4 ARINA SIDE STORY: BAPTISAN DARAH SANG KETUA BARU (2)

2052 Words
Dicky tersenyum kecil saat memandang Arina yang sudah memasang kuda-kuda di hadapannya. Jarak mereka hanya terpisah kurang lebih 3 meter saja. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Sangat sesuai untuk pertarungan duel seperti malam ini. Ia tidak berubah, pikir Dicky saat melihat sosok Arina. Sama sekali tidak berubah. Sama seperti malam itu. Malam dimana ia menyelamatkan gadis tersebut lima tahun yang lalu. Saat Arina sedang dikejar-kejar untuk dijadikan sebagai salah satu wanita penghibur di sebuah rumah bordil karena wajah cantiknya. Dicky kebetulan sedang berada di sana untuk merokok dan ia melihat seluruh peristiwa tersebut dengan sangat jelas. Awalnya ia tak peduli, tapi ketika ia melihat sorot mata Arina, naluri protektifnya sebagai seorang laki-laki tiba-tiba tergugah begitu saja. Walaupun dalam keadaan sangat terdesak dan ada ketakutan yang sangat besar di kedua mata gadis tersebut, Arina tidaklah menjerit-jerit histeris seperti perempuan-perempuan lain yang ia kenal. Ada daya juang. Ada semangat hidup. Ada optimisme yang sangat besar di sana. Dicky masih bisa melihat secercah harapan yang bersinar di sorot matanya. Walaupun ia sudah sangat terjepit, gadis ini masih mati-matian berjuang untuk mempertahankan kehormatannya. Dan, tahu-tahu, ia sudah berada di sana. Berada di tengah-tengah antara gadis tersebut dan sosok para pengejarnya. Melindunginya. Membuat Arina percaya kalau hidup dan kehormatannya tak akan berakhir malam itu. Dicky masih ingat ketika ia membawa gadis itu untuk pertama kalinya ke dalam geng dan mata para pria dewasa yang “lapar”, memandang ke arah tubuh Arina dengan penuh nafsu, Dickylah orang pertama yang menghalangi tatapan mata mereka serta mengancam. “Gadis ini milikku. Siapapun yang berani menyentuhnya, ia akan langsung berurusan denganku!!” Statusnya sebagai anak angkat langsung dari Fernando Hernadez, sang ketua Geng Tengkorak waktu itu, sudah lebih dari cukup untuk membungkam semua mulut dan niat liar mereka. Khusus untuk Arina pun, ia berbagi ruangan dengan Dicky. Tapi, tak sekalipun mereka pernah melakukan hubungan intim. Bagi Dicky, Arina adalah adik perempuan kesayangannya. Sebuah permata yang harus dijaganya baik-baik. Dimulai dari malam itu, Arina dilatih ilmu bela diri khusus dengan sangat disiplin oleh Dicky. Setiap pagi, mereka berdua bangun subuh sekitar jam 4 pagi dan berlari mengelilingi sebuah bukit sambil melihat matahari terbit dan kemudian dilanjutkan dengan sit up serta push up masing-masing sebanyak 100 kali paling sedikit. Lalu, dilanjutkan dengan latihan kuda-kuda serta melakukan gerakan tinju dan pukulan secara tepat ke arah titik-titik vital lawan. Hal ini akan sangat efektif saat Arina berhadapan dengan lawan di pertarungan jarak dekat. Perlahan-lahan, dari seorang gadis ceking dengan sorot mata ketakutan, Arina menjelma menjadi sebuah mesin perang paling efektif yang pernah ada. Semua lawan-lawannya tidak ada yang sanggup berdiri lebih dari satu menit saat berhadapan dengannya. Jika tidak cedera serius, ya patah tulang. Parah-parahnya, paling koma selama setahun di rumah sakit.   Sekarang, di malam ini, sekali lagi…. Sang guru akan berhadapan langsung dengan muridnya sendiri di depan mata semua orang. Mata Arina menatap tajam ke arah Dicky tapi ia belum membuat gerakan apapun. “Serang aku sekarang!!” perintah Dicky pada gadis di hadapannya. Dengan langkah cepat, Arina langsung maju dan membuat beberapa serangan sekaligus. Dicky melangkah mundur sambil menghindari semua serangan tersebut. Semua mata yang menonton pertarungan langsung menarik nafas dengan mata melotot lebar. Selama ini, belum pernah ada berhasil bertahan atau mengelak dari semua serangan mematikan Arina. Baru Dicky-lah satu-satunya orang yang berhasil menghindari semuanya.     Arina kembali melayangkan tendangannya, tapi Dicky bergerak lebih cepat. Tiba-tiba Arina merasakan sebuah rasa sakit yang tajam di ulu hatinya. Ia langsung tersungkur jatuh sambil batuk-batuk. Semua orang langsung terperanjat kaget!!! Arina??? Arina Si Dewi Perang itu kalah??? Seriusan nih?? “Bangun!!!” perintah Dicky dingin. Arina sendiri hanya memandang ke arah lawannya tersebut dengan mata menyipit kesal sambil mencoba bangun perlahan-lahan. Ia tetap memegangi pinggangnya yang masih terasa berdenyut-denyut akibat pukulan Dicky tadi. “Serang aku lagi…” perintah Dicky tenang. Tanpa babibu, Arina segera bergerak maju sekali lagi dan menyerang Dicky dengan membabi buta. Kecepatan dan kekuatan pukulan serta tendangannya semakin bertambah setiap kali ia melancarkan serangan. Sekarang, Dicky sibuk menangkis dan menahan semua serangan yang diarahkan kepadanya. Sampai mendadak, Arina tiba-tiba mengubah arah pukulannya menjadi sebuah tendangan ke arah kaki Dicky. DUAGGGGG!!! Dicky langsung berlutut jatuh dengan sebelah kaki. Arina belum berhenti. Sekali lagi, ia melancarkan tinjunya dan langsung menonjok wajah Dicky dengan kekuatan penuh. DUAGGGG!!! Sudut mulut pria itu langsung berdarah. Matanya berkunang-kunang. Tapi begitu Arina melancarkan tendangan sekali lagi ke arah lehernya, Dicky langsung berkelit dan menahan kaki gadis tersebut. “Sudah cukup, Arina…..” Nafasnya terengah-engah. “Kau menang…” katanya sambil tersenyum dan memandang ke arah gadis tersebut. Dicky mencoba berdiri. Tubuhnya sempoyongan. Kening Arina berkerut. Ada yang tak beres di sini. Tapi, sedetik berikutnya, tubuh Dicky limbung dan langsung roboh ke atas tanah. “DICKYYYYYYYYYY!!!!! “ teriak Arina panik. …………………………………………………………………………………………………. Berbagai mesin pemantau detak jantung serta tekanan darah, ada di dalam kamar itu. Sementara 2 perawat wanita pribadi yang ditempatkan oleh pihak rumah sakit terus berjaga di samping Dicky yang kini sedang kesulitan bernafas. “KENAPA SELAMA INI KAU TIDAK PERNAH CERITA PADAKU SIH??!!!” protes Arina kalut sambil menarik kerah baju Sante yang juga sama-sama ada di dalam ruangan tersebut. Dari cerita kedua perawat tersebut, ia baru kalau Dicky tengah sekarat dan sudah menderita kanker paru-paru stadium akhir dari beberapa waktu yang lalu. “Maaf, Dicky yang melarangku…” “Sante…” Suara Dicky yang lirih terdengar samar-samar. “Tolong kau dan kedua perawat ini keluar sekarang. Ada hal pribadi yang perlu kukatakan pada Arina sekarang.”    Sante mengangguk dan berjalan keluar bersama Jillian dan Melissa. Sekarang, di dalam ruangan tersebut, hanya ada mereka berdua. “Maaf…” Itu kata pertama yang keluar dari mulut Dicky pada Arina sembari mengelus pipi gadis tersebut. Mata Arina sendiri sudah basah oleh air mata. “Gadis kecil yang kuselamatkan dulu kini sudah dewasa ya? Kau benar-benar tumbuh menjadi seorang wanita cantik yang mandiri, Arina…” “Dicky….” Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin ditanyakan oleh Arina sekarang tapi tenggorokannya tercekat. Entah kenapa, perasaannya tak enak. Apakah malam ini akan menjadi waktu terakhir mereka bersama? Dicky lalu memberikan sebuah kalung logam dengan hiasan liontin tengkorak. Simbol kepemimpinan ketua kepada Arina. Ia juga menggigit ketiga jarinya sampai berdarah dan mencap dahi Arina dengan darahnya sendiri. “Pada malam ini, aku, Dicky Valdez menyerahkan kepemimpinan Geng Tengkorak secara resmi kepada adik angkatku, Arina dengan ritual Baptisan Darah. Semoga kau akan terus membawa kejayaan dan kemuliaan nama geng kita sampai masa berikutnya…”   “Maaf, Arina. Aku tak bisa memberikanmu apa-apa lagi. Hanya nama besar dan geng ini saja yang kutitipkan padamu untuk dijaga setelah kepergianku. Dan satu lagi, ilmu bela diri. Sehingga kau bisa menjaga dirimu sendiri dan tak lagi dilecehkan oleh siapapun…” Arina menggenggam tangan Dicky yang sedang mengelus pipinya dengan erat sambil menangis. Air matanya mulai meleleh deras di kedua pipinya. “Jangan menangis, Arina. Air mata tak pantas untukmu…” Dicky menatap Arina dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang. Sambil memegang pipi Arina yang tengah terisak-isak di atas tubuhnya, Dicky hanya berkata. “Aku ingin selalu menjadi yang pertama bagimu, Arina. Pria pertama yang melindungimu. Pria pertama yang mengasihimu secara utuh dan tanpa syarat. Pria pertama yang mencintaimu. Dan….” Dicky tiba-tiba menarik gadis itu ke dalam pelukannya serta melumat bibir Arina dengan sangat intens. Bau nikotin yang sangat tajam menyergap hidung Arina. Ini… aroma Dicky. Ciri khas pemuda tersebut. “Menjadi pria pertama yang mencium bibirmu. Pria pertama yang mencintaimu. Aku ingin menjadi duniamu, Arina…” “Aku ingin menjadi cinta pertamamu, Sayang…” Itulah saat pertama kalinya Dicky melihat Arina sebagai seorang wanita dewasa dan bukan seorang gadis kecil yang dulu pernah ia selamatkan. Sayangnya, ia terlambat menyadari perasaannya. Sangat terlambat. Sekarang, bayang kematian sudah berada di ujung nafasnya. “Dic…Dicky, jangan …per…gi…to…long……..a….a…ku…….mem…..bu….tuh…kanmu….” “To….long……” “ DICKKYYYYYYYYYYYYYYYY……..AHHHHHHHHHH!!!!!” Arina melolong keras-keras di sela-sela tangisnya saat melihat sorot kehidupan terakhir perlahan sirna dari sepasang mata pemuda tersebut dan bibirnya menyunggingkan senyum penuh damai. Dicky Valdez. Sang ketua legendaris tersebut telah tiada. Malam itu ia genap berusia 32 tahun. Usia yang masih teramat muda untuk seorang laki-laki dewasa tapi takdir sudah memanggilnya pulang ke pangkuan Dewa Kematian. “Ah…ah…ah….kenapa? Kenapa? Kenapa….? Kenapa kau tidak pernah memberitahukanku kalau kau sedang sakit beberapa waktu ini? Kenapa, Dicky!!!! JAWABBBB!!!” Dengan histeris dan putus asa, Arina memukul-mukul d**a Dicky yang sudah tak bernafas kuat-kuat. Berharap kalau pemuda tersebut hanya bercanda saja. Berharap kalau ini semua cuma mimpi. Berharap kalau besok Dicky masih bisa memboncengnya naik motor bersama dan mengajaknya untuk menonton matahari terbit seperti yang mereka lakukan dulu. Arina menangis terisak-isak sambil menggenggam kalung tengkorak yang diberikan oleh Dicky kepadanya sekuat-kuatnya. Sebuah warisan yang diwariskan kepadanya. ………………………………………………………………………………….. Air mata mengucur deras di kedua pipi Sante sementara ia menyandar lemas dan kemudian tubuhnya merosot di atas lantai. Ia bisa mendengar lolongan dan ratap tangis Arina di dalam. Ia juga sedang menangis terisak-isak sekarang. Dicky adalah sahabat terbaiknya di Geng Tengkorak. Bersama-sama mereka berjibaku membesarkan nama geng sampai pamornya meluas seperti sekarang ini. Ditambah kehadiran Arina yang menjadi mesin perang terbaru mereka. Di masa kepemimpinan Dicky, Geng Tengkorak tak terkalahkan dan jumlah anggota mereka bertambah menjadi seratus ribu orang yang tersebar di berbagai negara. Beberapa bulan sebelumnya, ia menemani Dicky untuk check up ke rumah sakit karena batuk-batuknya tak pernah sembuh. Lalu, ketika dilakukan CT Scan, Sante baru mengetahui kalau Dicky terkena kanker paru-paru stadium akhir. Hanya 30 persen dari paru-parunya yang masih bisa berfungsi normal. Masa hidupnya sangat singkat. Kurang lebih hanya 2 bulan lagi. Dicky melarang keras Sante untuk memberitahukan hal ini kepada Arina dan juga mempercepat proses pemilihan ketua baru untuk Geng Tengkorak. Dicky juga yang menyuruh Sante untuk berbohong tentang Jillian dan Melissa padahal mereka berdua adalah perawat pribadinya. Dicky sudah mempersiapkan semuanya untuk Arina. Dan tanpa ia sadari, ia pun menyukai Arina. Dicky dan dirinya berbagi rasa suka pada orang yang sama. Tapi Sante juga tahu bahwa perasaannya tak mungkin berbalas. Diantara Dicky dan Arina, ada sebuah ikatan tak kasat mata yang sangat kuat. Sebuah ikatan takdir dan nasib. Karena itu, Sante memilih untuk tetap diam. Ia memilih untuk mengalah. Karena ia sangat menghormati Dicky dan menyayangi Arina. …………………………………………………………………………………………………… Keesokkan harinya, semua anggota Geng Tengkorak yang berada di pesisir barat mengikuti upacara kremasi yang diadakan di atas Sungai Macaras. Mata Arina sembab ia mengantar kepergian orang terkasihnya tersebut dengan tegar. Pandangan matanya kosong saat melihat perahu kecil yang berisi jenazah seorang Dicky Valdez. Bagi dirinya, Dicky adalah mentor, sahabat, kakak, dan sekaligus cinta pertamanya. Walaupun mereka berdua sama-sama terlambat untuk menyadari perasaan mereka masing-masing, tapi setidaknya Arinalah yang berada di sisi pemuda itu untuk terakhir kalinya sebelum Dicky menutup mata. Sante menyalakan api sebelum melepas perahu yang berisi jenasah Dicky terhanyut arus pelan-pelan. “Semoga jiwamu tenang di alam sana, Sahabatku…” doa Sante di dalam hatinya. Semua mata para anggota Geng Tengkorak memerah basah. Tapi mereka tetap harus melangkah maju. Begitu perahu sudah jauh, Arina membalikkan badan sambil mengangkat sebelah tangannya yang memegang kalung dengan liontin tengkorak dari logam. Secara otomatis, semua anggota geng langsung berlutut di hadapannya sambil berseru. “Hormat kami untuk ketua baru!!!”     ........................................................................ Note:  Ongoing 1000 love ya, gengs!!! Tengkyuu bwat yang udah ngikutin ceritanya ampe sejauh ini. Untuk visualnya, saya lagi buat dulu. Nanti kalian bisa cek di IG : rockinglady69 Bakalan terus diupdate setiap hari antara pukul 11.00 - 13.00 Jangan pelit2 kasih komentar juga, gengs...thx all..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD