3. Memulai Dari Awal

1418 Words
Hari pertama kerja biasanya selalu menyenangkan, tapi kali tidak buatku. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama menginjakkan kaki di kantor ini sirna bersama dengan munculnya wajah Genta. Oke, sepertinya sudah lumayan bagus, aku bisa menyebut namanya tanpa ragu. Di membuatku menyesal diterima di perusahaan ini. Bisakah waktu kuputar dan kuabaikan saja keinginanku untuk bisa bekerja di sini. Ah! Tapi semuanya sudah terlambat, mau bagaimana pun caranya, dia akan tetap berkeliaran di mataku, mengacaukan hari-hariku. Dulu, aku kira dia yang terbaik. Nggak pernah ada lelaki sebaik dan begitu perhatian sepertinya. Dia memahamiku dari hal sepele sampai yang penting sekali pun. Aku kira dia yang terakhir, tapi ternyata aku hanya dianggap yang kedua olehnya. Cukup Jyan! Hentikan semua ini! Aku nggak boleh terus menerus memikirkan masa laluku bersama buaya itu. Ada kalanya masa lalu nggak boleh dikenang sama sekali, karena rasanya begitu menyakitkan. "Lo pulang bareng siapa?" tanya Ranu yang tiba-tiba sudah berada di sebelahku. "Bareng penumpang busway," sahutku. "Maksud gue, sendiri aja gitu, nggak ada yang jemput?" tanyanya. Sudah pasti sendiri, siapa juga yang mau menjemputku? "Dijemput sopir busway," sahutku sekenanya. Ranu tergelak dan mengundang orang-orang yang berada di lift yang sama menoleh ke arah kami. "Bareng gue, mau?" tawarnya. "Ogah, kita baru kenal. Ntar lo apa-apain gue," tolakku. Ranu terlihat meringis, entah karena menahan tawa atau malah sedang kesal karena penolakanku. "Terserah lo deh, gue ajak Manda aja," ujarnya. "Tapi Manda juga nggak mau pulang bareng lo, kan?" tanyaku. Aku tadi mendengar dengan jelas Manda menolak ajakan Ranu untuk pulang bersamanya. "Ah! Lo tahu aja, dia dijemput pacarnya," balas Ranu sambil terkekeh. "Tuh, bareng Andra aja. Rumah gue jauh, jam segini masih macet. Lo pasti nyesal kalau nekat ngantar gue pulang," ucapku. "Kalau rumah lo jauh, makanya gue harus antar lo pulang. Bahaya kalau lo pulang sendiri malam-malam gini," rayunya. "Basa-basi aja lo. Sudah sana, gue benaran lagi pengen pulang sendiri. Kapan-kapan aja deh gue nebeng lo," tolakku lagi. Akhirnya Ranu mengangguk mengiyakan. Kami berpisah di pelataran kantor karena Ranu akan mengambil mobilnya di basement. Jakarta itu kota kelahiranku, aku menghabiskan hampir seumur hidup di sini. Jadi mau pulang selarut apa pun, aku nggak pernah merengek-rengek pada Papa untuk menjemputku. Berbeda saat masih di Surabaya dulu, Gentalah yang selalu bertugas mengantar dan menjemputku. Astaga! Tuhan yang Maha Kuasa, tolong hapus dia dari ingatanku. Sepertinya hari-hariku di kantor baru ini akan terasa berbeda dengan adanya lelaki buaya itu. Aku bersyukur karena malam ini, halte tidak sesak oleh penumpang yang menunggu kedatangan busway. Aku melangkahkan kaki dengan perlahan saat busway datang. Nggak ada yang aneh, karena lumayan sepi, aku bisa mendapatkan tempat duduk tanpa perlu berdiri seperti biasanya. Tapi entah kenapa, perasaanku terasa nggak nyaman. Aku mengedarkan pandanganku, hanya ada beberapa orang di busway ini. Mataku memicing saat melihat seseorang yang sepertinya tidak asing. Sebagian wajahnya tertutup karena buku yang sedang dibacanya. Jangan lagi memikirkan hal yang aneh-aneh, Jyan. Nggak mungkin sosok itu Genta. Aku pasti sudah terlalu banyak memikirkan dia hari ini sehingga orang yang nggak kukenal aja dianggap seperti dia. Genta yang kukenal nggak mungkin menjadi rakyat biasa dengan naik busway seperti ini. Dia adalah sosok sombong dan tukang pamer. Sebenarnya nggak sebegitunya sih, aku aja yang lagi emosi dan membuatnya seolah berkepribadian buruk. Tapi siapa pun yang sudah pernah berselingkuh bukankah memiliki hati yang buruk? Cih. Jyan yang munafik ini lagi-lagi memikirkan sosok buaya berjambang halus itu. Aku melirik jam tanganku sejenak, sudah hampir jam delapan malam. Belum terlalu larut untuk singgah ngopi sebentar cafe langgananku. Cafe yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahku. Cafe itu menjadi tempat nongkrongku semenjak hari-hari kepulanganku dari Surabaya. Hampir setiap hari aku kesulitan tidur dan kesunyian malam malah membuatku sangat frustrasi. Untung saja, aku menemukan tempat ini. Melihat Jakarta yang tidak pernah tidur dari Cafe ini membuatku melupakan sejenak kegelisahan hatiku. Ya, sampai hari ini setiap malamku dipenuhi kegelisahan. Meskipun sudah lebih baik dibanding beberapa bulan yang lalu. Kadang aku memang munafik dengan mengatakan aku baik-baik saja atau aku sudah melupakan lelaki itu. Tapi ada kalanya juga aku begitu emosional dengan memikirkan kebodohanku di masa lalu. Aku terus-menerus memikirkan dia tanpa henti. Semuanya bertambah kacau dengan kenyataan jika aku akan sekantor dengannya. Yang paling tidak, dalam kurun waktu delapan jam kerja, sosoknya pasti ada satu atau dua kali berkeliaran di hadapanku. Aku yakin, dia hanya membuatku bertambah frustrasi. Semenjak hari terakhir aku mengatakan dia tidak boleh lagi muncul di hadapanku, harusnya dia menepatinya. Tapi kenapa dia malah muncul dengan keadaan yang terlihat lebih baik dan terlihat tidak pernah mengalami hal buruk seperti yang aku rasakan? "Hai Jyan, sudah semingguan kayaknya nggak ke sini," sapa Mas Albert, pemilik cafe dengan nama Rumah Kopi ini. Aku mengangkat wajahku sambil tersenyum. "Iya nih, Mas. Tapi tetap nyempatin ke sini, kan," balasku. "Drink? Snack?" tanyanya kemudian. "Kayak biaya, Mas, cappuccino float sama sandwich keju," kataku. "Oke, wait a minute," ujarnya kemudian. Aku memainkan jemariku di meja setelah Mas Albert pergi. Cafe ini sangat strategis karena terletak di tepi jalan yang menghubungkan jalan utama dan jalan menuju komplek perumahan. Dari sini aku bisa melihat kerlap kerlip lampu kendaraan. Harusnya dengan suasana malam seperti ini membuat perasaanku lebih baik, tapi entah kenapa bukan demikian yang aku rasakan. Aku mengedarkan mataku ke seluruh sudut cafe ini. Lagu romantis tak hentinya menemaniku dari pertama kali aku memasuku cafe ini. Aku merasa muak, tapi tidak mungkin mengatakannya pada Mas Albert. Dia pasti akan merasa tersinggung jika aku berkata demikian. Beberapa pasangan remaja terlihat berbicang dengan mesra, beberapa lainnya bersama teman-teman mereka. Aku membuang napas, mendadak cappucino yang kuminum ini terasa pahit di indra perasaku. "Boleh aku duduk di sini?" Aku mengernyit saat seseorang tiba-tiba berdiri di depanku. "Kamu," desisku sambil membelalakan mata. Seharian ini sosoknya sudah berputar-putar di kepalaku dan kenapa saat malam seperti ini lagi-lagi dia yang kutemui? "Duduk saja, aku juga sudah mau pulang," ucapku ketus. Genta menarik kursi dan duduk tepat di hadapanku. Aku menahan napas. Apa dia mengikutiku semenjak aku keluar dari kantor tadi? "Apa kabar?" tanyanya kemudian. Aku memalingkan wajahku berusaha menghindari sorot matanya yang biasanya selalu membuatku luluh. "Jauh lebih baik," jawabku sombong. Kapan aku bisa jauh lebih baik dengan kemunculannya di hadapanku seperti ini. Harusnya dia bisa memilih kalimat yang akan diucapkannya. Hening beberapa saat dan aku bersikeras tidak akan mau memulai pembicaraan. Terdengar helaan napasnya yang menandakan dia bosan dengan keheningan yang terjadi. "Maaf," ucapnya kemudian. Mataku membesar, satu tahun berlalu dan hanya satu kata yang bisa diucapkannya di hadapanku? Masih kata yang sama dengan yang diucapkannya di pertemuan terakhir kami. "Aku nggak perlu kata maafmu," ucapku sinis. Aku ingin terlihat seperti orang sombong dengan mengangkat daguku tinggi-tinggi. "Oke, nggak apa-apa," balasnya. Aku membuang napas karena bukan seperti ini yang aku inginkan, aku ingin dia mengemis meminta maaf dariku. Tapi sepertinya nggak bakal terjadi jika mengingat bagaimana sikapnya saat ini. "Aku nggak menyangka kita akan bertemu lagi," katanya sambil menerawang. Nggak nyangka apanya? Cih. Aku yakin diterimanya aku bekerja di Global Oil juga merupakan salah satu campur tangannya. Dia pikir aku nggak tahu siapa yang mengirim lowongan kerja Global Oil ke emailku? Dia pikir aku nggak tahu dia selalu mencari tahu keberadaanku pada teman-teman dekatku? Dan aku juga tahu dialah yang meretas semua akun media sosial milikku. Sok sandiwara banget. "Aku malah berharap kita jangan bertemu lagi," sahutku. Genta kemudian berdehem, dia terlihat tidak nyaman. Baru kali ini aku melihatnya terlihat tidak percaya diri. Biasanya dia adalah sosok dengan kepercayaan diri yang sangat tinggi, saking tingginya kadang membuatnya terlihat sombong. "Jyan," ucapnya dan kontan membuatku merinding. Sudah lama namaku nggak disebut dengan selembut itu. "Jyan, aku sudah berpisah dengan istriku," katanya kemudian. "Terus?" tanyaku berusaha tidak peduli. Padahal dalam hatiku terus bertanya-tanya kenapa mereka berpisah. "Aku nggak mau kamu memusuhiku karena hal itu," balasnya. "Bukan karena kamu sudah berpisah atau nggak yang membuatku benci padamu. Tapi karena kebohonganmu!" ucapku kesal. "Aku sudah menjelaskan kebenarannya padamu," timpalnya. "Tentang pernikahan yang nggak kamu inginkan? Tentang tanggung jawabmu? Sudahlah, bagiku apa pun itu, kamu telah membuat kebohongan besar padaku," kataku. "Jyan, aku nggak mau kita bertengkar lagi di hari petama kita bertemu." "Bisakah kita memulai dari awal lagi?" pintanya. Memangnya aku ini pom bensin, minta diulang dari awal? Aku menatap wajahnya sekilas dan mencoba mencari kebohongan dari sorot matanya, tapi yang ada aku malah terpana beberapa saat. Wajahnya, sorot matanya, dan bahkan aroma parfumnya masih sama, nggak ada yang berbeda. Dia, sosok yang pernah menjungkir balikkan perasaanku. Pernah membuatku begitu bahagia sekaligus membuatku begitu tepuruk. "Oke, jadi mulai sekarang kita berdua adalah orang asing yang nggak pernah saling mengenal. Itu bukan yang kamu inginkan?" tanyaku.(*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD