4. Roti Tawar dan Yoghurt

1599 Words
Pagi hari biasanya adalah hari yang paling aku nantikan. Setelah semalam nggak bisa tidur dengan nyenyak karena memikirkan banyak hal. Tapi itu dulu, ingat DULU, cetak tebal, garis bawah dan huruf besar. Sekarang pagi hari rasanya sudah seperti neraka buatku. Bagaimana nggak, saat pagi menjelang aku harus memikirkan strategi apa yang harus kulakukan agar bisa menghindari buaya cap kuda terbang itu. Argh! Kepalaku terasa pusing memikirkannya. Kenapa bisa aku dengan percaya dirinya mengatakan padanya jika akan menganggapnya sebagai sosok asing yang kukenal? Harusnya kemarin aku mengatakan akan menganggapnya sebagai musuh bebuyutan yang nggak bakal aku maafin. Gentala. Kenapa sepagi ini, namanya sudah merusak mood-ku? Persetan dengan apa statusnya saat ini, mau lajang atau pun duda, aku nggak peduli. Saat ini aku hanya ingin bisa bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Aku ingin menganggapnya sebagai sebutir debu yang nggak berarti. Atau mungkin aku harus punya siasat baru agar nggak diperlakukan semena-mena olehnya. Mungkin dengan memacari direktur Global Oil. Eh nggak deh, kayaknya ketuaan. Macarin anaknya direktur juga nggak apa-apa. Biar aku punya kekuasaan untuk mendepaknya dari Global Oil. Sudah berapa purnama kami berpisah, sudah ratusan hari kulewati dan buktinya aku masih baik-baik saja, demikian halnya juga dengannya. Padahal dulu dia pernah mengatakan padaku jika nggak akan bisa hidup tanpaku. Cih. Semua itu hanya bualan buaya. Begitu juga dengan pagi ini dan pagi hari lainnya nanti, aku yakin bisa melewatinya dengan mudah. Walaupun bayang-bayang Genta akan mengawasiku setiap saat. Harusnya aku nggak tergiur gaji besar bekerja di Global Oil. Harusnya aku menjadi pegawai honorer di kantor Papa aja, biarpun gaji kecil, tapi beban kerja nggak berat dan yang paling penting nggak akan bertemu dengan lelaki yang ngakunya ganteng itu. Memang ganteng sih. Ih males banget muji dia! Tuh lihat, kan. Emosiku sudah memuncak di pagi yang cerah ini. Padahal ini baru hari keduaku bekerja di Global Oil. Mana statusnya masih karyawan kontrak lagi dan aku yakin Genta pasti akan senang menyiksa lahir dan batinku dengan status karyawan kami yang berbeda. Lihat saja setelah kontrak kerjaku berakhir, aku nggak akan mau berlama-lama di Global Oil. "Serius banget muka lo, gajian masih lama." Aku menoleh dan mendapatkan Ranu sedang berdiri di sebelahku mengantre lift yang akan mengantar kami ke lantai enam, tempat divisi HR and GA. Bukannya mikir gajian, aku malah mikir mau kabur aja dari perusahaan ini. "Cuma kita berdua aja yang ke lantai enam?" tanya Ranu. "Banyak tuh," kataku nggak peduli sambil melihat sekitarku. "Maksud gue, di antara teman-teman kita yang lain, cuma kita berdua aja yang ke divisi HR and GA," jelasnya. "Yang lainnya ke accounting dan quality control," ujarku. "Ayo, buruan." Aku segera memasuki lift dan diikuti oleh Ranu. Suasana lift ini begitu sesak, mungkin karena bertepatan dengan jam masuk karyawan. "Gue masih bingung, hari ini kita mesti ngapain aja," kata Ranu saat berada di dalam lift. Nada suaranya terdengar bingung. "Ya nggak mungkinlah kita disuruh buat kopi," sahutku dan membuat Ranu terkekeh. Aku dan Ranu kemudian menempelkan kartu akses sementara ke sensor dekat pintu kaca, yang sekaligus sebagai absensi kami. Pintu kaca terbuka dan kami bergegas masuk ke dalam. Kemarin pada saat briefing di lantai dua belas, Kania telah memberitahu jika yang menjadi mentor kami di divisi HR dan GA ini adalah si buaya, maksudku Gentala. Mimpi apa aku sampai hal buruk begitu bertubi-tubi menyiksaku. Lupakan, Jyan! Seperti janjiku padanya kemarin, kami akan bersikap seperti dua orang asing yang nggak pernah saling mengenal. "Kita mesti nyari Mas Genta dulu," ucap Ranu. Aku mencibir dalam hati, sok akrab banget manggilnya pakai mas. "Kamu ada simpan nomor ponselnya nggak?" tanya Ranu padaku. Simpan, tapi dulu. "Nggak ada. Memang dia ada nawarin nomor ponselnya ke kita?" Aku bertanya balik dan dijawab Ranu dengan gelengan. "Tanya aja sama orang-orang di sini, mereka pasti kenal dengan yang namanya Genta," usulku. "Kalian berdua ikut denganku." Sebuah suara membuat bulu kudukku merinding. Aku nggak perlu menoleh lagi untuk memastikan siapa yang sedang berbicara. Ranu berdehem sambil mengamit lenganku. Padahal dia nggak perlu melakukannya karena aku sudah begitu kenal dengan suaranya dan nggak perlu diberitahu lagi. "Ini meja kerja kalian mulai hari ini," ucapnya sambil menunjuk dua kubikel yang sudah dilengkapi dengan komputer dan peralatan alat tulis. "Meja saya dan Kania di sana, kalian bisa bertanya apa pun pada kami berdua," lanjutnya. "Karena kalian benar-benar baru di dunia ini, kalian harus benar-benar fokus pada setiap hal yang kalian pelajari," ujarnya. Baru gimana, pekerjaanku sebelumnya juga berhubungan dengan HR and GA kok. Biarpun bukan di perusahaan minyak seperti ini. Lagaknya lelaki di hadapanku ini seperti sangat berpengalaman, padahal aku yakin, dia belum sampai setahun bekerja di perusahaan ini. "Ada yang mau ditanyakan?" Dia menoleh padaku dan Ranu. Pada saat yang bersamaan, aku segera menundukkan wajahku karena nggak mau menatap matanya. "Sudah jelas, Mas," sahut Ranu bersemangat sedangkan aku tetap seperti semula dia membisu tanpa kata. "Kalau begitu, tunggulah di sini sebentar sampai Kania akan memberikan materi yang bisa kalian pelajari," ujarnya dan tanpa pamit dia segera berlalu dari hadapan kami "Apa lo belum sarapan?" tanya Ranu saat kami sudah mengambil tempat di meja masing-masing. "Menurut lo," sahutku entah kenapa terdengar sedikit emosi. Aku jadi menyesal kenapa membawa urusan pribadi dengan Genta hingga berimbas pada Ranu. "Belum sarapan, memangnya lo mau ngajak gue sarapan?" tanyaku. "Mana bisa kita mau keluar buat sarapan sekarang, sudah jam kerja," sahutnya dan membuatku tersenyum masam. Jadi tadi apa maksudnya bertanya aku sudah sarapan atau belum, hanya sekadar basa-basi? "Halo Ranu dan Jyan, selamat pagi," sapa Kania sambil menghampiri kami berdua. Padahal aku berharap jika Kania-lah yang menjadi mentorku selama beberapa bulan ke depan. Aku masih nggak bisa membayangkan akan berinteraksi dengan Genta dengan statusku sebagai mantan pacarnya. "Aku punya beberapa hal yang harus kalian pelajari dan mengerti sebelum terjun langsung ke pekerjaan. Global oil memiliki karyawan tetap dan kontrak sejumlah delapan ribu karyawan yang tersebar di kantor pusat dan di beberapa pabrik di pulau Kalimantan," jelasnya sambil membagikan beberapa buku pada kami berdua. "Sebagai karyawan yang bernaung di bawah divisi Human Resource and General Affair, aku harap kalian memahami poin-poin penting apa saja yang menjadi pekerjaan utama kalian. Aku akan mengkhususkan kalian berdua agar lebih fokus menyelesaikan pekerjaan kalian. Untuk Jyan menangani masalah Human Resource, dan Ranu ke General Affair. Tapi nggak menutup kemungkinan untuk kalian berdua saling mempelajari masing-masing bidang. Aku harap sampai di sini kalian bisa mengerti," jelasnya lagi. Jika sudah dibagi seperti ini lagi, aku harap Genta nggak perlu menjadi mentorku lagi. "Mentor kalian, Mas Genta akan membimbing kalian dengan baik. Oke, kayaknya cukup segini aja, jangan lupa Jumat sore kita berkumpul di lantai dua belas untuk mendiskusikan apa saja yang kalian dapatkan selama seminggu bekerja. Good luck buat kalian," ucapnya sambil tersenyum. Aku baru saja ingin bertanya pada Ranu, apa yang akan kami kerjakan di balik kubikel ini saat tiba-tiba saja Genta datag menghampiri kami. Apa aku boleh mengajukan satu permohonan untuk mengganti mentor? “Kebetulan hari ini adalah awal bulan, mungkin ada baiknya kita ke bagian tax and payroll, untuk melihat bagaimana pembayaran dan pelaporan pajak gaji Global Oil,” ucapnya tanpa kata pembuka yang lebih manis, misal dengan sekadar bertanya apa kalian sudah sarapan? “Seluruh lantai enam ini adalah divisi HR and GA. Untuk saat ini ada baiknya kalian mempelajari semua hal di sini secara umum, setelah itu kita baru akan mendiskusikan di bagian mana kalian akan ditempatkan.” Genta berjalan dengan perlahan dan seperti anak ayam, kami mengikutinya dari belakang. “Aku akan meninggalkan kalian bersama Pak Husein, beliau dan rekan-rekannya akan membantu kalian memahami mekanisme di tax and payroll.” Genta kemudian berhenti di sebuah ruangan. “Ini adalah Pak Husein, Tax and payroll Head.” Genta mengenalkan kami pada seorang bapak berperawakan tinggi dan berkacamata. “Jyan, Pak,” ujarku mengenalkan diri sambil mengulurkan tanganku dan Ranu juga melakukan hal yang sama. Rasanya aku nggak mendengar Genta berpamitan untuk meninggalkan kami, tiba-tiba saja saat mataku mengedar, dia sudah tidak berada di dekat kami lagi. Memang ya,cocok banget dia jadi buaya. Di perusahaanku terdahulu, aku pernah menangani masalah pajak gaji karyawan jadi setidaknya aku nggak buta sama sekali. Di awal bulan memang saat yang paling sibuk di bagian yang menangani masalah pajak. “Di sini kita merekap semua pajak gaji di semua divisi, termasuk para karyawan di unit proses yang berada di pabrik Kalimantan. Kerja kita harus cepat dan teliti karena untuk pembayaran dan pelaporannya sendiri ada batas waktunya. Di tax and payroll ini kita hanya merekap, urusan pembayaran akan dilakukan oleh divisi accounting,” jelas Pak Husein sambil menghirup kopinya. “Maya dan Brenda akan membantu kalian jika kalian mengalami kesulitan,” ujarnya sambil mengenalkan kami pada karyawan yang dimaksud. “Oya, kalian boleh sarapan dulu jika memang belum. Di sini fleksibel, asal pekerjaan kalian sudah selesai dan nggak menundanya,” ucap Pak Husein sambil tersenyum. “Baik, makasih, Pak,” ucap kami hampir bersamaan. Aku dan Ranu kemudian menyimpan tas kami di loker yang ditunjukkan oleh Maya, salah seorang staf di tax and payroll. Sambil berbisik dia kemudian pamit padaku dan mengatakan jika akan kembali beberapa menit lagi karena baru akan memulai sarapannya. Aku dan Ranu saling berpandangan, seolah ingin mengatakan menyesal sekali tadi nggak sempat sarapan dulu karena ternyata di sini sesantai itu. “Gue ke pantry sebentar deh, mau buat kopi dulu,” ucap Ranu dan meninggalkanku di salah satu kubikel di ruang tax and payroll ini. Aku kemudian mengambil ponsel yang tadi kelupaan dan tertinggal bersama tasku di dalam loker. Aku ingin menghubungi Manda untuk mengetahui keadaannya di divisi accounting. Tanganku tiba-tiba saja menyentuh benda asing saat aku sedang merogoh tasku. Sebungkus roti tawar dan plain yoghurt. Hanya Genta yang tahu sarapan kesukaanku itu. (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD