Bertemu

1012 Words
Hampir satu jam Pillow gunakan untuk menikmati hiruk pikuk perkotaan di pagi hari. Ternyata berjalan-jalan santai tidak kunjung membuat dirinya lebih baik. Sebelum kembali ke dalam ruangan, Pillow memutuskan untuk duduk di taman yang disediakan oleh perusahaan. Pillow membuat fasilitas taman agar seluruh karyawan bisa bersantai dikala pekerjaan sedang menumpuk. Berhubung sudah pukul sembilan pagi, maka suasana taman cukup sepi. Hampir seluruh karyawan berada di meja kerja mereka masing-masing untuk menyelesaikan pekerjaan yang diberikan. Pillow menghirup udara tanpa terhalang apapun karena masker yang ia gunakan sudah berada di bawah dagu. Pillow tidak perlu berlama-lama di taman, hanya butuh beberapa menit saja. “Sumpah ya Ti, gue nggak ngerti sama jalan pikiran orang-orang di perusahaan ini.” Suara tiba-tiba saja bermunculan. Pillow bahkan mengenal suara itu karena belum lebih dari satu jam yang lalu ia mendengarnya. Dua perempuan mulai mendekat ke arah Pillow, namun mereka memiliki jarak seakan tidak memperdulikan hal-hal yang lain. “Niat kita baik, eh malah ditolak mentah-mentah tanpa mendengarkan penjelasan lebih dulu.” “Yang punya sama karyawannya nggak jauh beda, sama-sama nggak punya hati.” Pillow tidak bodoh untuk memahami situasi yang terjadi. Menjelekkan dirinya bukan hal yang baru karena sudah banyak orang yang melakukan itu. Namun mendengar secara langsung seperti ini entah kenapa membuat Pillow ingin tertawa. Pillow masih mempertahankan posisi seakan tidak peduli namun dia masih bisa mendengar pembicaraan dua wanita yang ada di dekatnya. Lirikan mata Pillow melihat bahwa sekarang hanya ada satu wanita, sedangkan yang satunya sudah pergi. Pilloe tersenyum miring. “Anak muda zaman sekarang lebih banyak buka mulut yang isinya sampah,” cicit Pillow pelan. “Eh Mas, bukannya yang tadi di cafe ya?” Berhubung perempuan itu tidak memiliki lawan bicara lagi, maka pandangannya mengarah ke beberapa arah sehingga menemukan keberadaan Pillow. Pillow tidak menjawab, ia masih fokus melihat jalan raya yang dipenuhi oleh pengguna jalan. Masker yang awalnya berada di dagu, sekarang masker tersebut sudah berada di tempat semestinya sebagaimana fungsi dan kegunaan benda itu. “Maaf banget soal kejadian di cafe tadi, saya buru-buru sehingga tidak bisa meminta maaf secara baik-baik dan terkesan buru-buru.” Lagi lagi Pillow memilih diam. Dia terlalu malas untuk berbicara. “Mas,” ujar perempuan itu. “Tidak masalah,” balas Pillow pada akhirnya. Jika ia tidak kunjung menjawab maka perempuan di sampingnya ini tidak akan berhenti untuk mengajakkan berbicara. “Oh ya, Mas karyawan di sini?” tanyanya. “Bukan.” “Bagus kalau bukan.” Sebenarnya Pillow tidak ingin melanjutkan obrolan karena tidak penting dan buang-buang tenaga saja. Namun respon yang diberikan oleh perempuan penumpah kopi ini mampu membuat Pillow sedikit penasaran. “Kenapa?” tanya Pillow meminta penjelasan. “Orang-orang di perusahaan ini sangat tidak punya hati, padahal saya hanya mau memperlihatkan proposal produk tapi tidak diterima.” “Mungkin proposal itu tidak menarik,” ujar Pillow berusaha bersikap sebiasa mungkin. “Bagaimana tahu tidak menarik jika mereka tidak mau melihat atau mendengarkan penjelasan dari saya.” “Pantas saja CEO nya dibilang kejam, ternyata karyawannya juga sama,” ucap perempuan itu lagi. Pillow memejamkan mata sebentar. “Kamu belum bertemu dengan CEO nya, bagaimana bisa tahu jika dia kejam?” “Banyak yang sudah tahu bagaimana kejamnya Pak Pillow itu. Membayangkan saja sudah sangat mengerikan. Bayangkan ya Mas, ia tidak akan segan-segan memecat karyawan hanya karena masalah sepele. Teman saya saja dipecat karna tidak sengaja memberikan file yang salah,” jelasnya. “Hanya itu saja?” “Tidak, masih banyak lagi. Pokoknya jangan sampai Mas kerja di perusahaan ini deh. Cuma bikin mental hancur. Lebih baik lingkungan pekerjaan yang baik walaupun gaji tidak terlalu banyak.” “Siapa teman Anda itu?” Pillow sedikit penasaran. Apa pernah ia memecat karyawan karena masalah sepele? Pillow tidak begitu ingat. “Vivian, ah dibilangpun Mas nggak bakal kenal.” “Baiklah, semoga hari-hari Anda menjadi lebih baik.” Pillow berlalu lalang dari sana. Dia kembali ke dalam ruangan dengan santai. Baru satu langkah memasuki ruangan, sebuah bantal petak langsung menyapa dirinya. Namun Pilllow dapat menangkap bantal tersebut dengan sangat ahli. Dia bisa melakukan ini karena terbiasa. Bayangkan saja Dika selalu melempar dirinya dengan bantal atau sesuatu yang terasa tidak terlalu berbahaya. “Gue lapar,” ucap Dika dengan wajah bantal. “Ya udah makan.” Pillow menjawab dengan santai “Mana makanannya?” Dika melihat meja yang masing kosong. Tentu saja Pillow tidak membawa sarapan pagi ke dalam ruangan dengan tidak sengaja. Sama sekali bukan karena dirinya sanvat sengaja tidak membelikan Dika sarapan. “Nggak punya hati banget jadi manusia,” gerutu Dika. Dia mengambil ponsel yang ada di atas meja. Dika menghubungi salah satu orang kepercayaannya agar bisa menolong dirinya untuk bisa membelikan sarapan. “Manja,” ucap Pillow. Membeli sarapan di bawah tidak akan menghabiskan seluruh tenaga, namun Dika tidak ingin melakukan itu. Dia juga tidak peduli dengan perkataan yang keluar dari mulut Pillow. *** “Akhhhh.” Teriakan tidak bisa ditahan lagi karena Zia sudah menahannya sekuat tenaga. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan terkenal dan propesional bisa memberikan keputusan tanpa melihat, membaca atau bahkan mendengar sesuatu yang seharusnya di dengar sebelum memberikan keputusan. Zia adalah seorang perempuan yang berusia 24 tanun. Sejak lulus kuliah ia tidak langsung terjun ke dunia kerja sesungguhnya. Zia memilih untuk menjadi freelencer baik editing video, copy writing dan lainnya. 2 tahun ia merasa nyaman dengan zona tersebut karena tidak perlu menghadapi manusia secara langsung. Namun ia memiliki mimpi untuk membangun sebuah aplikasi yang dapat berguna bagi orang lain. Membangun bukan perkara sulit, namun mengembangkan bukan hal mudah. Zia memerlukan modal yang cukup besar sehingga memilih jalan lagi. Ide aplikasi yang ingin Zila bangun tertuang dalam sebuah proposal. Ia berharap ada perusahaan yang menerima ide tersebut, namun sampai sekarang tidak kunjung ada. “Apa ide ini terlalu buruk?” tanya Zia sendiri di sebuah tamat. Mendapat penolakan membuat hati Zia sedikit kecewa. Jika memang idenya buruk, setidaknya mereka membaca dan melihat lebih dulu. Zia menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini hidupnya seakan tidak berjalan dengan baik. Apalagi sebelum datang ke perusahaan, Zia malah menumpahkan kopi sehingga mengenai pakaian orang tersebut. “Ternyata berat juga,” lirih Zia lagi.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD