1

1194 Words
Kesempatan kedua. Selama ini aku tidak percaya semua manusia mendapat pencerahan. Setidaknya aku tidak percaya bila aku mungkin diberi kesempatan hidup kedua. Penyakit yang selama ini menggerogoti tubuhku makin garang. Obat dan terapi tidak membantu penyembuhan. Seolah monster rakus terus menggigit secuil demi secuil kesadaranku hingga akhirnya aku menyerah.  Jangan tanya neraka atau surga. Aku tidak tahu. Memori yang bisa kuingat ialah rasa sakit luar biasa. Seluruh tubuh terasa berat. Sangat berat. Gelap. Kukira aku akan langsung dilempar ke mulut neraka, tapi.... “Nona Alina, apakah hari ini Anda ingin jalan-jalan?” Terbangun sebagai orang lain! Duduk di depan cermin rias, membiarkan pelayan menyisir rambutku. Tangan-tangan ramping mulai mengepang rambut yang merahnya menyerupai kelopak mawar. Dia memilih pita hijau yang serasi dengan gaunku.  “Tolong kepang rambutku secantik mungkin.” “Nona, tanpa kepang pun Anda memang cantik.” Segalanya kulewati dari nol. Bayi hingga usiaku menginjak angka sepuluh. Bila ini kehidupan kedua, maka beruntungnya aku masih bisa mengingat pengalaman hidup sebelumnya. Bahasa, adat, keluarga. Semua berbeda jauh dari kehidupan lamaku. Di sini aku terlahir sebagai anak tunggal dari bangsawan Joseph dan Inocia. Seluruh ketidakmungkinan yang tidak bisa kumiliki kini kudapatkan. Kulit putih mulus. Hidung mancung. Mata cokelat madu. Terlalu indah. Jelas mustahil!  Akan tetapi, masalah terbesar bukanlah reinkarnasi menjadi cantik melainkan aku terlahir sebagai tokoh jahat dalam novel! Novel romansa percintaan murahan. Alina, tokoh antagonis, iri kepada Yuna, si tokoh utama. Walau memiliki segalanya, tetapi ia tidak rela Yuna mendapat perhatian pangeran mahkota dan penyihir rupawan. Parahnya, Alina sangat jahat. Dia tidak segan menyakiti siapa pun. Keserakahan melahirkan monster haus darah dalam diri Alina. Tipu muslihat, siasat busuk, dan segala jebakan ia kerahkan guna melukai Yuna. Meskipun telah melakukan segala usaha yang bisa ia upayakan, di akhir cerita dia dipaksa minum racun. Tamat. “Sudah selesai. Nona, Tuan dan Nyonya menunggu Anda sarapan bersama.” Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas menuju ruang makan. Joseph duduk di ujung meja, di samping kanan duduklah Inocia. Mereka tengah menikmati roti dan langsung tersenyum begitu melihat putrinya.  Andai bisa berkata, “Maaf, aku bukan putrimu. Jiwa putrimu yang asli entah berada di mana.” Maka, sudah pasti mereka akan membawaku kepada pendeta. Mereka akan menganggapku tidak waras. “Alina, duduk di samping Ibunda.” Dibantu pelayan aku duduk di dekat Inocia. Sama sepertiku, Inocia memiliki rambut merah mawar. Wanita ramping itu tampak cantik dalam balutan gaun ungu muda. “Bolehkah aku jalan-jalan?” “Setelah kau menghabiskan sarapanmu,” kata Joseph.  Kuhabiskan sarapan yang dihidangkan pelayan. Omong-omong, berpura-pura sebagai anak kecil ternyata melelahkan. Harus tersenyum saat bertemu siapa pun. Pasang wajah manis.  Aku berencana memperpanjang hidup. Tidak perlu cinta. Aku tidak butuh cinta bertabur tragedi. Terima kasih. Biarkan Yuna mendapat pangeran mahkota. Dia bisa memiliki lelaki mana pun. Misiku hanya satu: Bertahan hidup. “Selesai!”  “Anak Nakal,” kata Inocia. Dengan lembut ia bersihkan sisa makanan di pipiku. Inocia, kali ini putrimu akan berbakti dan berjanji tidak akan menjadi antagonis biadab. Aku akan berusaha melindungi reputasi keluarga. “Nox akan menemanimu.” Tak lama kemudian datanglah bocah lelaki yang usianya lima tahun di atasku.  “Nox, tolong temani Alina.” “Baik, Tuan.” Nox. Rambut pirang emas dengan mata berwarna lavendel. Beberapa tahun kemudian dia akan menjadi salah satu penyihir sekaligus pengagum Yuna. Iya, kalian tidak salah tebak. Dia merupakan penyihir ganteng yang kumaksud. Alina di novel senang menindas Nox. Dia bahkan mempermalukan Nox karena status yatim piatu. Sungguh Alina bodoh, seharusnya dia berhati-hati karena di kemudian hari Nox-lah yang menyarankan hukuman mati kepada pangeran.  “Nox!” Tanpa ragu aku menyerbu Nox, ehem maksudku memeluk Nox. Siasat satu, berusaha menjadi teman Nox. Wahai penyihir masa depan, mari kita jadi sahabat. Tolong kita akhiri plot tragis bertabur pedih. Mulai saat ini kita tulis ulang cerita. Tidak perlu ada pembunuhan. Aku akan dengan sukarela melepasmu kepada Yuna.  “Ayo main.” Kugenggam tangan Nox dan kami pun berderap menuju taman.  Keluarga Alina sungguh luar biasa kaya. Di duniaku mungkin orang akan mengira kediaman Joseph merupakan istana padahal ini masih belum ada apa-apanya dibanding bangunan lain. Distrik sihir, distrik perdagangan, distrik akademisi, kawasan bangsawan, pemukiman jelata, istana, dan semua tempat mengesankan lainnya.  “Nona, pelan-pelan.” “Nox, kebun apel. Kebun apel!” Udara terasa segar setiap kali menghela napas. Burung-burung berkicau riang menyambut kedatangan kami. Aneka mawar tumbuh subur di dekat dinding bata hitam. Rumput hijau membentang sejauh mata memandang.  Kebun apel. Sebenarnya hanya ada sebatang pohon apel. Tapi, karena lebih gampang menyebutnya kebun apel daripada taman-indah-aneka-bunga-yang-hanya-memiliki-satu-pohon-apel, maka aku putuskan menyebut kebun apel.  “Nox, apel!” Buah merah bergerombol di setiap dahan. Beberapa butir telah jatuh dan dimakan ulat. Nox mencoba meraih dahan terendah, memetik sebutir buah, dan menyerahkannya kepadaku. Daging buah terasa renyah dan manis. Setiap gigitan begitu nikmat. Sari buah membasahi dagu setiap kali aku menggigit.  “Nona, pelan-pelan. Kau bisa tersedak.” Setelah menandaskan apel, aku meraih tangan Nox. Jariku terasa lengket lantaran sari buah, tapi untungnya Nox tidak terganggu. “Nox, apa kau ingin jadi penyihir?” Hening sekian detik. Nox tidak mengatakan apa pun. Di Crimsom Rose yang asli, Alina berusaha menggagalkan pengadopsian Nox oleh seorang penyihir kenamaan. Dia tidak ingin melepaskan Nox sebagai b***k, atau lebih tepatnya, pesuruh. Bahkan di usia lima belas tahun Nox menunjukkan tanda-tanda ingin mempelajari sihir, sayang dia urungkan niatannya karena Joseph.  Akan tetapi, aku bukan Alina si antagonis. Diriku ialah Alina si karakter sampingan. Sudah sepantasnya sebagai karakter pembantu aku menolong Nox mewujudkan impian.  Oke, sebenarnya aku menolong Nox lantaran ingin menunjukkan niatan baik agar dia tidak membunuhku di masa depan.  “Nona....” “Nox, aku tidak apa-apa.” “Tapi, aku tidak bisa.” “Pergilah,” kataku menyarankan. “Terima usulan Paman Nuer. Pergilah ke Distrik Sihir.” Paman Nuer, perpanjangan tangan Penyihir Rugal, salah satu pemimpin Menara Sihir. Lelaki itu ingin mengangkat Nox sebagai murid sekaligus putra, yang notabene, menjadikan Nox sebagai salah satu karakter berbahaya.  “Nox, kita masih bisa main bersama.”  Haha, bodohnya aku. Begitu Nox diangkat anak oleh Penyihir Rugal, maka tidak mungkin ada kesempatan jumpa kedua, ketiga, kesekian karena sekalipun ada pertemuan itu sudah pasti antara Yuna dan Nox.  “Nona, apa kau benar-benar ingin aku jadi penyihir?” Tunggu sebentar. Bukankah Nox seharusnya setuju pergi ke Distrik Sihir? Novel menjelaskan Nox sangat tertarik menjadi anggota Menara Sihir, tetapi sekarang kenapa rasanya dia seperti tidak ingin dipisahkan dariku? Wahai Nox, gerangan apakah yang mengubahmu? “Aku ingin Nox jadi penyihir,” jawabku, ceria. Aku sudah benar, ‘kan, membiarkan dia jadi penyihir? Benar, ‘kan? “Penyihir.” Nox berlutut hingga pandangan mata kami pun sejajar. “Nona, aku berjanji tidak akan melupakanmu.” Ooow. Nox, halo? Aku ini masih di bawah umur. Kenapa kau memandangku seolah aku ini bidadari yang turun dari langit ketujuh? Andai saat ini aku berusia 23 tahun, mungkin ucapanmu akan membuatku menari sambil berkata, “Ada penyihir tampan merayuku!” Namun, Alina yang saat ini kau ajak bicara ini baru berusia sepuluh tahun! Nox, aku bukan tokoh utama. Hatimu hanya untuk Yuna. Yuna, bukan Alina.  “Jadilah penyihir, Nox. Penyihir hebat.”  Setelahnya aku pura-pura tertarik mengejar capung. Sungkan memandang Nox. Cinta monyet jelas tidak diperuntukkan bagi mantan-karakter-antagonis. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD