Pillow

1594 Words
Lingkaran hitam makin terlihat di sekitar mata laki-laki berusia 28 tahun. Dia adalah Pillow, seorang CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi. Perusahaan itu bernama R2 solutions dan sudah berdiri selama 8 tahun. Pillow mulai mendirikan perusahaan saat usianya masih sangat muda. Dia kembali hidup di ibukota dengan identitas baru. Kedua orang tuanya yaitu Rika dan Razan sudah mempersiapkan kehidupan Pillow agar tetap berjalan dengan baik meskipun tanpa mereka. "Apa Bapak tidak bisa tidur lagi?" tanya salah satu sekretaris yang sudah bekerja kurang lebih selama tujuh tahun. Namanya adalah Nevan, usianya tidak jauh berbeda dengan Pillow. Pillow memijat sebentar pangkal hidungnya, rasa sakit pada kepalanya kembali muncul. Sudah 2 butir obat tidur yang Pillow konsumsi, tapi sampai sekarang ia tidak kunjung menyapa alam mimpi walaupun hanya sebentar saja. Apa keadaan dirinya semakin memburuk? Mungkin saja, buktinya ia sudah tidak tidur selama 2 malam. Apa ada manusia yang tidak tidur sedikitpun selama 2 hari 2 malam? Hal ini selalu Pillow pertanyakan karena dia bisa tidak tidur sedikitpun selama itu, bahkan lebih dari itu. "Pak," cicit Nevan sedikit takut. Jika suasana hati sang atasan sedang buruk, maka dia akan menjadi objek yang cukup dirugikan. Meskipun begitu, Nevan tetap bertahan sampai detik ini. Dia tidak akan menjadi manusia yang tidak tahu diri karena melupakan seluruh jasa-jasa orang yang sudah membantu dirinya. Nevan cukup tahu diri, bahkan berkorban nyawa pun untuk Pillow dia tidak masalah. Mata yang awalnya tertutup, perlahan-lahan terbuka. Tatapan Pillow terkesan tajam, bahkan beberapa orang memilih untuk menghindar dari tatapan tersebut. Nevan yang setiap hari berhadapan dengan tatapan tajam sang atasan hanya bisa menerima dengan lapang d**a. Ia tidak bisa menghindar seperti orang lain. "A-apa saya melakukan kesalahan, Pak?" tanya Nevan dengan hati-hati. Tatapan sang atasan tidak seperti biasa dan Nevan bisa mengetahui hal tersebut dengan mudah. "Cari dokter lain," tegas Pillow sambil melempar butiran pil ke arah Nevan. "Ta-tapi Dokter Kino bukan dokter sembarang-" "Cari dokter lain!" Pillow mengatakan dengan sangat tegas. Bahkan urat lehernya terlihat sangat jelas. Nevan meneguk air ludah dengan susah payah, jika sudah begini dia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Lebih baik segera mematuhi perintah daripada membahayakan dirinya sendiri. Nevan memang tidak pernah disakiti secara fisik, namun aura intimidasi Pillow terlalu besar. Nevan hampir kehilangan keseimbangan saat berjalan ke luar ruangan. Langkah kakinya menjadi berantakan karena sang atasan. Sesampainya di luar ruangan, Nevan mengelus d**a berulang-ulang kali. Sebuah sapu tangan langsung terulur tepat di depannya, ia melihat siapa yang mengulurkan sapu tangan tersebut. "Dia tidak akan memakan kamu, Nevan." Suara tawa kecil bahkan dapat Nevan dengar. Jika dipikir-pikir, celetukan yang baru saja ia dengar bukan hanya sekali ini namun berkali-kali. Orang yang mengulurkan sapu tangan itu adalah Dika. Hubungan Dika dan Pillow sangat dekat layakan saudara kandung. Mereka berdua berusaha sekuat tenaga untuk mendirikan perusahaan R2 solutions ini. Meskipun begitu, watak Dika dan Pillow sangat berbeda. Bahkan banyak karyawan yang menginginkan Dika menjadi CEO perusahaan ini bukan malah Pillow yang auranya sangat menakutkan. "Saya tahu Pak," balas Nevan sambil mengambil sapu tangan tersebut. Keringat yang bermunculan langsung hilang karena susunan benang lembut yang tersapu dengan perlahan-lahan. "Jika tahu, kenapa kamu masih saja ketakutan seperti ini?" tanya Dika sambil bersandar di dinding. Setelah memberikan sapu tangan, kedua tanganya langsung masuk ke dalam kantong celana. Nevan menatap Dika dengan raut wajah pucat. "Aura Pak Pillow sangat menakutkan," ucap Nevan. Setiap kali Dika bertanya soal ini, pasti jawaban Nevan tidak pernah berubah. "Saya bosan mendengar jawaban yang selalu saja sama," ujar Dika sambil mencongkel telinga dengan jari tangan. Nevan menutup mulutnya karena merasa bersalah telah mengecewakan atasan kedua di perusahaan ini. "Maaf maaf Pak." Nevan hanya bisa menunduk dalam. Dika tersenyum tipis, namun hanya sebentar saja karena wajahnya kembali serius walaupun tidak seserius Pillow. "Sudahlah," lontar Dika. Ia tidak ingin bermain-main lagi dengan Nevan yang sudah kehilangan separuh tenaga. Berhubung kondisi tubuh Nevan perlahan-lahan membaik, ia tidak boleh menunda waktu untuk mencari dokter yang sesuai dengan sang atasan. "Kalau begitu, saya pamit dulu Pak." "Kemana?" tanya Dika. "Pak Pillow menyuruh saya mencari dokter," jawab Nevan. Otaknya mulai mencari cara untuk menemukan dokter yang cocok dengan sang atasan. Sebenarnya Nevan sudah buntu mengenai hal ini. "Bukankah baru kemarin dia bertemu dengan dokter Keno?" Dika cukup mengenal dokter Keno walaupun dari media-media saja. Dia termasuk dokter yang kompeten di bidang psikiater. Nevan menghela nafas panjang. Wajahnya masih saja kusut seperti kain yang baru saja diangkat dari jemuran. "Tidak cocok Pak," jawab Nevan. Dika geleng-geleng kepala. "Baru satu malam dan dia sudah mau mengganti dokter lagi?" Nevan mengangguk ragu. "Kalau mau bicara tentang saya, jangan di belakang tapi di depan saya secara langsung!" suara tegas tiba-tiba datang. Siapa lagi kalau bukan Pillow karena mendengar suara yang cukup mengganggu dirinya. Nevan semakin pucat, dia berlindung di belakang Dika layaknya anak kecil. Dika sempat-sempatnya mengupil di momen yang menakutkan bagi Nevan. "Apa Pak Pillow akan pecat saya, Pak?" tanya Nevan dengan suara pelan. "Tenang saja, dia tidak akan memecat kamu." Nevan menatap Dika seperti seorang pahlawan, pantas saja semua karyawan menyukai sosok Dika. "Silahkan pergi," lanjut Dika lagi. Nevan mengangguk mantap, ia langsung mengambil langkah besar agar tidak kembali berhadapan dengan Pillow. Dika menguap, dia tidak terkejut dengan pintu ruangan Pillow yang tiba-tiba saja terbuka. Semua arsitektur bangunan perusahaan dirancang langsung oleh Pillow, jadi jangan tanya bagaimana kecanggihan yang terpasang di perusahaan ini. "Semua butuh proses, nggak ada yang langsung instan," ujar Dika dengan niat menyindir. Pillow menatap Dika dengan tatapan malas. Dia tidak ingin berdebat hanya karena masalah yang sebenarnya tidak terlalu penting atau besar. "Jika ada yang instan kenapa harus bersusah payah menikmati proses," balas Pillow. Dika tertawa kecil. "Terserah lo!" ucapnya malas. "Ada hal apa sampai lo datang ke perusahaan sepagi ini?" tanya Pillow. Sekarang masih pukul enam lewat tiga puluh tujuh menit dan Dika bukan orang yang memiliki cinta besar terhadap perusahaan sehingga datang lebih cepat. "Biasa," jawab Dika santai. Ia langsung membaringkan tubuh di atas sofa. "Cewek mana lagi?" Pillow tidak pernah mengerti dengan orang-orang yang mengejar Dika. "Gue bilang lo juga nggak akan tau," ucap Dika. Ia sudah sangat mengantuk karena tidak puas tidur. "Kalau lo nggak mau ya tinggal bilang." Dika melipat kedua tangan dan dagunya berada di atas lipatan tangan tersebut. "Gue nggak sejahat lo yang nolak perempuan secara sadis." "Gue nggak mau banyak drama kayak hidup Lo." Pillow beranjak dari kursi kebesaran yang selalu ia duduki ketika bekerja. Punggungnya terasa sedikit sakit karena terlalu lama duduk. "Hidup Lo juga banyak drama," lirih Dika dengan suara yang hampir hilang. Tidak lama setelah itu, Dika sudah berada di alam mimpi. "Menurut Lo, bagaimana kalau perusahaan mengeluarkan produk baru?" tanya Pillow. Semalaman ia malah terpikir untuk mengeluarkan produk baru lagi. Padahal baru beberapa bulan yang lalu perusahaan mengeluarkan produk baru dan sukses besar. Pertanyaan Pillow terhembus begitu saja karena tidak mendapat jawaban dari Dika sama sekali. Pillow membalikkan badan untuk melihat. Dia tersenyum kecut, entah kenapa orang begitu mudah untuk tidur sedangkan dia malah sebaliknya. Sudah bertahun-tahun lamanya dan semakin hari semakin buruk. Pillow sangat mengerti kondisi tubuhnya, namun dia juga tidak membiarkan begitu saja. Berbagai usaha sudah Pillow lakukan tapi belum mendapatkan hasil yang diinginkan. Sakit kepala Pillow makin menjadi-jadi, ia mengambil obat yang khusus untuk menghilangkan sakit kepala. Kali ini dia mengkonsumsi sebanyak dua butir padahal tidak sesuai dengan anjuran dokter sama sekali. "Sampai kapan?" lirih Pillow sambil menatap langit-langit ruangan. Dia juga lelah karena tiada hari tanpa mengkonsumi obat. Sakit-sakit di beberapa bagian tubuh juga semakin menjadi-jadi. Pukul delapan pagi, suasana perusahaan mulai ramai dengan karyawan yang berdatangan untuk bekerja. Pillow menatap Dika sejenak, ia ingin membangunkan sang teman tapi tidak tega. Akhirnya Pillow memilih untuk turun ke lantai bawah. Mencari udara segar sepertinya akan lebih baik untuk sekarang. Penampilan Pillow sekarang sangat jauh berbeda ketika duduk di kursi kebesaran di dalam ruangan miliknya. Dia tidak ingin menciptakan keributan dengan kemunculan secara tiba-tiba di depan karyawan. Pillow akui hampir seluruh karyawan tidak menyukai dirinya karena sikapnya terkesan arogan, menakutkan dan sejenisnya. Pillow tidak peduli, ia tidak perlu pandangan orang lain untuk menjalani hidup ini. "Selamat pagi Pak," sapa Yuno dengan sopan. Dia adalah sekretaris kedua Pillow. "Pagi," jawab Pillow dengan wajah datar. "Jika Pak Dika mencari, bilang saja saya keluar sebentar," ucap Pillow lagi. "Baik Pak." Pillow turun ke lantai bawah. Kali ini dia menggunakan lift karyawan bukan lift khusus yang sering ia dan Dika gunakan. Beberapa orang hanya menatap Pillow tanpa tahu siapa sosok dibalik masker ini sebenarnya. Meskipun begitu, tidak ada satupun Karyawan yang mendatangi Pillow untuk bertanya siapa dirinya. Sebesar apapun penasaran mereka, tetap saja tidak ada yang mau mencampuri urusan orang lain. Pillow berjalan dengan santai, dia keluar untuk membeli kopi dan juga sarapan pagi. Saat membeli kopi, ia berada di belakang seorang perempuan. Pillow tidak terlalu tertarik dengan urusan orang lain, namun suara sang perempuan cukup mengganggu dirinya. Pillow menahan diri, jangan sampai mulut pedas dengan cabe sepuluh kilo berucap begitu saja. "Halo Ti, gue lagi di cafe beli kopi." "..." "Lo udah masuk?" "..." "Oke gue langsung ke sana." Ketika perempuan itu berbalik ke belakang, kopi yang ia bawah malah tumpah mengenai pakaian Pillow. Entah bagaimana bisa menjadi seperti drama begini. Pillow bahkan sudah mengepalkan tangan agar tidak lepas kendali. "Aduh Mas, maaf-maaf." Perempuan itu langsung meminta maaf. "Ti-" "Ini uang untuk laundry baju yang sudah saya kotori ini. Saya sedang buru-buru Mas, sekali lagi saya minta maaf," potong perempuan itu. Ia langsung pergi begitu saja. Selembar uang berwarna hijau berada di tangan Pillow. Wajahnya sangat merah karena menahan amarah. Aura Pillow makin menakutkan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun Pillow mencoba untuk menenangkan diri agar tidak bertindak menakutkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD