat membaca apa yang tengah Luna pikirkan sekarang. "Ada hal penting yang mau Pak Kendra bicarakan sama kamu." Luna mengangguk. Setelah menaruh shopper bag miliknya di atas meja, ia langsung mengekori Bimo melangkah menuju ruang pimpinan utama. Begitu masuk, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana sosok seorang Artakendra Prawira tampak begitu sibuk berkutat dengan berkas-berkas penting yang ada di atas meja kerjanya. Kalau diteliti dengan jelas, bosnya tersebut memanglah sosok pria yang tampan dan juga berkarisma tinggi. Masih muda. Begitu energik. Ambisius. Serta memiliki sifat yang sangat perfectsionist dalam mengerjakan hal apa saja untuk memajukan perusahaan properti yang sedang ia pimpin. Walaupun pelit bicara, seluruh karyawan di Palma Palace begitu mengagumi serta menghormatinya. Pun sama halnya dengan Luna. Walaupun belum pernah bertegur sapa secara langsung, tetap saja ia dari awal bekerja menganggap pria muda itu adalah sosok yang sempurna. "Pak Kendra, " tegur Bimo dengan penuh sopan. "Saya sudah bawakan karyawati yang saya maksud." Kendra menghentikan gerak tangannya yang tadi menari-menari di atas keyboard laptop. Mengangkat wajah, pria itu menatap Bimo dan Luna secara bergantian. Tepat setelah itu, Kendra berdiri lalu melangkah kecil menuju sofa tamu. Di persilakannya juga Luna untuk segera duduk di sana. "Jadi ini perempuan yang kamu maksud, Bim?" tanya Kendra. Pria itu melayangkan tatapan memindai ke arah Luna. Menelisik penampilan wanita itu dari ujung rambut hingga kaki. "Benar, Pak. Luna ini sebelumnya sudah dua tahun menjabat sebagai staf HRD," jelas Bimo. "Karena kinerjanya sangat bagus, maka ia berkesempatan untuk menggantikan Adelia sebagai sekretaris pribadi Pak Kendra mulai besok." Kendra mengangguk paham. Beberapa waktu yang lalu, sekretaris pribadi yang sudah bertahun-tahun menemaninya harus mengundurkan diri karena ingin fokus mengurus anak. Kendra tentu sempat kesulitan mencari pengganti karena dirinya memang menerapkan kriteria yang begitu tinggi. Dibantu Bimo sebagai penyeleksi, pada akhirnya ia mendapatkan pengganti yang sesuai. "Oke. Dari penampilannya boleh juga." "Public Speaking-nya juga bagus, Pak," puji Bimo kemudian. "Ini maksudnya ada apa ya, Pak?" Luna yang sedari tadi bingung dengan tingkah laku kedua pria di depannya sempat terbengong beberapa saat. Diliputi rasa penasaran, ia memberanikan diri untuk bertanya. Harap-harap cemas dengan maksud dan tujuan untuk apa dirinya sampai harus menghadap pimpinan sepagi ini. "Sebelum saya melanjutkan perbincangan ini lebih jauh, boleh saya tanya sesuatu sama kamu?" Ragu-ragu, Luna mengangguk. Perasaan cemas tetap saja menghantui. Di otaknya saat ini dipenuhi dengan banyak pertanyaan untuk apa bosnya itu sampai repot-repot memintanya untuk menghadap. "Maaf, Pak Kendra mau tanya apa?" "Apa kamu punya pacar atau suami?" Luna menggeleng. Ia memang sedang tidak berhubungan dengan siapa-siapa saat ini. Dua bulan yang lalu, ia baru saja mengakhiri hubungan dengan Angga Pradita, sang kekasih yang ketahuan berselingkuh di belakangnya. Angga memang sialan! "Nggak ada, Pak. Saat ini saya lagi jomlo." Kendra mengangguk. Kemudian bertanya lagi. "Apa kamu punya rencana akan mengakhiri masa lajang dalam waktu dekat?" Sekali lagi Luna menggelengkan kepala. Sebenarnya merasa sedikit aneh dengan pertanyaan yang diberikan. Bagaimana mau mengakhiri masa lajang kalau pasangan saja ia tidak punya. Ini bosnya paham tidak yang baru saja ia sampaikan? Kenapa ditanyakan kembali. "Nggak, Pak." "Apa kamu sedang mengincar seorang pria dalam beberapa waktu belakangan ini?" "Nggak ada, Pak." "Kamu pernah terlibat kasus hukum?" "Nggak pernah sama sekali." "Apa kamu mengerti soal table manner atau kelas kepribadian lainnya?" Kali ini Luna mengangguk. "Sangat paham." "Kamu bisa berbahasa asing?" "Bisa, Pak. Saya bisa bahasa Inggris, Mandarin, dan sedikit bahasa Perancis." "Bisa memasak layaknya perempuan pada umumnya?" "Bisa, dong. Cantik-cantik begini, saya pintar di dapur." "Kalau begitu, apakah kamu bersedia menjadi calon istri saya di akhir bulan nanti." Luna refleks mengangguk. Lantas tak berapa lama ia membelalakkan mata setelah sadar dengan pertanyaan terakhir yang Kendra berikan. "A-apa? Bapak ngomong apa barusan?" Luna yakin benar kupingnya tidak salah dengar. Kendra yang notabene bos besar di perusahaan tempat ia bekerja, barusan mengajaknya untuk menjadi istri pria tersebut. "Saya anggap anggukanmu tadi sebagai jawaban pasti kalau kamu setuju dengan apa yang saya tawarkan." "Pak, nanti dulu!" Luna langsung menginterupsi. Kenapa bosnya itu jadi seenaknya begini. "Ini maksudnya apa?" Kendra tidak langsung menjawab. Pria itu menyandarkan bahunya pada sofa. Bersikap santai kemudian melirik ke arah Bimo yang dari tadi berdiri tepat di sebelahnya. "Bim, tolong jelasin ke wanita ini sejelas-jelasnya." Bimo mengangguk. Tatapan pria itu kemudian beralih kepada Luna. "Ini nggak seperti yang kamu bayangkan," ucapnya. "Jadi, Pak Kendra mau minta tolong agar kamu mau ikut bersama beliau menghadiri pesta ulang tahun Ibu Liliana." "Ibu Liliana?" Luna sangat familiar dengan nama yang satu ini. Semua orang di Palma juga tahu siapa wanita itu. "Iya, Ibu Liliana Prawira, ibu kandungku," sahut Kendra dengan santai. "Lalu apa hubungannya pesta ulang tahun sama calon istri?" tanya Luna kebingungan. Ini otaknya yang nggak nyampe atau bagaimana? "Makanya dengerin dulu sampai tuntas," protes Bimo. "Jadi, Bu Liliana mewajibkan Pak Kendra membawa calon istrinya saat datang ke acara pesta ulang tahunnya yang berlangsung dalam waktu dekat ini. Karena berhubung calon istri Pak Kendra saat ini tengah berada di luar negeri, dia minta tolong kamu yang gantiin semalam." Luna langsung mengangkat tangan kanannya ke udara. Isyarat dirinya menginterupsi apa yang tengah dijelaskan oleh Bimo, asisten Kendra. "Bentar, Pak, Bentar ... ini kenapa harus saya yang dipilih jadi calon istri pengganti? Lagi pula, gimana caranya meyakinkan Bu Liliana kalau saya adalah calon istri Pak Kendra." Bimo menarik napasnya sejenak. Tak berapa lama pria itu bersuara lagi. "Kenapa pilih kamu? Karena emang kamu yang masuk dalam kriteria. Untuk urusan Bu Liliana sendiri, nggak perlu takut. Beliau selama ini belum sekali pun pernah bertemu dengan calon istri Pak Kendra yang sebenarnya. Jadi, dia nggak bakal curiga kalau kamu cuma pasangan pura-pura." Luna mengangguk paham. Jadi ini alasan yang membuatnya pagi-pagi sudah bertandang di ruangan bos besarnya itu. Padahal, ia sempat takut akan dipecat karena sudah berani terlambat. "Oh, saya paham sekarang," sahutnya. "Jadi kamu bersedia, kan?" Bimo sekali lagi memastikan. Luna tersenyum tipis. Dalam hati dan pikirannya sudah menari-nari bayangan ketika ia memakai gaun mahal, lalu dijemput oleh seorang Artakendra Prawira yang semua orang akui ketampanannya. Menghadiri pesta mewah. Ikut bertemu dengan banyak orang penting. Dikenalkan sebagai calon istri. Ah, kalau ini bukan pura-pura, Luna sudah sangat mirip seperti Cinderella di cerita dongeng. "Terima kasih banyak, Pak. Karena menganggap saya masuk dalam kriteria wanita yang pantas untuk Bapak ajak menghadiri pesta ulang tahun ibu Liliana. Tapi mohon maaf lahir dan batin, saya nggak bisa menuruti permintaan Bapak." Kendra yang tadinya duduk dengan santai langsung menegakkan tubuh karena terkejut. Ia tentu saja tidak menyangka kalau karyawatinya itu berani menolak permintaannya. "Kenapa?" tanya Kendra ingin tahu. "Saya nggak mau bohongin orang tua," ucap Luna penuh yakin. "Nanti yang ada saya malah kualat terus dikutuk jadi batu." "Kamu bukan Malin Kundang. Jadi nggak bakal jadi batu," seloroh Kendra. "Tapi, tetap aja saya nggak bersedia, Pak. Saya nggak suka bohongi orang tua." Kendra berdecak. Merasa gemas dengan jawaban naif yang Luna sampaikan. Kalau di luar sana banyak yang antre bahkan berusaha mendekati Kendra, sekretarisnya itu malah menolak mentah-mentah tawaran yang disodorkan. "Kamu jangan takut. Saya minta minta tolong kamu nggak cuma-cuma." Alis mata Luna saling bertaut. Meraba-raba apa maksud dari ucapan bosnya tersebut. "Maksud bapak gimana? Saya nggak paham?" Kendra mengangguk. "Saya bakal bayar kamu 100 juta sebagai imbalan karena telah menemani saya menghadiri pesta ulang tahun tersebut. Dan saya pikir, nominal itu sangat sepadan atas waktu yang kamu berikan." "100 juta?" ulang Luna sekali lagi. "Iya." Kali ini Kendra yang menjawab dengan penuh percaya diri. "Atau nominal itu kurang untukmu? Luna meneguk ludahnya. Ini Kendra bicara uang seperti orang tidak punya beban hidup saja. Enteng sekali memberikan kepada orang lain secara cuma-cuma. Sedang dirinya saja kehilangan uang 50 ribu, rasa sesaknya bisa sampai ke tulang sumsum. "Terima kasih, Pak," jawab Luna. "Tapi sekali lagi, saya nggak bisa. Silakan bapak cari orang lain aja." "Kalau kamu menolak, saya bisa pecat kamu," ancam Kendra. Sebagai pemilik Palma Palace, tentu saja ia bisa melakukan apa saja termasuk membuang Luna dari perusahaannya. "Nggak masalah, Pak. Saya bisa cari pekerjaan di tempat lain. Kebetulan skill dan pengalaman saya lumayan banyak. Jadi nggak begitu sulit untuk melamar kerja di mana pun," jawab Luna dengan jumawa. Wanita itu kemudian bangkit dari duduknya. Bersiap untuk pergi dari ruangan Kendra. "Saya rasa perbincangan kita sampai di sini saja. Saya doakan bapak bisa ketemu dengan wanita yang pas untuk diajak ke pesta ulang tahun." Luna lantas memutar tubuh. Melangkah ringan menuju pintu ruangan. Namun sebelum bayangan wanita itu benar-benar hilang dari pandangan, Bimo dengan sedikit berlari menghadang langkah Luna. Dari dalam saku celana, pria itu mengeluarkan satu lembar kartu nama untuk ia berikan kepada wanita cantik tersebut. "Saya yakin kamu bakal berubah pikiran. Dan kalau itu terjadi, silakan langsung hubungi saya kapan saja." Luna tersenyum. Dengan sopan meraih kertas yang Bimo sodorkan. Sementara itu Kendra di tempat duduknya tampak gusar. Berpikir keras langkah apa yang selanjutnya harus ia ambil. "Gimana ini, Bim. Perempuan yang kamu calonin malah nggak tertarik sedikit pun dengan tawaran saya. Lagi pula, kenapa sih kamu tiba-tiba pilih dia?" tanya Kendra penasaran. Ia juga tidak tahu alasan pasti kenapa asistennya itu kemarin langsung menyodorkan Luna bukan karyawan yang lain. "Di Palma Palace ini ada banyak wanita cantik, Pak. Tapi yang smart, sopan, serta berperilaku baik nggak banyak. Dan Luna masuk dalam kategori tersebut. Itu sebabnya saya mencalonkan dia." "Masalahnya, dia udah tolak mentah-mentah tawaran saya, Bim. Bahkan tidak takut sedikit pun ketika saya ancam akan dipecat." Bimo tersenyum. Ia paham kalau atasannya itu kini tengah merasa terdesak. Itu sebabnya, ia berusaha untuk menenangkan. "Kita tunggu dulu selama 24 jam. Kalau nggak ada kabar juga, saya bakal sodorkan kandidat lainnya." *** Luna baru saja tiba di rumah. Ketika hendak memasuki kamar, seorang gadis muda tampak berlari dari arah belakang dan langsung menghampirinya. Seperti ada hal penting yang ingin disampaikan. "Kak Luna," panggilnya. "Kakak harus liat ini," ucap gadis itu sambil menyodorkan beberapa lembar amplop berwarna putih untuk Luna periksa. Luna menerima sodorkan amplop yang diberikan kepadanya. Membuka satu pesatu, lalu mengeluarkan lembaran kertas dari dalamnya kemudian membaca dengan seksama. "Ini surat peringatan dari Bank?" Gadis di depan Luna langsung mengangguk. "Iya, kalau Mirna baca, kita dikasih tenggang waktu satu minggu untuk melunasi pinjaman. Kalau gagal, panti asuhan ini akan di gusur oleh pihak bank." Tenggorokan Luna langsung tercekat. Ia yang seorang yatim piatu, selama ini memang menghabiskan waktu dengan tinggal bersama anak lainnya di panti asuhan Harapan Bunda. Dulu, pengelola panti asuhan; Bunda Laila, sengaja mengajukan pinjaman ke Bank dengan tujuan untuk merenovasi bangunan panti yang hampir rubuh. Beliau meyakini bisa membayar angsuran tiap bulannya dari dana pemberian donatur yang saat itu memang sedang ramai. Namun, seiring berjalannya waktu, kenyataan tidak sesuai harapan. Satu demi satu donatur mulai menghilang bahkan sekarang hanya tersisa sebagian. Luna bahkan sampai mendedikasikan seluruh gajinya dipakai untuk menutupi semua keperluan panti. "Bunda Laila tau soal ini?" tanya Luna kemudian. "Belum, Kak. Mirna sengaja sembunyikan ini semua dari Bunda. Mirna takut kondisi Bunda semakin drop karena kepikiran soal panti yang bakal di gusur kalau nggak segera bayar tunggakan." Luna menarik napasnya berulang kali. Apa yang dilakukan Mirna memang benar. Bunda Laila beberapa waktu belakangan ini memang tengah sakit. Ia tidak ingin menambah beban wanita paruh baya tersebut dengan menyampaikan kabar buruk ini. Tapi, menyimpan sendiri beban sebesar ini bukanlah hal yang mudah untuk Luna jalani. Sekali lagi, Luna memperhatikan rincian tunggakan yang harus dibayar pihak panti asuhan. Tertulis dengan jelas pokok berikut bunga tagihan yang sudah menunggak berjumlah hampir mencapai 200 juta. Ke mana ia harus mencari uang sebanyak itu dalam kurun waktu satu minggu. Pun, gajinya bekerja saja tidak sampai setengah dari tagihan. Memejamkan mata, Luna langsung teringat kembali dengan tawaran Kendra tadi pagi saat berada di ruang kerjanya. Sekarang, ia malah meyakini hanya pria itu yang mampu menolongnya untuk keluar dari masalah yang membelit. "Cukup berpura-pura menjadi calon istri, lalu menemani Pak Kendra pergi ke pesta ulang tahun, aku bisa dengan mudah mendapatkan uang senilai ratusan juta," gumam Luna. "Sepertinya cuma ini cara satu-satunya untuk menyelematkan panti. Luna mengangguk-angguk. Meyakinkan diri dengan keputusan yang akan ia ambil sebentar lagi. Menarik napas berulang kali, ia lantas meraih kartu nama yang tadi sempat Bimo berikan padanya. Pelan-pelan Luna menekan angka yang tertulis di kertas pada tombol ponsel miliknya. Menunggu dengan sabar hingga tak berapa lama terdengar suara pria di seberang sana menyahut panggilan. "Halo, Selamat malam." "Malam, Pak Bimo. Ini saya, Luna." "Iya, ada apa?" sahut Bimo dengan singkat. Padahal, ia seperti paham apa yang membuat wanita itu pada akhirnya menghubungi. "Soal tawaran Pak Kendra tadi pagi ... " Luna menjeda sejenak kalimatnya. Sekali lagi menghela napas, kemudian berucap dengan mantap. "Saya bersedia melakukannya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD