The Mission

23. Melarikan Diri

Dena menempelkan kartu e-tol, beberapa saat kemudian ia melajukan mobilnya. Di saat yang bersamaan, Kirana mulai bangun.

"Kita mau ke mana? Nanti Ayah sama Bunda nyariin, Kira mau pulang!"

"Adinda Kiran," ujar Dena tidak nyambung, Kirana baru akan bertanya ketika Dena melanjutkan ucapannya, "namamu sekarang Adinda Kiran. Suka atau tidak, kamu harus membuang nama Kirana dan melupakan semua kehidupan Kirana. Kamu adalah anak yatim-piatu sejak kecil, orang tua kita meninggal dalam kecelakaan. Kita ak—"

"maksudnya apa? kenapa aku harus ganti nama? Kenapa nggak boleh bilang aku anak Ayah? Kenapa aku harus melupakan semua? Kenapa?" potong Kirana dengan cepat.

"Aku bahkan belum tahu orang tuaku masih hidup atau tidak, bisa-bisanya aku diminta untuk melupakan mereka. Entah terbuat dari apa otakmu itu, Apa kamu tidak punya perasaan? Coba pikirkan bagaimana perasaanku? Co—"

"karena kamu harus melakukan semua ini demi terus hidup," potong Dena kesal. Ia mencengkram kemudi, sedikit terganggu dengan sikap keras kepala Kirana.

Dena menyalakan lampu sein kiri, kemudian berhenti di bahu jalan yang memang diperkenankan untuk situasi darurat.

"Bacalah, ini dititipkan orang tuamu." Dena menyerahkan sebuah amplop putih, benda yang diserahkan Jendral Dedi sebelum berangkat hari ini. Dena tetap diam, membiarkan teman satu mobilnya itu fokus dengan surat.

Hampir lima menit kemudian Kirana akhirnya bersuara, "Kenapa Ayah melakukan itu? Ayah tahu keluarga kita akan jadi korban? Kenapa Ayah begitu egois? Kenapa...." Kirana tergugu. Kirana bahkan kehilangan padanan kata.

Dena masih bungkam, ia tidak berpengalaman menenangkan gadis belia yang sedang bersedih. Ia hanya tahu gadis itu butuh waktu, Dena mulai melajukan mobilnya lagi. Mengabaikan Kirana yang masih terisak di tempat duduknya. Setidaknya tidak ada amukan anarkis yang Kirana lakukan, Dena cukup senang akan hal itu.

Mobil terus melaju, meninggalkan kota Jakarta.