5. Gara-gara Kamu!

2059 Words
"Ma, Kendra pamit pulang dulu. Sekali lagi selamat ulang tahun." Setelah selesai berbincang serta beramah tamah dengan seluruh tamu penting yang hadir dalam pesta, Kendra memutuskan untuk segera pulang. Lagi pula, ia sadar kalau malam ini membawa serta Luna. Tidak enak saja rasanya membawa seorang gadis pulang hingga larut walaupun sebenarnya ia berhak karena sudah membayar wanita itu begitu mahal. Di samping lelah, Kendra juga sudah sangat malas meladeni seluruh pertanyaan sang Mama dan juga keluarga besarnya. Itu sebabnya begitu acara selesai, buru-buru ia mengajak Luna untuk segera pamit. "Terima kasih banyak karena sudah datang dan menepati janjimu untuk membawa Luna kehadapan Mama. Asal tau aja, Mama senang sekali malam ini," ungkap Liliana. Wanita itu turut memberikan pelukan sebelum membiarkan sang putra beranjak dari pesta. "Kendra turut bahagia kalau malam ini Mama merasa senang." "Oh, jelas," sahut Liliana. "Apalagi kehadiran Luna benar-benar membuat pesta Mama semakin meriah. Mama sangat berharap di lain waktu bisa kembali bertemu dengannya." Setelah puas memeluk Kendra, Liliana berpaling pada Luna. Melempar senyum dengan ramah, wanita yang masih bugar di umur yang tidak lagi muda tersebut ikut memberikan pelukan sekaligus mencium kedua pipi kekasih putranya itu. "Terima kasih banyak atas kehadirannya, Luna. Sampai jumpa dipertemuan berikutnya." Luna balas tersenyum. Setelah mengurai pelukan, wanita itu menyahut ucapan Liliana tak kalah ramah. "Sama-sama, Tante. Eh, Mama." Buru-buru Luna langsung meralat ucapannya. "Saya juga senang karena bisa ikut merayakan pesta ulang tahun hari ini. Saya doakan Mama terus sehat dan apa pun itu yang menjadi cita-cita bisa segera terwujud." Selesai berpamitan, masih dengan berakting mesra, Kendra membawa Luna untuk segera pergi menuju mobil. Memerintahkan supir pribadinya untuk segera membawa mereka pergi meninggalkan tempat acara. Sepanjang perjalanan pulang mengantar Luna, Kendra tidak habis-habisnya mengomel. Dirinya begitu kesal karena wanita yang sudah ia bayar dengan sangat mahal tersebut malah membuat posisinya menjadi semakin tidak aman. Bermaksud agar tidak mengecewakan sang Mama soal janji membawa pasangan, kehadiran Luna bukannya membantu, malah menambah daftar panjang masalahnya. Siapa yang sangka kalau Liliana tanpa terduga malah mengumumkan pertunangan, bahkan menyinggung soal pernikahan sang anak kepada seluruh tamu penting yang hadir dalam pesta ulang tahun tersebut. Kendra itu hapal benar dengan sifat sang Mama. Kalau sudah berbicara, pantang sekali wanita itu menarik ucapan apalagi membatalkan apa yang sudah ia umumkan. "Ini semua gara-gara kamu, Luna!" "Kok jadi gara-gara saya?" Luna sampai menoleh ke arah Kendra yang berstatus bosnya tersebut. Turut berdecak. Bahkan merasa kalau pria di sebelahnya ini bersikap tidak tahu terima kasih. Padahal, akting yang ia lakukan malam ini nyaris sempurna. "Ya emang salah kamu! Masa iya salahnya Luna Maya. Kalau aja di pesta tadi kamu nggak banyak omong, mungkin Mama nggak bakalan bahas soal pertunangan apalagi sampai umumin pernikahan segala macam." Kendra masih saja terlihat sangat kesal. Semua kemarahan ia tumpahkan begitu saja kepada sekretaris barunya tersebut. "Lagian, kamu ngapain, sih, banyak omong trus sok-sok akrab sama klien yang ada di pesta? Kenapa nggak diem aja?" sambung pria itu kemudian. "Kan saya punya mulut, Pak," delik Luna. "Lagian bapak sendiri yang minta saya untuk improvisasi. Ya saya lakukan, biar keliatannya akrab aja sama rekan bisnis bu Lilianan. Harusnya bapak senang, dong. Buktinya, mereka semua antusias sama kehadiran saya. Bahkan ada yang minta pendapat segala macam." Wajah Kendra tampak semakin kesal dan gemas. Ia juga baru tahu kalau sekretarisnya itu selain pintar ngomong, wanita itu juga punya kepercayaan diri yang begitu tinggi. "Iya! Akibat sikap sok ramah dan sok tahu yang kamu tunjukkan itu, sekarang masalahnya jadi semakin panjang dan rumit." "Kalau menurut bapak jadi rumit, itu bukan urusan saya. Kan dari awal saya udah ingetin, bohongin orang tua itu bahaya. Berpotensi kualat. Tapi bapak tetap maksa, kan?" Kendra menatap tajam ke arah Luna. Kenapa makin lama sekretarisnya itu semakin terihat menyebalkan. Semua yang Kendra ucapkan, selalu saja wanita itu balas. "Jadi sekarang kamu nyalahin saya?" "Ya emang dari awal bapak yang salah," sahut Luna tanpa dosa. Ia tidak sedikit pun perduli dengan ekspresi marah yang Kendra tunjukkan kepadanya. "Terus, kamu ngapain pakai setuju ikut Mama ke Surabaya segala macam?" tanya Kendra kemudian. Luna menarik napasnya sekali. Tidak ingin tersulut, wanita itu berusaha menanggapi semua omelan Kendra sesantai mungkin. Ia tidak ingin memenuhi otaknya yang brilian dengan obrolan tidak penting yang sedari tadi Kendra lontarkan kepadanya. "Soal perjalanan dinas ke Surabaya, kalau bapak keberatan, saya tinggal batalin aja pake alasan sakit. Apa susahnya? Jangan buat yang gampang jadi rumit, Pak." "Arghh!" Alih-alih menyahut lagi, Kendra memilih untuk membuang muka. Sengaja menatap ke arah luar jendela mobil sembari memperhatikan kendaraan yang lalu lalang. Sambil mengatur napas, ia terus berusaha menahan emosi agar tidak melakukan hal-hal di luar batas. Sementara Luna turut berbuat hal yang sama. Memilih untuk mengunci mulutnya sampai mobil kendra berhenti tak jauh dari mini market tempat pria itu menjemput sebelumnya. "Terima kasih Bapak sudah menjemput sekaligus mengtarkan pulang. Saya harap ini kerja sama terakhir yang kita lakukan di luar pekerjaan kantor," ucap wanita itu setelah turun dan sebelum benar-benar menutup pintu mobil. "Kamu pikir saya masih mau kerja sama lagi sama kamu?" sahut Kendra seraya menatap dengan sinis. "Ya siapa tahu aja. Lagian, nggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi di masa depan, kan?" "Masalahnya saya udah males kerja sama dengan kamu. Udah mahal, nambahin masalah saya aja." Luna tidak menyahut lagi. Setelah menutup pintu, wanita itu dapat melihat bagaimana mobil yang bosnya kendarai tersebut kembali melaju pergi. Meninggalkan dirinya dipinggir jalan dengan perasaan teramat kesal. "Besok-besok kalau sampai minta tolong lagi, aku nggak bakalan mau. Dasar bos nyebelin!" *** Kendra memasuki kediamannya dengan perasaan tidak menentu. Membuka jas hitam yang ia kenakan, pria itu lantas melemparnya ke sembarang arah. Detik kemudian, pria itu berjalan menuju mini bar yang letaknya tak jauh dari pantry. Sejenak, pria berpostur tubuh tinggi tegap tersebut memilih duduk dalam diam. Sampai beberapa menit terlewat, pelan-pelan ia mengulurkan tangan. Meraih gelas sekaligus botol wine yang tersusun rapi di sana. Menuang, kemudian menyesapnya dengan perlahan. "Kenapa jadi rumit begini, Tuhan," desah Kendra dengan gusar. Pria itu memejamkan mata sekilas. Membawa tangannya, kemudian memijat sebentar keningnya yang tiba-tiba saja berdenyut nyeri. "Kalau saja Vio yang datang ke pesta Mama, mungkin nggak akan jadi runyam seperti sekarang." Begitu teringat akan Viola, Kendra buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Mencari kontak sang kekasih, bermaksud untuk segera menghubungi gadis pujaan hatinya itu. Ia yakin, Viola pasti seharian ini mencari dirinya. Karena dari pagi, Kendra memang tidak sempat sama sekali menghubungi kekasihnya itu karena begitu repot mengurus pekerjaan. Berharap panggilan telponnya segera disahut, dengan sabar Kendra menunggu. Sampai tak berapa lama, Viola pada akhirnya mengangkat panggilan yang dari tadi ia lakukan. "Halo, Vio." "Ya, Ken. Kamu belum tidur?" tanya wanita di seberang sana. Mendengar suara riuh ramai yang menjadi latar perbincangan keduanya, Kendra yakin, Viola pasti sedang berada distudio pemotretan atau bisa saja sedang menghadiri pertujukkan busana. "Belum, Sayang," sahut Kendra dengan lembut. "Aku baru aja pulang dari acara ulang tahu Mama." "Astaga, Tuhan." Viola terdengar berseru. Mungkin baru tersadar kalau hari ini adalah hari perayaan ulang tahun ibunda Kendra yang untuk kesekian kalinya tidak dapat ia hadiri karena jadwal pekerjaannya yang begitu pada sebagai model. Dengan perasaan bersalah, ia mencoba untuk menyampaikan permohonan maaf pada kekasihnya itu. "Maaf kalau malam ini aku nggak bisa dampingi kamu, sayang. Aku benar-benar ngerasa nggak enak sama kamu." "Its, ok. Mau gimana lagi. Aku sadar kalau jadwal kerjamu emang lagi padat banget," jawab Kendra dengan santai. "Tapi kamu sampaikan salamku untuk Mama kamu, kan?" tanya wanita itu. "Sudah aku sampaikan. Jadi, kamu nggak usah khawatir," bual Kendra. Tentu saja ia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu. Sebelum benar-benar pergi, Viola memang sudah mengingatkan Kendra untuk menyampaikan salam sekaligus permohonan maaf karena lagi-lagi tidak bisa hadir ke acara ulang tahun karena harus berangkat ke luar negeri. Satu hari sebelum acara ulang tahun dimulai, Viola bahkan kembali mengingatkan Kendra dalam sambungan telponnya agar tidak lupa menyampaikan apa yang sudah ia pesankan. Namun, tentu saja hal itu tidak Kendra lakukan. Alih-alih menyampaikan salam dan pesan yang Viola titipkan, pria itu malah mencari wanita pengganti yang bisa ia bawa dan pamerkan saat pesta ulang tahu sang Mama berlangsung. Sekarang? Kendra sepertinya menyesal sudah mengikuti rencana Bimo. Bukan saja status hubungannya dengan Viola yang bisa terancam, statusnya sebagai anak dari Liliana Prawira juga bisa terancam kalau ia sampai ketahuan melakukan kebohongan besar. "Syukurlah kalau sudah kamu sampaikan. Terus acaranya gimana? Pasti tadi rame banget." "Biasa aja," sahut Kendra dengan malas. Ketimbang melanjutkan obrolan soal pesta, Kendra lebih tertarik membahas hal lain dengan kekasihnya itu. "Kamu sendiri sekarang lagi di mana? Kedengarannya rame banget." "Aku baru selesai GR. Ini lagi evaluasi sebelum nanti malam tampil." "Terus kerjaan kamu kapan selesai? Maksud aku, kapan kerjaan kamu di Paris selesai." Terdengar tawa kecil berasal dari Viola. Masih setia berbicara pada Kendra, wanita cantik itu kemudian membalas. "Aku di paris sampai rabu, Sayang. Setelah itu ----" "Setelah itu kamu pulang ke Indonesia sesuai jadwal yang udah kamu infoin tempo hari, kan?" potong Kendra. Nada bicara pria itu yang awalnya malas, tiba-tiba saja berubah bersemangat. "Nggak, Sayang. Aku nggak jadi pulang minggu depan," cicit Viola. Suara wanita itu terdengar melemah. "Maksud, kamu?" "Iya, karena penampilanku selama di sini terlihat paling baik. Salah satu perancang busana asal Canada yang sedang bekerja sama dengan Dior, menunjukku secara langsung untuk ikut serta dalam pagelaran busana di Los Angeles tengah bulan depan." "Jadi, maksudnya kamu nggak jadi pulang?" Viola tidak langsung menyahut. Sempat hening beberapa saat hingga tak lama kemudian, terdengar helaan napas pelan, diikuti jawaban Viola atas pertanyaan Kendra sebelumnya. "Iya, Ken. Aku nggak jadi pulang minggu depan." "Tapi bukannya jadwalmu itu masih lama, Vio? Bahkan masih dua minggu lagi. Kenapa juga kamu nggak pulang dulu?" "Justru dua minggu itu aku pakai untuk karantina dan rehearsal supaya penampilan aku bisa sempurna nantinya. Ini impian aku, Ken. Aku bakal tampil di Los Angeles bareng Dior. Belum ada model asal Indonesia yang bisa tampil seperti ini. Dan aku? Aku orang pertama yang akan mendapatkan kehormatan ini." Kendra diam saja. Melihat bagaimana bersemangatnya Vio, ia yakin akan percuma melarang kekasihnya itu. Apalagi kalau sudah bicara soal impian dan cita-cita. Kendra sadar, selama ini, Viola memang berambisi menjadi model papan atas yang bisa merambah ke dunia internasional. Sekarang? Ketika kesempatan itu terbuka lebar, Viola pasti akan melakukan apa saja agar impian tersebut bisa berjalan sesuai dengan apa yang ia harapkan selama ini. "Jadi, kamu nggak akan pulang dalam waktu dekat?" tanya Kendra sekali lagi. Ada nada kecewa terselip dalam kalimat yang terlontar dari bibirnya. "Iya. Aku minta maaf. Nggak menutup kemungkinan aku bakal lama di luar negeri." "Berapa lama?" "Mungkin satu sampai dua bulan. Paling lama tiga bulan baru aku kembali ke Indonesia." "Viola! Kamu nggak serius, kan? Kamu yakin kita LDR selama itu?" "Kalau kamu kangen, kamu aja yang susulin aku ke luar negeri, Ken. Duit kamu kan banyak." "Nggak gitu konsepnya, Viola. Kamu tau sendiri kalau aku baru aja dudukin jabatan yang sekarang. Mana bisa seenaknya keluar negeri tanpa alasan yang jelas. Apalagi kalau cuma buat pacaran." "Ya udah, itu artinya kamu harus sabar, Ken. Lagian tiga bulan itu nggak lama, kok. Di Indonesia juga kita nggak bisa setiap hari ketemu karena kamu sering sibuk. Lalu apa bedanya?" Seolah kehabisan kata-kata, Kendra memilih diam. Toh, menurutnya, percuma saja beradu argumen. Viola itu tipe wanita yang tidak bisa dibantah kalau sudah mengatakan sesuatu. Mau berbuih sekali pun melarang, tidak akan sedikit pun menggoyahkan keputusannya. Lagi pula, ini bukan kali pertama juga Kendra protes soal keputusan Viola yang sering kali berat sebelah. Wanita itu sudah biasa bersikap egois. Lebih sering memikirkan dirinya sendiri tanpa sedikit pun melihat ke arah Kendra. "Terserah kamu aja mau pulang atau nggak," ketus Kendra setelah pria itu lama terdiam. Ia yang tadinya menelpon bermaksud untuk melepas rindu, kini merasa sebal dan kesal sendiri setelah berbincang panjang lebar dengan kekasihnya tersebut. "Kendra." Suara Viola melembut. Mungkin tersadar kalau kekasihnya itu sekarang sedang marah. "Jangan marah gitu, dong, sayang." "Aku nggak marah. Tapi aku nggak suka aja kamu seenaknya ambil keputusan tanpa diskusi terlebih dahulu." "Kendra, dengerin dulu. Aku nggak mau kamu ----" "Udah malam, Vio," potong Kendra. "Aku mau istirahat. Kamu lanjutin aja kerjaan kamu. Satu hal yang perlu kamu ingat, aku nggak bakal maksa-maksa kamu lagi untuk cepat pulang ke Indonesia. Kalau kamu bisa seenaknya, aku juga bisa ngelakuin hal yang sama." Kendra yang terlanjur marah langsung memutus begitu saja panggilan telponnya. Tidak sedikit pun memberikan Viola kesempatan untuk memberi penjelasan atau sekedar mengucapkan salam perpisahan seperti biasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD