3. Negosiasi

1324 Words
Luna tampak duduk dengan diliputi perasaan gugup dan gelisah. Netranya sibuk mencari ke sana kemari sosok Kendra Prawira yang sedari tadi memang sudah ia tunggu-tunggu. Seketika pikiran buruk menari-nari di otak Luna. Apakah pria itu serius akan menemuinya siang ini. Alih-alih berbicara di kantor, Kendra yang juga berprofesi sebagai atasannya tersebut malah mengajak Luna untuk bertemu di sebuah cafe yang terletak di tengah kota. Padahal, kalau ingin private, harusnya mereka tidak perlu bertemu di tempat terbuka dan ramai seperti ini. "Sudah lama menunggu?" Di tengah-tengah keheningan, suara bariton seorang pria tiba-tiba menyadarkan Luna dari lamunan. Sedikit mendongak, ia mendapati sosok Kendra yang sudah duduk sempurna di depannya. "S-saya ---" "Kalau dilihat-lihat, sepertinya kamu udah nggak sabar untuk ketemu saya siang ini," sela Kendra seraya menebak. "Jangan terlalu percaya diri. Di sini, yang lagi butuh pertolongan itu Bapak," sahut Luna dengan santai. Padahal, bukan hanya Kendra, dirinya pun butuh pria itu untuk menyelesaikan masalah yang sedang membelitnya. Sementara Kendra tidak menyahut. Pria itu memilih untuk kembali menatap Luna dalam-dalam. Seolah menilai kembali penampilan wanita yang akan ia bawa utuk menemui orang tua sekaligus keluarga besarnya beberapa hari lagi. Ditatap sedemikian rupa, tentu saja membuat Luna sedikit salah tingkah. Ia bisa merasakan bagaimana aura Kendra yang dingin dan begitu mendominasi. "Kamu sudah pesan minuman?" tanya Kendra membuka percakapan. Suara pria itu terdengar berat dan dalam. "Belum, Pak." Luna menggeleng pelan. Tadinya ia memang tidak butuh minuman. Tapi, setelah beberapa menit bertemu dengan pria di depannya, Luna seketika merasa kalau ia butuh sesuatu untuk sedikit menghilangkan rasa gugup yang hinggap. "Kalau begitu biar saya pesankan." Kendra kemudian melambaikan tangan ke arah salah satu waitress yang tengah berjaga. Setelah menerima buku menu, ia tampak membuka kemudian memilih minuman mana yang sepertinya pas untuk menemani obrolan mereka berdua. "Dua Matcha Green Tea Frappuccino." Sambil menunggu pesanannya datang, Kendra kembali mengamati Luna. Mengangguk-angguk, kemudian bicara. "Jadi, gimana? Kamu setuju dengan tawaran saya beberapa hari yang lalu?" Penuh pehitungan Luna mengangguk. Walaupun kali ini ia juga butuh uang yang bosnya itu sodorkan, ia tetap saja tidak boleh terlihat begitu mengharapkan. Yang ada, nanti Kendra malah bersikap semena-mena atau menganggap remeh dirinya. "Setelah saya pikir-pikir secara mendalam, nggak ada salahnya menyetujui tawaran bapak kemarin." Kendra mengulas senyum tipis. Merasa sedikit lega karena masalah soal pasangan pada akhirnya bisa teratasi. Kini, ia tidak perlu cemas. Tinggal menunggu hari untuk menjalankan rencana yang sudah ia dan Bimo susun secara rapi. "Ok, karena sudah ada kesepakatan, kalau begitu kamu mau saya bayar pakai uang cash, transfer, atau cek?" "Yang mana saja boleh, Pak. Tapi ... " Luna tampak sengaja menjeda kalimatnya. Melirik kemudian menatap netra sehitam jelaga milik Kendra. Yang mana perbuatannya ini mengundang tanya pada pria yang berprofesi sebagai bosnya tersebut. "Tapi, apa?" "Saya nggak mau kalau cuma dibayar 100 juta." Kening Kendra refleks berkerut dalam. Ini si Luna sedang mengajak untuk bernegosiasi apa bagaimana? Setelah kemarin menolak, sekarang setuju tapi meminta bayaran lebih. "Kamu minta tambah?" tebak Kendra. "Iya, Pak." "Oke, nggak masalah. Jadi, kamu minta tambah berapa?" "250 juta untuk semalam atau sekali pertemuan." "Gila!" Kendra langsung berseru dengan mata membola. Ia pikir, Luna meminta tambahan 10, 20, atau paling maksimal 50 juta. Tidak menyangka juga kalau wanita yang berprofesi sebagai sekretarisnya itu menetapkan nominal yang tidak tanggung-tanggung. "Kamu matre juga, ya?" Luna mengedikkan bahunya dengan cuek. Tidak perduli Kendra mau menganggapnya wanita matre, aji mumpung atau apa pun itu. Ia benar-benar butuh uang ini untuk melunasi tagihan bank yang sedang membelit panti asuhan tempat dirinya tinggal. "Ya terserah bapak, mau setuju atau nggak." "Memangnya apa kelebihanmu sampai saya harus bayar sebanyak itu?" Dengan penuh percaya diri, Luna menanggapi pertanyaan Kendra. Menyondongkan sedikit tubuhnya, ia lantas berbisik dengan pelan. "Saya punya semua yang Bapak cari. Dan saya berani jamin, seluruh keluarga Bapak aku menyukai saya tanpa terkecuali." Kendra berdecak. Pria itu lantas menyandarkan bahunya pada kursi. Melipat tangan di depan dadaa, kemudian menyahut dengan santai. "Selain Matre, kamu percaya diri juga ya orangnya. Tapi apa nggak berlebihan? Kalau 250 juta, mending saya booking artis sekalian. Lebih jelas kualitasnya." "Oh, silakan saja." Luna langsung menimpali dengan cepat. "Saya nggak pernah memaksa bapak untuk pakai jasa saya. Kalau bapak memang tidak bersedia. Saya anggap pembicaraan kita selesai sampai di sini." Luna bangkit dengan penuh percaya diri. Lalu melangkah pergi menuju pintu keluar cafe sambil menghitung mundur dalam hati. Tepat di hitungan ke lima. Ia bisa mendengar dengan jelas bosnya itu kembali memanggil namanya. "Luna." Yes! Luna memekik girang di dalam hati. Menjaga air wajahnya agar tetap tenang, ia tentu saja langsung menghentikan langkah. Menoleh dengan anggun, kemudian menanggapi. "Iya?" "Oke, deal. Saya setuju dengan penawaran kamu." Sudut bibir Luna langsung terangkat tinggi. Masih menjaga image, wanita itu memutar langkah untuk kembali duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati. Pelan-pelan memperhatikan Kendra yang mengeluarkan buku cek dari saku jas yang ia kenakan. Lalu pria itu tanpa ragu menulis nominal yang sebelumnya Luna ajukan. Sebenarnya, bagi Kendra 250 juta bukanlah perkara besar. Uangnya tentu saja banyak. Akan tetapi, memberikan uang sebanyak itu kepada orang yang belum begitu ia kenal, tentu saja membuatnya sangsi. "Ini, 250 juta sesuai permintaanmu. Saya harap apa yang kamu ucap dan janjikan, bisa terbukti nantinya. Kalau nggak, saya minta ganti rugi dua kali lipat." Selesai menyerahkan cek, Kendra memilih bangkit lalu beranjak pergi. Meninggalkan Luna yang tersenyum puas karena berhasil mendapatkan apa yang ia butuhkan dengan mudah. *** Selepas kembali dari pertemuan singkatnya bersama Kendra, Luna melanjutkan seluruh pekerjaan yang tertunda. Dengan penuh konsentrasi, wanita cantik itu mengetik, kemudian mendata seluruh dokumen mana saja yang sudah selesai dibaca dan ditanda tangani oleh Kendra. "Luna, ini agenda pertemuan Pak Kendra dengan beberapa rekanan kerja untuk minggu depan. Kamu bisa cek dan evaluasi dulu." Chacha Adisti, seorang pekerja wanita dari divis perencanaan datang menghampiri Luna. Menyerahkan beberapa berkas penting untuk rekannya itu periksa. "Oke, Cha. Nanti beres ngetik ini semua aku langsung cek," jawab Luna tanpa mengalihkan pandangannya dari layar personal computer di depannya. Ia begitu fokus menyelesaikan tugas yang sebentar lagi akan selesai. "Luna ... " terdengar sosok lain memanggil nama wanita itu. "Ini titipan Gaun dan perlengkapan lainnya dari Pak Kendra. Tolong dipakai saat acara nanti." Luna menghentikan kerja jarinya. Mengangkat wajah, ia mendapati Bimo yang berdiri tepat di depan meja kerjanya. Buru-buru Luna bangkit lalu menerima sodoran papper bag putih yang sengaja Bimo bawakan. "Iya, Pak. Nanti saya pakai. Terima kasih banyak sudah diantarkan." Seperginya Bimo, Chacha yang masih berdiri di samping meja kerja Luna lantas mendekat. Penasaran, wanita itu langsung bertanya. "Una, dalam rangka apa Pak Kendra kasih kamu barang? Kamu nggak lagi buat affair sama bos kutub kita yang satu itu, kan?" bisiknya sambil menoleh kesana kemari memastikan tidak ada orang lain yang mendengar percakapan keduanya. Luna menggeleng. Dengan santai ia menjawab pertanyaan rekan sekaligus sahabatnya itu. "Ceritanya panjang, Cha." "Sepanjang apa? Sepanjang jalan kenangan?" seloroh Chacha. "Tumben banget kamu nggak cerita sama aku? Kita masih sahabatan, kan?" Luna yang sudah menyelesaikan pekerjaannya kembali mendongak. Menatap Chacha sambil tersenyum. "Intinya, Pak Kendra minta tolong aku buat menemai pergi ke pesta ulang tahun Ibu Liliana." "Permaisuri Palma Palace?" Luna mengangguk. "Iya. Menurut konfirmasi, Ibu Liliana membuat pesta perayaan ulang tahunnya besar-besaran. Dia minta Pak Kendra untuk datang bersama pasangannya." Alis mata Chacha nyaris bertaut keduanya mendengar penjelasan yang satu ini. "Ya terus apa hubungannya sama kamu, Una? Maksud aku, kalau diminta datang sama pasangan, kenapa Pak Kendra malah datang sama kamu, bukan sama pacarnya?" Luna mengedikkan kedua bahunya. Seolah tidak perduli dengan apa yang melatarbelakangi bosnya itu sampai meminta dirinya untuk menggantikan posisinya. "Udah aku bilang ceritanya panjang. Nanti aja aku ceritain setelah semua pekerjaanku selesai. Mending sekarang kamu balik ke ruangan. Nanti kalau Pak Bimo liat masih nongkrong di sini, bisa dikasih SP kita berdua." Merasa tidak puas dengan jawaban Luna, Chacha hanya bisa berdecak malas. Sebelum benar-benar pergi, wanita itu kembali berbisik pada Luna seolah memberikan peringatan. "Hati-hati, Una. Nanti yang awalnya pura-pura malah jadi beneran, loh." "Chacha!" Luna langsung melotot. Sementara Chacha berlalu sambil tertawa dengan puas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD