6. Cinderella Syndrom

2231 Words
Hari ini Luna nampak sibuk mengerjakan seluruh tugas yang Kendra berikan. Sanking banyaknya, wanita itu bahkan sampai harus terlewat jam makan siang. Kalau Luna pikir-pikir, sepertinya Kendra memang sengaja memberikannya tugas tanpa henti. Entah kenapa, Luna meyakini kalau ini semua masih berhubungan dengan kemarahan bosnya itu atas segala kejadian yang terjadi di pesta ulang tahun Nyonya Liliana. "Pak Bos nyebelin! Nggak profesional banget. Gila aja tugas akhir bulan harus dikerjakan sekarang juga! Sebenarnya dia ini waras atau nggak, sih?" Sambil bersungut-sungut, mata Luna nampak terus fokus di depan layar personal computer. Ia bertekad seluruh pekerjaan yang Kendra beri bisa selesai hari ini juga. Pokoknya, Luna tidak ingin hari ini pulang telat karena harus tenggelam dengan tugas. Enak saja, pikirnya! "Luna aku cariin kemana-mana, nggak taunya kamu masih sembunyi di sini." Chacha, sahabat Luna yang memang beda divisi nampak berkunjung. Menyadari Luna yang tidak terlihat selama jam istirahat kerja, wanita itu berinisiatif untuk mencari hingga akhirnya menemukan sang sahabat yang ternyata masih sibuk mengerjakan sesuatu di meja kerjanya. "Nih, cepetan makan siang dulu," sambung wanita itu. "Aku bawain kamu makanan. Kalau telat makan, maag kamu bisa kambuh." Luna yang tadinya sedang fokus bekerja langsung melirik. Melihat Chacha membawakannya satu papper bag berisi box makanan lengkap dengan minuman, ia lantas menghentikan kegiatan kerjanya untuk sejenak. "Makasih banget, Cha. Tau aja kalau aku lagi lapar banget," keluh Luna. Ia berbicara sembari membuka box makanan yang sudah Chacha bawakan untuknya. "Lagian, tumben banget nggak istirahat. Emangnya kamu lagi ngerjain apa sampai lupa waktu gitu?" "Tebak, aku lagi ngerjain apa?" Detik itu juga Chacha langsung berdecak. Ia tidak heran sebenarnya. Tingkah Luna memang sering kali membuatnya gemas sendiri. "Alah, pake tebak-tebakan segala. Tinggal jawab, apa susahnya." Luna tertawa saja. Karena sudah terlalu lapar, ia memilih untuk menyantap terlebih dahulu ayam goreng tepung mix capcai goreng yang ada di dalam box. Setelah beberapa suap Luna kunyah, barulah ia melanjutkan perbincangan sebelumnya. "Kamu tau, kan? Akhir bulan masih lama?" ucap Luna. "Iyalah. Ini baru juga tanggal berapa." "Dan asal tau aja, masa tanggal segini, aku udah diminta Pak Kendra untuk buat laporan bulanan." "Serius?" Chacha menatap luna dengan tatapan tidak percaya. "Seribu rius kali, Cha." "Ya terus, apa yang mau kamu laporin? Ini baru tanggal berapa. Lagian, kamu nggak protes sama Pak Kendra?" Suara decakan langsung terdengar dari bibir Luna. Apa Chacha sudah lupa siapa Artakendra Prawira dan apa jabatannya di Palma Palace? "Menurutmu, aku bisa protes nggak?" Chacha langsung menggeleng lemah. "Nah, ya udah, Cha. Gara-gara ngerjain beginian, aku sampai nggak makan siang. Belum lagi Pak Kendra juga minta resume rapat yang jelas-jelas baru aja dia hadiri beberapa jam yang lalu. Ah, nggak tau lah aku. Pokoknya pusing banget." Chacha mendengarkan dengan seksama sembari mencerna cerita yang Luna sampaikan. Kasihan juga melihat sahabat yang baru beberapa bulan terakhir menduduki posisi sekretaris tersebut sudah dibuat susah oleh bos mereka yang terkenal dingin dan killer. "Sabar ... sabar ... jangan emosi. Mending kamu habisin dulu makan siangmu. Setelah itu, baru kita lanjut cerita lagi." Luna mengangguk setuju. Buru-buru ia melanjutkan makan. Melahap nasi berikut lauk yang masih tersisa di dalam box. Untung saja Chacha jadi penyelamat siang ini. Kalau tidak, ia yakin sekali penyakit maag yang selama ini diderita pastilah kambuh seperti biasa. Setelah kenyang menghabiskan seluruh makanan, barulah Luna melanjutkan cerita. Sesekali wanitanitu mengecek ulang apa yang sebelumnya ia kerjakan. "Nggak tau kenapa, aku yakin aja Pak Kendra ngasih kerjaan nggak masuk akal macam sekarang karena buntut dari marahnya dia sejak malam ulang tahun bu Liliana," cerita Luna. "Pak Kendra marah?" tanya Chacha. Lalu tak lama, ekspresi wanita itu seolah menunjukkan kalau ia teringat sesuatu. "Una, bukannya tempo hari kamu janji mau cerita sama aku?" Kedua belah alis mata Luna nampak bertaut. Ia berusaha mengingat apa yang ingin dirinya ceritakan kepada sahabatnya itu. "Cerita apaan. Kayaknya aku lupa?" "Cerita soal kamu yang diajak Pak Kendra buat temenin pergi undangan pesta ulang tahun. Kan tempo hari kamu nggak cerita sampai tuntas." "Oh Ya Ampun, aku lupa," ucap Luna sembari menepuk pelan keningnya. Luna lantas ingat. Sebelumnya, ia memang berjanji akan bercerita pada Chacha. Lagi pula, selama ini tidak ada satu pun rahasia yang dirinya sembunyikan dari sahabatnya itu. Dari kisah hidup, percintaan, serta pengalaman pribadi lainnya. Pun begitu juga sebaliknya. Chacha tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari diri Luna. Mereka berdua sudah berjanji untuk saling bantu serta terbuka dalam hal suka mau pun duka. "Jadi gini .... " lanjut Luna. "Entah gimana awalnya, Pak Bimo minta tolong aku buat jadi pendamping pura-pura pak Kendra untuk datang ke pesta ulang tahun bu Liliana." "Kok bisa tiba-tiba nyuruh kamu?" tanya Chacha penasaran. Belum lagi selesai Luna bercerita, ia sudah melayangkan pertanyaan. "Dengerin dulu, Cha. Kebiasaan deh kamu. Aku beresin dulu ceritanya." Luna berdecak. Ia hapal benar kelakuan sahabatnya itu. Di samping punya penyakit kepo, bukan hal baru kalau Chacha suka menyela atau memotong pembicaraan orang. "Ya udah lanjutin gih ceritamu," balas Chacha dengan bibir mencebik sebal. "Kata Pak Bimo, pacar atau calon istri Pak Kendra saat ini lagi di luar negeri. Karena ada pekerjaan di sana yang nggak bisa ditinggal, beliau akhirnya berhalangan untuk datang dan menemani Pak Kendra untuk hadir ke pesta ulang tahun bu Liliana. Sementara Pak Kendra udah terlanjur janji sama Mamanya buat kenalin pasangan dia ke keluarga besar." "Karena hal ini, terus kamu yang diminta buat gantiin sementara?" Luna saat itu juga langsung menjetikkan jarinya ke udara. "Yapp, kamu bener banget. Di samping karena aku cantik, pintar, dan bertalenta, mereka bilang aku masuk kriteria buat dijadiin calon istri pura-pura." Chacha berdecak. Dengan serta merta langsung mencubit lengan Luna dengan gemas. Walaupun sebagian besar ucapannya benar soal kecantikan, pintar, dan bertalenta, Chacha sebal saja melihat ekspresi sok percaya diri yang sahabatnya itu tunjukkan. "Terus kamu mau aja disuruh buat gantiin?" "Awalnya aku nggak mau. Takut kualat bohongin orang tua." "Lalu, kenapa tiba-tiba bisa setuju?" "Kamu tau kalau keadaan panti saat ini nggak baik-baik aja, kan?" Chacha mengangguk. Tahu benar kalau selama ini Luna adalah yatim piatu yang mengabdikan seluruh hidup bahkan gajinya bekerja untuk membantu serta memenuhi kebutuhan panti tempatnya selama ini tinggal. Chacha bahkan sering kali merasa kasihan dan iba melihat bagaimana gigihnya perjuangan Luna memenuhi kebutuhan panti karena berkurangnya donatur saat ini. "Terus apa hubungannya sama panti, Una?" "Jelas ada," sahut Luna. "Kebetulan di hari yang sama, pihak bank kirim surat tagihan soal pinjaman yang jumlahnya nggak main-main." Kening Chacha tampak kembali berkerut dalam. Menarik wajahnya, wanita itu melayangkan interupsi. "Tunggu dulu! Apa hubungannya tagihan bank sama ajakan Pak Kendra untuk pura-pura jadi calon istrinya? Apa jangan-jangan kamu dibayar sama Pak Kendra buat gantiin pacar dia?" Luna mengangguk berulang kali. Membenarkan tebakan yang Chacha sampaikan. "Dia kasih 250 juta sebagai imbalan kalau aku mau turutin permintaan dia." "Gila!" Chacha berseru. Kedua manik mata wanita itu sukses membola. Tentu saja ia terkejut mengingat nominal yang Luna sebutkan tidaklah main-main. Perkara hanya menemani pergi pesta, Luna bisa mendapatkan uang ratusan juta dalam kurun waktu beberapa jam saja. Enak sekali, pikirnya. "Kalau segitu sogokannya, aku juga mau," tutur Chacha dengan jujur. "250 juta itu banyak banget, Una." "Ya emang banyak, Cha. Siapa bilang dikit. Makanya aku setuju. Lagi pula, lunasin tagihan bank yang selama ini ditunggak oleh panti jumlahnya juga sekitar 200 juta. Jadi, dari pada digusur, aku terima aja tawaran Pak Kendra." "Terus, yang jadi masalah antara kamu dan Pak Kendra apa? Sampai-sampai beliau marah sama kamu?" Kali ini Luna tampak mengembuskan napas dengan panjang. Wanita itu memilih untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering karena terlalu banyak bercerita. Setelah meneguk habis sisa air mineral yang adai di dalam botol, ia lanjut lagi bercerita. "Sebenarnya, acara malam itu berjalan lancar. Bu Liliana bahkan senang banget liat Pak Kendra datang ke pesta bawa pasangan. Dan lagi, kamu kan tau aku orangnya gampang bergaul. Jadi, saat bu Liliana kenalin sm relasi bisnisnya, aku bisa berbaur dan ambil hati mereka." "Terus?" "Masalahnya, Bu Liliana tanpa terduga dan tanpa pembicaraan terlebih dahulu malah main umumkan soal pertunangan." Sebelah alis mata Chacha nampak terangkat tinggi. Perasaan wanita itu langsung saja tidak enak. "Apa maksudnya dengan tunangan?" Luna langsung mengangguk. Seolah mengiyakan apa yang tengah Chacha pikirkan saat ini. "Bisa dibilang bu Liliana setuju sama calon istri yang dibawa Pak Kendra. Itu sebabnya, tanpa pikir panjang lagi, beliau langsung buat pengumuman ke semua orang kalau Pak Kendra dalam waktu dekat akan bertunangan dan menikah." Lagi, Chacha terperanjat. Tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya. "Dan calonnya itu kamu?" "Iya, Cha! Aku pusing banget. Gara-gara hal ini, sepulang pesta sampai sekarang Pak Kendra jadi marah-marah dan terus malah nyalahin aku." "Astaga." Chacha dibuat ikut pusing dengan apa yang baru saja diceritakan oleh Luna. Kalau begini ceritanya, Chacha yakin kebohongan yang dibuat oleh bos serta sahabatnya itu bisa rumit bahkan berbuntut panjang. "Terus, kalau bu Liliana beneran mau nikahin kamu sama Pak Kendra, gimana?" "Gila aja!" seru Luna dengan cepat. "Biarpun pak Kendra kaya, bukan berarti aku setuju-setuju aja dinikahin sama dia." "Tapi Pak Bos itu selain kaya, cakep juga loh. Lumayan buat kamu memperbaiki keturunan." Luna langsung mendelik. Seenaknya saja sahabatnya itu berbicara. Walaupun miskin, Luna punya harga diri. Ia bukanlah tipe wanita yang sembarang memilih pasangan hidup. Bukan wanita yang mentang-mentang bertemu pria kaya langsung terima saja bila dilamar padahal tidak memiliki perasaan cinta. "Sembarangan. Aku bukan penganut Cinderella Syndrom. Kalau kamu pengen, ya kamu aja yang nikah sama cowok nyebelin macam Pak Kendra." "Namanya juga saran." Selesai berbicara, Luna lantas bangkit dari duduknya. Merapikan sejenak beberapa berkas, lalu bersiap untuk pergi. "Kamu mau ke mana?" tanya Chacha ingin tahu. "Mau ke toilet bentar, terus antar berkas ke ruangan Pak Kendra. Kamu jangan kemana-mana dulu. Kalau Pak Kendra telpon tolong terima aja." *** Di dalam ruangannya, Kendra nampak sibuk memeriksa proposal bisnis yang baru saja Bimo antarkan. Sambil mengeceknya satu per satu, pria itu juga saling berdiskusi sekaligus mengevaluasi pekerjaan yang sedang mereka tangani. "Lahan di daerah derawan ini masih sangat hijau. Hotel besar juga masih belum terlalu banyak, Bim. Gimana kalau kita bangun penginapan atau resort mewah seperti di Maldives tapi dengan konsep yang lebih murah? Kalau dilihat-lihat dari berbagai sisi, lebih oke pemandangan di Derawan ketimbang Maldives." Bimo mengangguk setuju. Apa yang Kendra sampaikan memang cocok untuk perusahaan mereka eksekusi. Lagi pula, selama ini bosnya itu memang tidak pernah salah dalam menentukan pilihan. "Sepertinya ide itu menarik, Pak. Kalau orang berlomba-lomba buat penginapan mewah dengan harga yang fantastis, kita bisa buat penginapan oke, full fasilitas, tapi harganya tetap nggak menguras kantong. Jadi, walaupun murah, pelayanan serta fasilitasnya tetap nomor satu." "Ya, itu maksudku," sahut Kendra. "Aku mau konsep ini dimatangkan. Agendakan aja pembahasan ini dalam rapat. Secepatnya harus kita eksekusi sebelum ide itu diambil sama perusahaan lain." Bimo lantas mengangguk, kemudian mencatat apa yang Kendra sampaikan. Lalu keduanya kembali terlibat perbincangan serius. Sampai tak berapa lama, terdengar pintu ruangan terketuk, diikuti masuknya seseorang yang membuat Kendra langsung terperanjat. "Mama!" Liliana tanpa pemberitahuan terlebih dahulu siang itu memutuskan untuk singgah ke kantor sang putra. Entah ada angin apa tiba-tiba saja datang seolah ada hal penting yang ingin wanita itu sampaikan. "Biasa aja. Nggak usah kaget gitu," balas Liliana ketika sudah duduk di sofa. Sontak saja, Kendra langsung bangkit dari duduknya kemudian menyusuli sang ibu. "Gimana nggak kaget. Tumben aja Mama singgah ke kantor tapi nggak ngabarin dulu. Emangnya ada apa, Ma?" Liliana mengulas tersenyum. Wajah wanita itu siang ini tampak cerah dan sumringah. "Nggak ada apa-apa sebenarnya. Kebetulan lewat aja, jadi Mama inisiatif buat singgah karena pengen ngajak kamu makan siang sama-sama." Kendra mengangguk. Membawa matanya, pria itu mengecek jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Tapi jam waktu istirahat udah hampir habis, Ma." "Ya emangnya kenapa? Kamu kan pimpinan. Mau keluar kapan aja bisa. Nggak bakal ada yang protes, Ken." Kendra menggeleng. Pria itu tidak setuju dengan apa yang ibunya katakan. "Masalahnya, kalau Kendra nggak disiplin, nanti jadi contoh karyawan lain, Ma." Liliana mendesah malas. Memang tidak gampang mengajak putranya itu keluar untuk makan bersama semenjak menduduki jabatan sebagai pemimpin. Bahkan singgah ke rumah untuk makan malam bersama saja sudah jarang. "Jadi, kamu nggak mau temenin Mama makan?" Melihat wajah sang ibu yang berubah tidak enak Kendra jadi serba salah. Sebenarnya ia sendiri tidak tega menolak ajakan sang ibu. Tapi melanggar peraturan juga bukan hal yang tepat. "Kita ganti makan malam aja, gimana? Kendra janji, sore nanti bakal singgah ke rumah Mama." Wajah sendu yang tadinya Liliana tampilkan seketika berubah cerah. Sorot mata senang tampak jelas terukir di wajah wanita itu. Tentu saja ia tidak akan menolak tawaran sang putra, mengingat ini adalah momen langka kalau Kendra sampai mau singgah dan mengajak makan malam bersama. "Kamu serius, kan?" Kendra mengangguk yakin. "Kendra serius, Ma. Nanti Kendra pulang lebih awal biar bisa singgah ke rumah Mama." "Kalau gitu, ajak Luna sekalian buat makan malam bareng-bareng di rumah Mama. Masa mau jadi calon mantu tapi jarang ketemu." Bimo yang sedari tadi berdiri tak jauh dari meja kerja Kendra langsung terbatuk. Ia tidak menyangka kalau ibu dari bosnya itu malah membahas soal Luna. Bimo juga bisa menebak Kendra pasti bingung harus menjawab seperti apa permintaan sang ibu. Terlihat jelas ketika bosnya itu menoleh ke arahnya, seolah meminta bantuan untuk dicarikan alasan. "Sepertinya Luna nggak bisa, Ma," cicit Kendra dengan canggung. "Kenapa nggak bisa? Emangnya dia sibuk?" "Luna ... kayaknya Luna emang nggak bisa karena ----" Kalimat Kendra langsung terhenti, kala di waktu yang sama terdengar ketukan pintu. Begitu semuanya menoleh, tampak jelas sesosok wanita yang sedari tadi dibicarakan melangkah masuk dengan ringan sembari melempar senyum tanpa dosa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD