7. Sekretaris Sekaligus Kekasih

2021 Words
Sambil menunggu Luna yang tengah pergi ke toilet, Chacha nampak membantu merapikan berkas-berkas yang sebelumnya sempat Luna susun. Mengurutkannya dengan rapi, dari tanggal yang paling lama sampai yang terbaru. Sambil terus menyusun berkas, tiba-tiba dari arah belakang terdengar seorang wanita menegur. Begitu Chacha menoleh. Detik itu juga ia langsung berdiri kemudian memberikan hormat. "Bu Liliana." Chacha menyapa sembari menundukkan kepala dengan hormat. Sebenarnya ia cukup terkejut mendapati ibu dari pimpinan Palma Palace tersebut tiba-tiba saja datang setelah sekian lama. Entah ada urusan apa tiba-tiba saja permaisuri Palma itu memutuskan untuk singgah. "Apa Kendra ada di ruangannya?" tanya Liliana. "Ada, Bu," sahut Chacha dengan cepat. "Pak Kendra ada di dalam bersama Pak Bimo. Sepertinya beliau sedang melakukan evaluasi kerja. Apa ibu mau saya antar ke dalam?" Liliana menggeleng. Mengulas senyum, wanita itu menanggapi apa yang Chacha katakan kepadanya. "Nggak usah. Biar saya masuk sendiri aja. Terima kasih informasinya." Liliana kemudian melenggang masuk ke ruangan. Setelah memastikan bayangan permaisuri Palma Palance itu hilang dari pandangan, Chacha kembali duduk. Beberapa menit berselang, barulah terlihat Luna kembali dari toilet. Begitu mendekati meja kerjanya, wanita itu langsung meraih tumpukan berkas, bermaksud untuk mengantarkannya ke ruangan Kendra. Tapi, sebelum benar-benar pergi, ia kembali mengajak sahabatnya yang sedari tadi menunggu untuk berbicara. "Kamu nggak balik ke ruangan? Udah jam segini. Nanti dicari Pak Andra," ingat Luna. Ia tahu kalau kepala divisi tempat Chacha bernaung sangatlah galak. Telat sedikit saja, bisa kena omel sahabatnya itu. "Iya, ini aku mau balik." Chacha kemudian berdiri. Ia lantas bersiap untuk pergi. "Aku kembali ke ruangan dulu. Sampai ketemu nanti sore. Inget, kamu pulang bareng aku aja." Luna mengangguk. Begitu Chacha pergi, ia lantas bergegas melangkah menuju ruangan Kendra. Mengetuk sekali, wanita itu langsung membuka pintu, lalu tanpa ragu langsung melangkah masuk. Yang mana, ketika berada di dalam, barulah ia menyadari keberadaan Liliana yang ternyata tengah terlibat perbincangan dengan Kendra. "Luna!" Liliana yang sadar akan kehadiran Luna langsung menegur. Wajah wanita itu awalnya nampak terkejut. Mungkin heran karena mendapati calon menantunya yang ternyata bekerja di perusahaan milik sang putra. Namun, setelah beberapa detik terlewat, raut terkejut yang tadinya terlihat terganti dengan ekspresi senang. Liliana bahkan repot-repot berdiri, kemudian berjalan menghampiri Luna yang tampak kikuk karena bingung harus bersikap seperti apa. "Jadi selama ini kamu kerja di sini? Di perusahaan Kendra?" Luna tidak langsung menjawab. Memutar bola matanya, wanita itu melirik ke arah Kendra. Berusaha sekali meminta pertolongan kepada pria itu agar ia tidak salah berucap lagi kali ini. "Iya, Ma." Kendra yang menyahut. Ucapan pria itu langsung mengalihkan perhatian sang ibu. "Luna memang selama ini bekerja di Palma Palace. Dia sekretaris pribadi Kendra." "Dan kamu nggak pernah sekali pun menceritakan hal ini sama Mama? Bahkan saat di acara ulang tahun kemarin?" Kendra diam sejenak. Berusaha berpikir keras sekaligus mencari kata-kata yang tepat untuk menyahut pertanyaan sang ibu. Sempat terlintas juga di benaknya kalau momen ini bisa ia pergunakan untuk membuat Liliana membatalkan restu pernikahan antara dirinya dan Luna. Walaupun selama ini Liliana tidak pernah menerapkan kriteria khusus untuk calon menantu, Kendra yakin saja ibunya itu tidak akan setuju kalau mengetahui profesi Luna yang sebenarnya. Keadaan ini tentu bisa ia manfaatkan agar tidak terjebak dalam pernikahan yang tidak seharusnya. "Maaf kalau selama ini Kendra nggak pernah cerita apa pun soal sama mama. Kami berdua bahkan sengaja menutupi hubungan ini dari semua orang." Liliana berdecak. Bergantian menatap wajah Kendra dan Luna yang nampak tertunduk. Lantas tak berapa lama, ia melangkah. Mendekati posisi di mana Luna tengah berdiri, kemudian berbicara, "It's ok, kalau selama ini kalian nggak cerita apa pun. Lagi pula, Mama udah terlanjur suka dengan Luna." Kendra langsung mengangkat wajahnya. Menatap sang ibu dengan tatapan penuh tanya. "Maksud, Mama?" "Ya, Mama tidak masalah mau Luna sekretarismu, atau siapa pun itu. Bukannya dari dulu Mama juga nggak pernah menerapkan persyaratan apa pun untuk jadi calon menantu keluarga Prawira?" Selesai mengucapkan itu, tatapan Liliana kembali pada Luna yang masih berdiri di sebelahnya. "Mulai sekarang, kamu sama Kendra nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Umumkan aja hubungan kalian sama semua orang." "Ma!" tegur Kendra membuat Liliana langsung menoleh ke arahnya. "Jadi maksudnya Mama tetap merestui hubungan kami berdua?" Liliana mengulas senyum kemudian mengangguk. "Tentu saja. Seperti kata Mama sebelumnya, Mama sudah terlanjur suka sama Luna. Jadi, jangan lupa nanti sore bawa dia untuk makan malam bersama di rumah Mama." Liliana kemudian kembali tersenyum ke arah Luna. "Mama tunggu nanti sore kedatanganmu Luna." Selesai mengucapkan itu, Liliana malah memilih pergi meninggalkan ruangan kerja sang putra. Sementara Kendra yang sudah memastikan kepergian sang ibu langsung menoleh ke arah Luna. Detik itu juga menghujami sekretaris barunya tersebut dengan tatapan yang tajam. "Kamu kenapa senang banget bikin masalah, sih?" "Saya buat masalah?" tunjuk Luna pada dirinya sendiri. "Saya bahkan nggak tau apa-apa di sini." Kendra mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Emosinya hampir saja pecah kalau Bimo yang sedari tadi memang masih berada di ruangan langsung menegur cepat-cepat. "Pak, sepertinya bapak nggak bisa menghindar untuk acara nanti sore." "Saya tahu," sahut Kendra. Kemudian fokusnya kembali ke Luna. "Karena kamu yang udah buat masalah, sekarang saya minta kamu selesaikan semua ini." "Tapi, Pak ... " interupsi Luna. "Saya beneran nggak tau apa-apa. Kalau saya tau ada bu Liliana di ruangan bapak, saya pasti nggak akan masuk." Luna berusaha sekali membela diri. Tapi kalau dilihat-lihat dari raut wajah yang Kendra tampilkan, rasanya percuma sekali ia berbicara. "Kamu pikir saya perduli dengan apa yang kamu jelaskan sekarang? Nggak, Luna," geleng Kendra. "Pokoknya jam enam sore nanti, kamu harus temani saya pergi ke acara makan malam." "Tapi, Pak Kendra ----" Detik itu juga Kendra mengangkat tangan kanannya. Meminta Luna untuk berhenti berbicara. "Saya nggak terima penolakan. Kalau kamu keberatan, silakan buat surat pengunduran diri untuk berhenti dari Palma Palace." Luna menelan kembali kata-kata yang siap meluncur dari bibirnya. Mau tidak mau pasrah saja menerima perintah yang sudah Kendra berikan. *** Setelah menyelesaikan semua pekerjaan dan memutuskan untuk pulang lebih awal, kini dengan mengenakan pakaian yang rapi, Luna sudah bersiap sekaligus menunggu Kendra di tempat biasanya. Sambil melirik jam yang ada di handphone, sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri mencari keberadaan mobil Kendra. Sampai tak berapa lama, sebuah Ferrari berhenti di pinggir jalan tepat di mana Luna tengah menunggu. Menurunkan kaca penumpang, Luna akhirnya tahu siapa si pemilik mobil tersebut yang ternyata adalah pria yang sedari tadi ia tunggu. Gegas Luna membuka pintu. Baru saja mendudukkan dirinya di kursi penumpang, sudah terdengar ocehan Kendra memenuhi indra pendengarannya. "Kamu nggak punya baju yang lebih bagus?" "Emangnya baju yang saya pakai nggak bagus? Perasaan ini udah sopan bahkan memenuhi kriteria untuk dipakai pada jamuan makan malam." Kendra berdecak. Malas menanggapi apa yang Luna ucapkan, memilih untuk kembali memacu mobil yang ia kendarai menuju suatu tempat. Sampai beberapa menit berselang, bukannya langsung pergi ke rumah ke dua orang tuanya, Kendra malah membawa Luna untuk singgah ke tempat lain. "Turun," perintah Kendra. Luna lantas melepas seatbelt yang melingkar di tubuhnya. Memerhatikan sekitar, kemudian berbicara, "Makan malamnya di mall, Pak? Saya pikir kita bakal makan malam di rumah bu Liliana yang tempo hari." Kendra terdengar mendesis, menoleh ke arah Luna, pria itu berbicara dengan malas. Sumpah demi apa pun, kalau tidak terpaksa saja, ia mana mau juga berurusan dengan sekretarisnya itu. "Siapa yang mau makam malam di sini?" "Ya terus? Kita mau ngapain?" "Mau Ziarah. Udah, nggak usah banyak tanya. Sekarang turun, dan ikut ke mana saya akan bawa kamu!" Luna berdecak kecil. Dengan wajah sebal ia menuruti perintah Kendra untuk turun dari mobil. Mengekori langkah pria itu hingga akhirnya sampai dan masuk ke salah satu butik besar dan ternama. "Tolong carikan gaun terbaik yang cocok untuk pacar saya pakai malam ini," pertintah Kendra kepada pelayan butik. Dari sini akhirnya Luna tahu kalau bosnya itu mengajaknya untuk mencari pakaian terlebih dahulu. Menyebalkan memang. Padahal, menurut Luna pakaian yang ia pakai sudah sangat bagus dan sesuai dengan standar jamuan makan malam. Entah kenapa, bosnya ini cerewet sekali. "Ini adalah koleksi terbaru dari butik kami, Pak. Semuanya bisa dipilih sekaligus dicoba terlebih dahulu," tawar pelayan butik sembari menunjukkan koleksi yang dimaksud. "Luna, cepat pilih dan pakai. Kita nggak punya banyak waktu." Luna menurut saja. Setelah berulang kali memilih serta mencoba mana yang menurutnya pas, ia lantas menunjukkan kepada Kendra. Begitu pria itu setuju kemudian menyelesaikan pembayaran, keduanya kembali melanjutkan perjalanan menuju kediaman Liliana. Beruntung jalanan sore ini tidak begitu padat. Keduanya bisa sampai tepat pada jam 7 malam. Memasuki rumah, sudah ada Liliana di sana yang tampak menunggu dengan tidak sabaran. Bahkan, ketika melihat kedatangan Kendra dan Luna, penuh antusias Liliana meminta putra dan calon menantunya itu untuk segera pergi kemudian berkumpul ruang makan. "Mama pikir kalian berdua nggak jadi datang." "Sudah dibilang Kendra pasti datang. Mama nggak percayaan banget." Argadana, ayah dari Kendra ikut berbicara. Sebenarnya, sudah dari tadi ia gemas sendiri melihat tingkah laku sang istri yang tampak tidak sabaran menunggu putra mereka datang. "Mama itu nggak sabar pengen ketemu Luna, Pa. Nggak tau kenapa, kalau ketemu calon menantu Mama ini, bawaannya happy dan senang banget." Luna mengulas senyum. Jelas sekali saat ini merasa sangat canggung. Ada perasaan tidak enak juga terbesit dalam hatinya karena sudah ikut permainan sang bos untuk berbohong kepada orang tuanya. Bisa-bisa benaran kualat. "Luna, jadi gimana? Akhir pekan nanti kamu jadi ikut ke Surabaya?" tanya Liliana sembari menyendokkan nasi berikut lauk ke piring milik Kendra dan Luna secara bergantian. Ia ingin masakan yang sudah ia siapkan secara khusus itu disantap oleh putra dan calon menantunya. "Sepertinya saya nggak bisa ikut," sahut Luna. Wajah wanita itu dibuat sendu sedemikian rupa. "Emangnya kenapa? Kok tiba-tiba nggak bisa? Apa Kendra kasih kamu banyak pekerjaan? Kalau benar seperti itu, tangguhkan saja. Tunda penyelesaiannya sampai kamu pulang dari Surabaya." Luna melirik ke arah Kendra. Melihat pria itu balas menatap dengan tajam, buru-buru Luna mengalihkan pandangan matanya sembari mencari jawaban yang tepat agar tidak kembali menimbulkan masalah. Sudah cukup telinganya mendengar omelan Kendra hampir setiap hari. Kalau boleh memilih, Luna bahkan tidak ingin sedikit pun memiliki urusan dengan bosnya itu selain urusan pekerjaan. "Ada satu keperluan pribadi yang nggak bisa saya tunda dan tinggal. Saya benar-benar minta maaf sekali karena nggak bisa ikut pergi." Liliana mendesah panjang. Ada perasaan kecewa meliputinya. Padahal, ia ingin sekali mengajak calon menantunya itu untuk berkeliling kota Surabaya. Ingin sekali dirinya pamerkan kepada seluruh relasi bisnis yang ada di sana, Namun, di sisi lain Liliana juga tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada sang calon menantu. Ia sadar Luna sepertinya memang memiliki kegiatan penting yang tidak bisa ditinggal. "Ya sudah. Nanti Mama yang sampaikan permohonan maaf sama Pak William. Sayang banget kamu nggak bisa ikutan." Selesai mengatakan hal itu, kesemuanya memilih untuk menikmati makan malam sembari berbincang. Ada banyak pembicaraan soal bisnis yang Kendra bahas dengan sang ayah. Sementara Liliana juga asyik bertukar cerita dengan Luna. "Jadi, kalian berdua pertama kali bertemu di Palma Palace?" tanya Liliana ingin tahu. "Iya, Ma," angguk Luna. Sebisa mungkin ia memasang wajah tenang. Padahal hatinya gugup setengah mati. Kenapa juga bosnya itu melibatkan dirinya dalam permainan seperti ini. "Lalu, siapa yang duluan menyatakan cinta? Apa Kendra?" selidik Liliana lagi yang langsung ditanggapi Luna dengan anggukan. "Mungkin saja Pak Kendra. Ah, maksud saya, saat itu Kendra terkena yang namanya cinta pada pandangan pertama. Karena setelah pertemuan pertama, beliau rajin menegur kemudian mendekati saya." Liliana tertawa. Ikut membayangkan bagaimana lucunya sang putra yang terkenal kaku itu mendekati seorang wanita. "Jangankan Kendra yang jatuh cinta, Mama dan rekan-rekan bisnis kemarin saja baru sekali ketemu udah langsung suka sama kamu." "Mama benar," sahut Argadana. "Secara kepribadian, Luna cocok sekali bergabung di keluarga Prawira. Papa bahkan tidak menyangka kalau Kendra bisa menemukan calon istri yang supel dan menarik seperti Luna. Padahal, sebelumnya kami mengira anak nakal ini nggak tertarik dengan yang namanya perempuan." "Kendra bukan homo, Pa!" Semua yang ada di meja makan tertawa bersamaan, sampai tak berapa lama Liliana yang kembali berbicara kepada putranya. "Jadi, Kendra, kapan Mama dan Papa bisa bertemu kedua orang tua Luna untuk melamar? Mama harap kamu segera mengatur waktunya." Kendra detik itu juga langsung tersedak air putih yang sedang ia minum. Tidak menyangka juga kalau masalah ini makin lama makin rumit dan membuatnya pusing. Detik itu juga terlintas satu pikiran di kepalanya, apakah ia harus kembali berbohong atau mengakhiri saja permainan yang sudah ia ciptakan sendiri?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD