"Ayah udah nggak ada," ujar Rika yang sudah terduduk lemas di sofa dengan air mata yang sudah membanjiri. Entah apa yang terjadi dalam hidup mereka. Awalnya semua terlihat baik-baik saja sampai beberapa orang datang ke rumah menyatakan bahwa sang suami meninggal dunia karena bunuh diri. Rika bingung kenapa bisa orang mengetahui tentang alamat yang sudah belasan tahun mereka sembunyikan.
Bayangkan bagaimana Rika bisa menerima kenyataan itu, jelas saja sang suami 3 hari dulu pamit untuk melakukan perjalanan ke luar kota untuk melakukan survey di berbagai perbatasan dunia yang mengalami berbagai krisis kesehatan.
"Maksud Ibu apa?" tanya Pillow yang baru saja sampai ke rumah. Ya dia baru pulang dari bermain, sekarang Pillow berumur 7 tahun. Otaknya tidak begitu mengerti apa yang dikatakan sang Ibu.
Rika langsung mendekap tubuh sang Anak. Pillow adalah anugrah terbesar dalam hidup Rika dan juga sang suami yaitu Razan. Usia pernikahan mereka memasuki tahun ke tiga belas barulah Rika di nyatakan Hamil. penantian yang sangat lama sehingga kehadiran Pillow sudah menjadi penyempurna rumah tangga mereka.
Beberapa waktu yang lalu, berita itu datang dengan sendirinya dari perwakilan perusahaan sang suami bekerja yaitu sugaar Cure. Perusahaan farmasi terbesar di dunia yang sudah terkenal di mana-mana, bahkan di obat-obat produksi dari perusahaan itu sangat dicari oleh banyak orang.
Ayah Pillow bekerja di sana hampir dua puluh tahun lamanya. Dia menjadi salah satu peneliti di perusahaan itu. Bahkan saat dunia terserang virus hebat, hanya perusahaan Sugaar Cure yang mampu menciptakan vaksin untuk membasmi virus itu hingga mencegah terjadinya pemusnahan manusia secara massal karena virus tersebut.
Beberapa orang kembali datang ke rumah itu, Rika langsung menutupi wajah sang anak agar tidak ada yang mengenal wajah itu. Menjadi peneliti hebat tentu saja membuat banyak orang yang mengincar Razan yang keluarga. Apalagi Razan menjadi ketua proyek pembuatan vaksin untuk membasmi virus beberapa tahun yang lalu.
Razan sudah mempunyai beberapa firasat bahwa keluarga mereka tidak baik-baik saja sehingga setiap keluar rumah sang anak pasti tidak menggunakan wajah asli melainkan dengan menggunakan topeng yang sudah disiapkan oleh Razan. Dia harus menjaga sang anak walaupun maut taruhannya. Apalagi Razan tidak bersekolah sama sekali
Pernah sekali Pillow bertanya kenapa dia harus memakai topeng ini setiap keluar? Razan tidak menyembunyikan apapun karena dari kecil sang anak memang sangat pintar. Kepintaran Ibu dan Ayahnya jelas saja menurun pada sang anak.
Razan dan Rika merupakan peneliti yang selalu dicari-cari perusahaan bahkan instansi pemerintahan dari berbagai negara, tetapi karena sudah berteman lama dengan pemilik perusahaan Sugaar Cure sehingga dia hanya bekerja di sana. Saat Rika hamil dia langsung berhenti bekerja dan fokus pada kehamilan untuk menanti kelahiran sang anak.
Tepat usia kandungan Rika 4 bulan, mereka sepakat untuk pindah ke sebuah desa yang jauh dari pusat kota. Di sana tidak ada yang tahu tentang keluarga tersebut. Mereka menjadi sosok masyarakat sederhana pada umumnya, hanya saja Rika membuka klinik kecil-kecilan untuk membantu masyarakat di sana.
"Ayah udah nggak ada nak," ujar Rika lagi. Pillow langsung menangis histeris.
"Ibu bohong, Ayah kerja. Dia pasti pulang," teriak Pillow yang tidak bisa menerima berita itu. Bagaimana bisa? Baru semalam dia melakukan panggilan video Dengan sang Ayah. Tidak ada tanda-tanda sakit, bahkan Ayahnya baik-baik saja.
"Udah nak... Udah..." Rika berusaha menangkan sang anak padahal dia sendiri saja belum tenang sama sekali.
"Ayah nggak mungkin ninggalin Pillow, Ayah pasti pulang. Ayah udah janji bakalan bawa Pillow naik gunung," ujar Pillow. Teriakan itu kian menggema. Pillow melepaskan topeng yang selama ini dia pakai atas permintaan sang Ayah. Pillow melemparnya begitu saja berharap sang Ayah akan pulang dan memarahinya.
Rika berusaha untuk membuat sang anak berhenti memberontak karena khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Hampir satu jam dia menangis, Pillow langsung tertidur. Dia terlihat sangat lelah sekali, air mata itu masih mengalir dan menyisakan bekas-bekasnya. Rika mengusap pipi sang anak. Entah apa yang akan terjadi nantinya. Kehidupan apa yang selanjutnya mereka hadapi tanpa kehadiran Razan. Rika rasanya ingin menyusul sang suami tetapi pikiran itu langsung buyar karena menatap wajah anaknya.
Pillow sangat mirip dengan sang Ayah sehingga Razan berusaha menyembunyikan wajah sang anak. Jika kehidupan mereka penuh dengan rasa takut seperti sekarang, maka seharusnya Rika dan Razan tidak memilih untuk menjadi peneliti obat-obatan. Lebih baik mereka menjadi masyarakat biasa, hanya saja jika mereka mempunyai kemampuan tetapi tidak dipergunakan dengan baik bukankah mereka sangat buruk dari orang yang hanya diam?
Mereka berdua hanya ingin menyelamatkan banyak orang dengan berbagai obat yang mereka buat.
"Pillow..." Panggil Rika. Dia harus mempersiapkan segalanya karena jasad sang suami akan datang nanti malam.
Pillow membuka matanya yang sudah memerah dan bengkak. "Ayah mana Bu?" Tanya Pillow langsung.
Deg, jantung Rika bergetar dengan hebat. Dia tidak sanggup melihat sang anak terpuruk seperti sekarang. Senyum dan keceriaan yang selalu menghiasi hari-hari nya sangat sulit untuk didapatkan. Rika terbayang bagaimana Pillow begitu ceria setiap kali sang Ayah pulang bekerja.
"Jangan gini ya Nak, Ayah nggak suka Pillow nangis," balas Hasna dengan suara parau.
Pillow kembali menangis, "Kalau Ayah nggak suka, suruh Ayah pulang buat marahin Pillow Bu. Pillow mau Ayah pulang!!!
Rika menatap mata anaknya dengan tatapan sayu. Dia mengusap wajah sang anak secara perlahan, sakit rasanya menerima kenyataan ini. Tapi Rika tidak boleh lemah, karena Razan selalu berpesan padanya jika nanti dia sudah tidak ada maka sebisa mungkin sembunyikan identitas sang anak.
Beberapa hari yang lalu, Rika dan Razan sudah membahas ada hal aneh pada perusahaannya. Dia menemukan beberapa efek dari obat yang akan dibuat sehingga Razan bersikeras untuk menghentikan penelitian itu karena ada beberapa hal yang tidak baik.
"Pillow, Ayah pernah bilang bahwa pekerjaan Ayah memiliki resiko yang besar. Walaupun Ayah bisa memilih, maka dia akan memilih untuk tetap ada di tengah-tengah kita. Ayah nggak bisa milih, Ayah sudah waktunya untuk pulang ke tempat semestinya," jelas Rika.
"Seharusnya Ayah bawa kita Bu, Ayo kita susul Ayah," balas Pillow yang membuat hati Rika bertambah luka.
Rika menutup mulutnya karena tidak percaya apa yang sang anak katakan. Dia bisa saja mengiyakan ajakan itu tetapi otaknya masih sangat normal.
"Pillow!" Tegas Rika. Dia tidak mau larut dalam pikiran mereka sendiri.
Pillow langsung terdiam, dia tidak berani menatap sang Ibu.
"Ingat pesan Ayah, bagaimanapun yang terjadi kita harus tetap melanjutkan hidup!"
Pillow langsung menangis, dia mengangguk beberapa kali meskipun terasa sangat berat.
"Sekarang Pillow masuk kamar. Jenazah Ayah bakal datang. Jangan lupa," ujar Hasna sambil memegang wajahnya sendiri untuk mengingatkan sang anak memakai topeng. Rika sama sekali tidak akan percaya jika kasus kematian sang suami bunuh diri, pasti ada yang tidak beres. Dia langsung masuk ke dalam kamar untuk mencari petunjuk sebenarnya apa yang terjadi.
Keping-keping puzzle itu semakin tersusun untuk membentuk informasi. Rika ingat bahwa memang sang suami mendapat tentangan saat dia ingin penelitian obat baru dihentikan karena kandungan dalam obat dapat membahayakan tubuh manusia.
Apakah karena itu? pikir Rika sendiri. Belum larut dalam terlalu dalam. Rombongan orang membawa jenazah sang suami. Tangannya bergetar hebat melihat jenazah itu sudah berada di hadapannya.
"Maaf Bu, untuk menjaga psikis Anda kami menyarankan untuk tidak melihat membuka kain kafannya."
Rika tidak mengerti, kenapa dia tidak boleh melihat jasad sang suami untuk terakhir kali.
"Jenazah sudah dimandikan dan dipakaikan kain kafan sesuai dengan kepercayaan spiritualnya," lanjut orang itu lagi.
Rika akhirnya menyetujui untuk tidak melihatnya, tetapi dia semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Proses pemakaman terjadi dengan lancar. Pillow terus saja menangis, bahkan setelah pulang dari kuburan sang Ayah Pillow tetap menangis dalam pelukan Rika. Rika berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan sang anak sampai Pillow tertidur.
"Maaf Bu Rika, di kompensasi dari perusahaan atas masa abdi suami Anda selama ini."
Perwakilan perusahaan memberikan sejumlah cek dengan nominal yang cukup besar.
"Ada masalah apa di perusahaan sampai suami saya bunuh diri?" tanya Rika meminta penjelasan. Sampai saat ini dia sama sekali belum menemukan kejelasan terkait kematian sang suami.
"Kami tidak mengetahui dengan pasti, tetapi berdasarkan penyelidikan pihak berwenang dan hasil otopsi. Suami Ibu benar-benar meninggal karena bunuh diri."
Rika memejamkan matanya, dia yakin ada yang tidak beres yang terjadi.
"Kami ingin melihat ruang kerja suami Ibu karena ada hasil penelitian terakhir kali yang belum diberikan oleh Bapak,"
"Saya masih berduka, untuk urusan pekerjaan bisakah menunggu?" balas Rika tidak suka. Dia bisa membaca gerak-gerik orang-orang di depannya ini. Mereka begitu tidak sabar ingin masuk ke ruangan kerja sang suami. Apalagi soal Rika yang tidak diperbolehkan melihat jenazah suaminya sendiri secara keseluruhan. Dia hanya bisa melihat wajahnya saja.
"Oh baik Bu, Kami akan datang esok hari."
Rika mengangguk, perlahan kondisi rumah menjadi sepi karena mereka memang tidak memiliki kerabat di perkampungan itu. Beberapa tetangga juga sudah pulang ke rumah masing-masing.
Rika langsung masuk ke dalam ruang kerja sang suami. Dia mencari-cari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Lembaran-lembaran berserakan di lantai. Berjam-jam Rika mengobrak abrik semua yang bisa dijadikan sebagai pusat informasi. Waktu pun sudah sangat larut malam, Rika tidak bisa berhenti karena besok perwakilan perusahaan akan datang.
"Mas, apa yang sebenarnya terjadi?" ujar Rika sambil mengusap wajahnya berulang-ulang kali. Air mata itu kembali menetes lagi. Rika berdiam sejenak, mengingat-ingat apa yang dia dan suaminya bicarakan akhir-akhir ini.
Rika mengambil laptop Razan yang berada di lemari paling atas. Dia langsung membuka dengan menggunakan sistem deteksi mata. Laptop itu memang memiliki tingkat keamanan tinggi dan hanya bisa di buka oleh Razan dan juga Rika.
Rika langsung membukanya, dia mencari folder dimana dokumen-dokumen penting berada. Hanya dokumen-dokumen terkait hasil penelitian obat-obat 3 bulan yang lalu. Rika tidak berhenti sampai di situ, dia kembali mencari ke folder-folder yang lainnya. Di dalam laptop itu hampir seratus Folder yang tersusun rapi.
Saat koneksi internet pada laptop itu terhubung, ada beberapa email yang masuk. Rika langsung melihatnya. Dia membaca dengan teliti sampai matanya menangkap sesuatu yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak.
Dengan tangan gemetar Rika langsung menghapus semuanya email, dia juga membersihkan laptop itu untuk dikembalikan ke pengaturan pabrik. Wajahnya benar-benar pucat, Rika langsung mengunci semua pintu rumah dan menutup gorden sehingga tidak ada yang bisa melihat dirinya dari luar.
Rika mengintip sejenak dari jendela, ada yang aneh karena tidak jauh dari rumahnya ada satu mobil yang terparkir. Selama ini tidak ada mobil yang terparkir di sana dan baru pertama kali.
Rika melihat dengan teliti, mobil itu seperti mengawasi rumah mereka apalagi ada beberapa orang yang keluar. Jujur saja Rika merasa sangat takut.
Dia langsung menuju ke kamar sang anak, "Pillow!" panggil Rika pelan.
Pillow bergeliat karena tidurnya terganggu.
"Bangun dulu," ujar Rika dengan suara pelan. Pillow langsung bangun, wajahnya sangat kusut karena tidur seharian.
"Dengerin Ibu!" Lanjut Rika dengan suara bergetar. Dia benar-benar takut sekarang. Jika Pun mereka berhasil lari pasti tidak akan dilepaskan begitu saja. Setidaknya Pillow bisa menjalani hidup seperti remaja normal.
"Ibu kenapa?" tanya Pillow. Dia merasakan tangan sang Ibu sangat dingin sekali.
"Di luar ada orang asing yang dari tadi lihat ke rumah kita, sekarang kondisi nggak aman Nak," jalas Rika. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan agar sang anak bisa mengerti.
"Mereka ngincar kita?" tanya Pillow.
Rika mengangguk, "Jika Pillow sayang sama Ayah dan Ibu maka tolong ikuti apa yang Ibu suruh."
"Maksud Ibu gimana?"
"Pillow keluar dari sini tanpa menggunakan topeng lewat pintu belakang, bawa tas ini."
"Nggak mau, Aku mau sama Ibu. Aku nggak mau kemana-mana."
"Pillow!!!" tegas Rika yang membuat sang anak langsung kaget.
"Dengerin Ibu, hidup dalam kejaran itu nggak enak. Di dalam tas ini ada uang dan identitas baru kamu yang udah dipersiapkan oleh Ayah. Ibu mohon, tolong pergi menjauh dari sini. Ibu nggak mau kamu kenapa-kenapa." Rika tidak bisa membendung air matanya lagi.
"Kita bisa pergi berdua Bu," cicit Pillow.
"Mereka nggak bakal melepaskan kita Nak, Selama ini Ibu tidak pernah minta tolong sama kamu. Sekali ini ikuti apa yang Ibu mau."
Rika mendekap anaknya dengan erat. Pillow sudah menangis di pelukan Rika.
"Nggak ada waktu lagi, sekarang kamu keluar dari pintu belakang. Sembunyi dulu di dalam semak-semak itu. Di sana Ayah udah buat pondok kecil. Jangan khawatir disana Pillow akan aman malam ini. Nanti kalau sudah siang, pergi ke kota dan hiduplah dengan layak. Cari rumah yang bagus. Uang ini cukup untuk kehidupan kamu kedepannya. Jangan mudah percaya sama orang, Ibu hanya ingin kamu hidup dengan normal. Jangan pernah bilang kalau kamu anak Ayah dan Ibu siapapun yang bertanya."
Pillow tidak ingin meninggalkan Ibunya sendiri, dia masih enggan untuk pergi.
"Ibu minta tolong Nak, Ibu minta pergi sekarang!"
"Pergi!!!"
"Pillow nggak mau Bu, kita bisa mati sama-sama."
"Pillow, nanti kalau kamu dewasa akan ngerti. Tolong sekali ini, kalau kamu sayang sama Ibu dan Ayah keluar sekarang. Kalau enggak, jangan panggil kami Ayah dan Ibu lagi."
Mata Pillow melotot, dengan berat hati dia menyetujui keinginan sang Ibu.
"Ibu dan Ayah sayang sama kamu, Maaf karena sudah buat kamu menderita selama ini. Maaf hidup Pillow penuh dengan kepalsuan. Tetapi setelah hari ini, Pillow akan bebas dan bisa hidup seperti remaja lain. Jaga diri baik-baik. Nanti kalau kondisi sudah aman, Ibu akan menyusul," ujar Rika.
"Janji Ibu nyusul?"
Rika mengangguk sampai tersenyum. Dia memandang wajah sang anak, rasa bersalah itu hadir dengan sendirinya. Rika mencium dan memeluk anaknya untuk terakhir kali.
"Pillow sayang Ayah sama Ibu," ujar Pillow sambil menyeka air matanya.
Rika tersenyum. Pillow langsung keluar dari rumah itu. Di belakang rumah Rika memang ada jurang dan juga semak belukar. Tetapi Razan sudah mempersiapkan segalanya, dia membuat jalan yang hanya diketahui mereka bertiga saja.
Dengan tangan bergetar hebat, Rika langsung berjalan ke sumur samping rumah. Dia akan membuat seakan-akan sudah membunuh sang anak sendiri. Dia memasukan baju sang anak di dalam sumur serta mengambil bangkai tikus untuk dimasukan ke dalam sumur itu akan ada bau bangkainya.
Pukul 3 pagi, Rika mendengar suara kaki yang mulai mendekat. Rika berpura-pura tidak tahu dan dia sudah memegang pisau di tangannya sendiri.
Mulut Rika dibekap dari belakang, dia sudah memberontak agar segera dilepaskan. Sekuat apapun tenaga Rika dia tidak bisa melawan. Ada hampir 5 orang yang masuk ke dalam rumah itu. Rika di ikat di kursi.
"Apa yang kalian mau?" teriak Rika. Tidak akan ada yang mendengar Rika berteriak karena jarak rumah di kampung itu sangat jauh.
"Dimana Razan meletakkan berkas-berkas pentingnya?"
"Berkas apa yang kalian maksud?" tanya Rika pura-pura tidak tahu.
Salah satu diantara mereka mengeluarkan pisau dan mengarahkan ke wajah Rika. Air mata Rika tidak terbendungkan lagi.
"Jangan pura-pura tidak tahu," bentaknya.
"Dimana berkasnya?" sentaknya lagi.
Rika memilih bungkam. Mereka mengobrak-abrik rumah. Bahkan laptop juga mereka ambil.
"Dimana Razan menyembunyikannya? Jika tidak menjawab, kami akan membunuh kamu!"
"Cari anaknya!"
"Tidak perlu kalian mencari, lebih baik anak saya mati di tangan saya sendiri daripada kalian ambil untuk dijadikan kelinci percobaan," balas Rika membuka mulut.
"Bos!" ujar salah satu sambil menunjuk darah yang mengarah ke sumur.
"Aisss seharusnya anak itu tidak boleh mati," teriak mereka.
"Bos dia tenggelam di sumur," ujar mereka.
"Kemana berkas itu?"
"Saya tidak tahu," jawab Rika. Mereka menggores pipi Rika dengan pisau sampai mengeluarkan darah. Rika berusaha menahan sakit.
"Masih tidak mau bilang?"
Rika kembali bungkam. Mereka langsung menampar Rika berulang-ulang kali agar mau memberitahu dimana letak berkas hasil penelitian terakhir dari sang suami.
Semua badan Rika hancur karena dipukul, bahkan ada 3 tusukan pada tubuhnya. Darah sudah mengalir kemana-mana.
"Dia sudah tidak bernyawa Bos," ujar satu di antara mereka saat memastikan nafas nya masih ada atau tidak.
"Buang ke jurang,"
Mereka membuang tubuh Rika ke jurang dan Pillow melihat itu dengan jelas. Dia menahan diri untuk tidak bersuara. Dalam hati Pillow sudah berteriak memanggil Ibunya.
"Untung saja Anaknya sudah mati, tidak menambah pekerjaan kita."
"Cepat kembali, kita harus pergi sebelum matahari terbit. Nanti polisi akan datang dan memberitakan bahwa kasus ini adalah murni bunuh diri karena frustasi ditinggal suami meninggal."
Mereka langsung pergi dari tepi jurang. Pillow tetap menunggu sampai siang datang barulah dia akan keluar atas permintaan sang Ibu.
Sekarang Pillow tinggal sendiri, kedua orang tuanya sudah meninggal. Pillow hanya bisa menangis dalam diam. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan kedepannya, yang jelas dia harus menjalankan apa yang Ibunya katakan. Pillow sudah tidak memakai topeng lagi, dia akan ada yang mengenal dirinya karena selama ini dia kemana-mana selalu memakai topeng itu.
Saat matahari terbit, Pillow langsung masuk ke dalam rumah. Semuanya berantakan, noda darah ada dimana-mana. Dia tidak bisa berlama-lama disana karena pasti akan ada orang yang datang nantinya.
"Maaf kan Pillow Yah, Bu. Pillow akan hidup dengan baik sesuai dengan keinginan Ayah dan Ibu."
Pillow langsung pergi dari sana, selama ini dia tidak pernah keluar dari kampung itu. Kehidupan kota sama sekali tidak dia tahu. Dia hanya bisa berjalan untuk mencari petunjuk.
Di dalam tas lusuh itu ada uang dan juga laptop miliknya. Pillow langsung mencari tempat makan agar bisa mencari informasi. Beruntung setelah hampir 30 menit berjalan, Pillow bisa menemukan sebuah kedai kecil.
"Bu, lontong sayurnya satu," ujar Pillow.
"Oke Dek,"
Pillow langsung membuka laptopnya. Dia mencari beberapa informasi untuk bisa menuju ke kota. Dia tidak mungkin hanya berada di jalanan saja, apalagi membawa uang yang sangat banyak. Pillow akhirnya mengerti, semua sudah sangat dipersiapkan oleh Ayahnya. Sang Ayah sudah tahu bahwa pekerjaannya suatu saat akan mengancam nyawa.
Ternyata ada bekas darah yang menempel di bajunya, lagi-lagi air matanya mengalir karena mengingat kematian Ayah dan Ibunya sangat mengenaskan.
"Kamu kenapa nangis nak?" tanya Ibu-ibu pemilik kedai itu.
Pillow langsung menghapus air matanya, "Saya ketinggalan rombongan ke Kota Bu."
"Aduh, mau ke kota mana?"
Pillow menggaruk kepalanya, dia juga bingung akan ke kota mana. Supaya tidak ada yang curiga dia asal menyebut nama kota saja, "Kota X Bu."
"Kebetulan sekali, anak Ibu yang bekerja di kota X akan pulang ke sana. Kamu ikut rombongannya saja bagaimana?"
Mata Pillow berbinar-binar, "Boleh Bu?"
"Boleh, emang di sana ada siapa?"
"O-orang tua saya Bu," jawab Pillow berbohong. Dia sama sekali tidak mau berbohong tetapi keadaan memaksanya demikian. Bayangkan saja dia masih anak yang berumur 15 tahun. Jangan sampai ada yang mengira dia kabur dari rumah. Dia harus segera sampai ke kota agar bisa mencari tempat tinggal yang layak.
Setelah makan Pillow langsung masuk ke dalam mobil. Beruntung anak Ibu-Ibu pemilik kedai itu baik sehingga dia tidak terlalu banyak bertanya kepada Pillow. Perjalanan yang ditempuh Pillow untuk sampai ke pusat kota adalah 6 jam. Dia sama sekali tidak tidur, sepanjang jalan ia selalu terbayang wajah Ayah dan Ibunya.
Kejadin itu amat membekas pada diri Pillow, ia seringkali bermimpi buruk. Sampai detik ini Pillow masih ingat wajah orang-orang yang membunuh Ibunya dengan keji.