4. Ulang Tahun Berujung Petaka

2065 Words
Luna mengecek sekali lagi penampilannya dari balik cermin. Ia rasa tidak ada salahnya untuk kembali memastikan apakah gaun serta make up yang berpulas di wajahnya masih kurang atau sudah terlihat 100% sempurna. Bahkan, sudah tidak terhitung lagi parfum beraroma white musk milik brand ternama itu ia semprotkan di sekujur tubuhnya. Mengenakan gaun model coctail dress berwarna hitam yang dipenuhi aksen glitter, Luna tampak begitu seksi. Dari lekuk tubuh hingga kakinya yang jenjang, semua terekpose tanpa terkecuali. Tolong jangan sampai lupa, ia dibayar 250 juta untuk berpenampilan menarik malam ini. Untungnya, semua barang-barang yang Kendra titipkan lewat Bimo cocok dan pas semua untuk dikenakannya. Namun, mau bagaimana pun itu, pada dasarnya Luna memang masuk golongan wanita berparas good looking. Di Palma Palace saja ia masuk dalam jejeran pekerja yang diperhitungkan tampang dan skillnya. Seketika itu juga Luna bersyukur atas segala anugerah yang sudah Tuhan berikan. Walaupun yatim piatu, tidak menghalangi sedikit pun langkahnya untuk mewujudkan satu per satu cita-citanya. "Lipstik udah oke, bulu mata udah cucok meong, rambut juga udah kayak di iklan-iklan shampo di tv. Kayaknya semua udah pas," gumam Luna pada diri sendiri sambil berputar-putar di depan cermin. Terus memastikan penampilannya yang sudah tampak sempurna. "Kak Luna," panggil seseorang dari luar kamar. Membuka pintu, ia tampak terperangah dengan penampilan gadis itu. Tidak pernah sebelumnya Luna berdandan begitu cantik seperti malam ini. "Kenapa panggil-panggil?" tanyanya seraya memasukkan tissue serta dompet kartu ke dalam cluct berwarna gold pemberian Kendra. "Kakak mau ke mana dandan cantik begini? Mau ke taman lawang?" selidik gadis muda yang tak lain adalah Mirna. Luna berbalik badan. Sambil berkacak pinggang gadis itu memasang wajah cemberut. "Enak aja, taman lawang! Kamu sangka kakakmu yang cantik ini banci, apa?" "Ya terus kakak mau ke mana?" sekali lagi Mirna bertanya. "Adalah pokoknya. Mau pergi ke acara ulang tahun pemilik Palma Palace," jelas Luna sambil mengancing Clutch yang ada di tangannya. "Enak banget, sih. Pasti banyak makanan enak di sana," sahut Mirna dengan polos. Sebagai penghuni panti asuhan, tidak dipungkiri kalau mereka sering menyantap makanan dengan menu ala kadarnya. Jangankan makan enak, perut bisa terisi nasi setiap hari saja sudah sangat bersyukur. Sekali-kalinya makan enak, itu pun saat Luna dapat bonus besar dari kantornya tempo hari. "Nggak juga, Sayang," sahut Luna. "Lagian, biar banyak makanan enak, Kakak juga nggak ikutan makan." "Kenapa?" tanya Mirna kebingungan. "Kalau aku yang pergi, aku bakal bungkusin sekalian untuk anak-anak panti, Kak. Lumayan. Mumpung gratis!" Luna tertawa. Kenapa adik kecilnya ini polos sekali. Membawa tangannya perlahan, Luna lantas mengusap halus rambut gadis kecil yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya itu. "Nggak selera, Dek. Kakak lebih suka makanan yang di masak Bunda Laila. Lebih mantap, lebih jos. Apalagi kalau sudah masak sayur asem pake ikan asin ples sambal terasi. Hmmm ... jadi laper, kan?" seloroh Luna membuat Mirna tanpa sadar meneguk liurnya. "Tapi omong-omong soal makan enak, karena besok kakak gajian, boleh deh kita sekali-kali masak ayam sama daging sapi, gimana?" Mirna langsung mengangguk-angguk antusias. "Beneran? Kak Luna nggak bohong, kan?" "Ya nggak, lah," sahut gadis itu cepat. "Besok pulang kerja, kakak langsung beliin bahan makanannya buat kita masak bareng-bareng." "Yeyy!" Mirna melompat kegirangan. Merasa begitu senang karena setelah sekian lama, ia dan anak panti lainnya bisa berpesta sembari makan enak. "Ya udah, ah," lanjut Luna, bersiap menyudahi obrolannya. "Kakak mau berangkat dulu. Kalau kamu ngantuk, tidur duluan aja." "Kenapa emangnya?" tanya Mirna lagi. Jangan heran. Di sekian banyak anak panti, memang gadis itu yang terkenal banyak tanya. "Kakak mungkin pulangnya agak malam. Jadi nggak perlu ditungguin. Nanti kamu kecapean pula," jelas Luna. "Oke," sahut Mirna sambil mengangkat jempolnya. Kemudian mengekori langkah Luna menuju pintu luar. "Kakak hati-hati di jalan, ya. Kalau ada yang jahat, teriak aja yang kenceng." Luna berdecak. Sambil menjinjing heels 10 sentimeter di tangan kanannya, ia mengangguk. "Tenang aja. Kakak kan pinter bela diri. Jadi nggak bakal ada yang berani ganggu." *** Luna tampak menoleh ke segala arah demi memastikan di mana posisi mobil Kendra berada. Bukannya dijemput langsung di depan panti, ia malah membuat janji untuk di jemput tepat di depan IndoApril yang letaknya kurang lebih 200 meter dari tempatnya tinggal. Bukan tanpa alasan Luna melakukan ini. Ia hanya tidak ingin mengundang kehebohan orang-orang sekitar, apalagi kalau mereka sampai lihat dirinya dijemput dengan mobil mewah. Wah, bisa-bisa tujuh hari tujuh malam dirinya dijadikan bahan gosip oleh para tetangga julid. Itu sebabnya, Luna main aman demi ketentraman hidupnya. Hampir lima menit menunggu, mobil Kendra akhirnya tiba. Setelah memastikan tidak ada yang melihat, Luna gegas memasuki mobil lalu ikut ke mana supir membawanya pergi. "Rumah kamu susah banget lokasinya. Itu supir saya sampai muter-muter cari alamat," protes Kendra yang saat itu juga berada di dalam mobil. "Ya maaf," sahut Luna penuh sesal. "Makanya, Palma Palace buat program rumah dinas untuk karyawan yang lokasinya di tengah kota, Pak. Jadi Pak Kendra besok-besok nggak peru repot kalau mau jemput saya." Sambil berdecak, Kendra menoleh ke arah Luna. "Nggak usah kepedean. Memangnya siapa yang besok-besok mau jemput kamu? Lagian, kamu kan baru dapat duit 250 juta, ya pake dong duitnya buat sewa rumah, sewa apartemen atau mungkin sewa kos-kosan yang lokasinya bagusan dikit." Luna tertawa pelan. Entah hal apa sebenarnya yang membuat ia tiba-tiba merasa lucu. Padahal, tidak ada yang aneh dari ucapan bosnya itu. "Ya siapa tau aja, besok-besok Bapak masih butuh jasa saya." "Nggak akan!" sahut Kendra penuh yakin. "Ya udah, kalau next time Bapak cari saya buat pura-pura lagi, saya bakal naikin tarifnya." Ekspresi wajah tanpa dosa yang Luna tunjukkan malah membuat Kendra berdecak kesal. Seketika itu juga ia mengumpat di dalam hati. Sudah lokasi rumahnya susah dijangkau, sekarang malah mengundang darah tinggi Kendra naik seketika. Kalau nggak kepepet aja, aku juga males pake jasa kamu, Luna. Mana mahal banget! Memasuki komplek perumahan orang tua Kendra, keduanya bersiap-siap di dalam mobil. Sebelum turun, Kendra terlebih dahulu melakukan briefing agar ia dan Luna nantinya kompak ketika ditanya oleh siapa pun yang ada di pesta malam ini. "Kamu hapal kan yang baru saja saya jelasin?" tanya Kendra setelah panjang lebar memberikan penjelasan sebelumnya. "Sudah, Pak," Luna mengangguk. "Katanya paham. Kenapa masih panggil Bapak?" "Ops! Sorry, Sayang. Namanya juga belum terbiasa. Tapi omong-omong, kalau ada pertanyaan atau kejadian di luar brefing gimana?" "Ya kamu improvisasi, dong. Masa gitu aja nggak tau. Rugi banget saya bayar 250 juta tapi kamu nggak bisa apa-apa." Seketika itu juga Luna mendesis dalam hati. Kalau tidak sadar sudah dibayar mahal, ia bersumpah akan meninggalkan Kendra saat itu juga karena sikap pria itu yang begitu menyebalkan. Sabar luna, sabar. Orang sabar pantatnya lebar, yee kan? Inget, kamu harus profesional. Anggap aja lagi akting main film. Kata-kata itu terus Luna rapalkan dalam hati. Sambil memasang senyum manis, ia akhirnya mengikut Kendra untuk turun dari mobil. Dengan digandeng mesra, Luna langsung dibawa Kendra menuju ruang utama. Di sana, sudah ada Nyonya Liliana beserta para tamu undangan yang tentu saja berasal dari para eksekutif dan pebisnis handal dari berbagai macam perusahaan. Dari mata Luna, ia bisa melihat bagaimana Liliana antusias menyambut kehadiran putranya. Lebih-lebih ketika Kendra mulai memperkenalkan dirinya. "Ma, selama ulang tahun. Seperti janji Kendra kemarin, hari ini Kendra bawakan Mama secara khusus wanita yang selama ini mendampingi Kendra." Liliana tersenyum. Mengalihkan pandangan matanya, wanita itu melempar tatapan memindai. Memerhatikan penampilan Luna dari ujung rambut hingga kaki untuk beberapa saat. Seolah puas, barulah wanita itu menyambut Luna yang berdiri tepat di sebelah putranya. Dengan antusias Liliana menyambut bahkan menghambur pelukan pada wanita yang jelas-jelas baru dilihatnya kali ini. "Senang sekali Mama bisa ketemu sama kamu. Namanya siapa, Ken?" tanya Luna sambil menoleh ke arah putranya. "Luna, Tante. Nama saya Luna Agnesia." Mengulas senyum lebar, Liliana menanggapi jawaban Luna. "Jangan panggil Tante. Panggil saja Mama. Semua teman Kendra memang panggil saya seperti itu supaya lebih akrab. Luna mengangguk. Untuk ukuran orang kaya dan bahkan baru pertama bertemu, menurutnya Liliana termasuk orang yang ramah. Itu sebabnya ia tidak sedikit pun canggung menuruti permintaan wanita itu. "Iya, Ma." Senang kedatangan tamu spesial, Liliana langsung menarik Luna untuk berkeliling menghampiri para tamu undangan. Sementara Kendra ia tinggal bersama sang suami dan para keponakan yang juga hadir. "Kamu mungut perempuan di mana lagi, Ken?" celetuk Rama yang merupakan sepupu tertua Kendra. Dari sekian banyak sepupu, hanya pria itu yang paling sering berseteru dengan Kendra untuk segala macam urusan. "Bukan urusan kamu," sahut Kendra dengan cuek. Alih-alih menanggapi, Kendra memilih untuk beranjak pergi menghampiri sang mama yang begitu asyik berbincang dengan para koleganya. "Kalau menurut saya, membuka cabang baru itu tidak melulu harus punya toko fisik, Pak. Sekarang udah zaman modern. Orang bisa bangun toko, bangun banyak cabang cuman bermodal handphone." Semua orang langsung terperanjat mendengar penuturan Luna. Saat ini ia tengah bersama Liliana, berbincang ringan dengan para pemilik usaha-usaha besar yang ada di Indonesia. "Caranya gimana?" tanya Murdaya Djatmiko yang merupakan salah seorang crazy rich asal surabaya. Ia tampak tertarik dengan materi yang sedari tadi Luna jabarkan. "Pasarkan produk bapak lewat e-commerce. Buat promosi besar-besaran saat soft opening. Jangan lupa iklankan juga di televisi. Saya yakin, tidak butuh lama toko Bapak bisa langsung jalan dan berkembang." Murdaya langsung mengangguk, seakan setuju dengan saran yang Luna sampaikan. "Pada ngomongin apa?" tanya Kendra yang tahu-tahu sudah berada di samping sang Mama. "Ini, loh. Si Luna. Pinter banget personal marketingnya. Ini Pak Murdaya, Pak Hendra, dan Pak William sampe bengong dengerin saran dan terobosan anyar yang barusan dia sampaikan." "Bener banget," sahut salah seorang kolega Liliana menimpali. "Penguasaan bisnis Bu Luna sepertinya di atas rata-rata. Itu sebabnya, karena kebetulan minggu depan perusahaan saya juga mau launching produk terbaru, apa saya boleh minta saran langsung sama Bu Luna untuk bahan pertimbangan soal strategi pemasarannya?" Bukannya Luna, malah Liliana yang menyahut pertanyaan koleganya. "Bisa ... bisa ... tenang aja. Luna pasti datang sama saya." Pandangan Liliana kemudian beralih pada sang putra. "Boleh, kan? Minggu depan Mama pinjam dulu Luna untuk datang ke acara Launching produk punya Pak William di Surabaya?" "Tapi, Ma ---" "Kenapa?" selidik Liliana. "Luna udah ada jadwal? Atau emang berhalangan." "Luna ---" "Bisa kok, Ma," potong Luna tanpa dosa. Yang mana perbuatannya ini langsung membuat Kendra melotot tidak suka. "Jadwal aku minggu depan emang kosong kan, Sayang?" tanya Luna sambil mengerlingkan matanya dengan jenaka. Sengaja sekali menerima ajakan Liliana karena seingatnya minggu depan ada kegiatan audit di kantor. Jadi, dari pada repot mengurus kerjaan kantor, lebih baik dirinya ikut Liliana jalan-jalan ke Surabaya. Gratis pula! "Ah, iya ... iya." Kendra mau tidak mau mengangguk canggung padahal dalam hati mengumpat karena kesal. "Luna bisa kok temenin Mama minggu depan." "Syukurlah," sahut William dengan lega. "Kalau begitu, saya tunggu kehadiran Bu Liliana dan calon menantunya minggu depan di Surabaya. Jangan lupa juga, kalau Pak Kendra dan Bu Luna menikah dalam waktu dekat, tolong kabari saya." "Bentar-bentar." Kendra menginterupsi. "Ini maksudnya apa? Memangnya siapa yang mau nikah dalam waktu dekat?" Ekspresi kebingungan langsung terukir jelas di wajah pria berpostur tinggi semampai itu. Melihat sang putra yang tampak bertanya-tanya, buru-buru Liliana memberikan penjelasan agar Kendra tidak kebingungan. "Iya, Sayang. Kata Luna hubungan kalian berdua emang udah serius. Jadi, Mama pikir, kenapa kalian nggak segera tunangan terus nikah. Lagi pula, Mama suka sama Luna." "Kendra dan Luna memang sedang menjalin hubungan serius, tapi nggak buru-buru juga nikahnya, Ma. Biarin aja kami berdua puas pacaran dulu." Liliana tidak berduli. Alih-alih mendengar ocehan sang anak, ia malah berjalan menuju panggung dengan membawa segelas anggur di tangannya. "Perhatian semua," sapa Liliana, meminta perhatian kepada seluruh tamu undangan. "Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak atas kehadiran kalian semua pada acara hari ini. Tidak ada yang lebih berharga dari ucapan serta doa tulus yang kalian panjatkan. Malam ini, selain merayakan ulang tahun, saya Liliana Prawira merasa sangat bahagia atas kado yang sudah dibawakan oleh putra kesayangan saya. Untuk itu, malam ini saya ingin sekalian memperkenalkan seseorang yang begitu spesial kepada kalian semua. Jadi, putra saya Artakendra Prawira sudah menemukan pasangan hidup yang selama ini ia cari yaitu Luna Agnesia." Semua orang langsung bertepuk tangan ketika Liliana dengan serta merta membawa tangannya lalu menunjuk ke arah di mana Luna tengah berdiri. "Di samping itu, malam ini, saya juga ingin memberikan pengumuman kalau dalam waktu dekat Kendra dan Luna akan bertunangan dan segera menikah. Untuk itu, saya memohon doa dari kalian semua agar rencana ini bisa berjalan sesuai rencana." Mendengarkan pengumuman dari Liliana, Kendra dan Luna sama-sama dibuat terkejut. Tidak pernah menyangka permainan yang mereka lakukan malah berujung seperti ini. Sekarang tinggal membuat keputusan, apakah tetap menjalani rencana seperti semula atau mengakhiri permainan sekarang juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD