Rafka -She-

2593 Words
Tok tok tok .. "Masuk .." kataku tanpa menoleh. Tak lama setelah itu, seorang wanita cantik dengan pakaian khas seorang sekretaris masuk ke dalam ruanganku. Dia melemparkan senyum manisnya saat aku melirik ke arahnya. "Siang, Pak Rafka," sapanya berjalan mendekat ke arah meja kerjaku. "Hm .." jawabku acuh. "Pak Agustian Halim ingin bertemu dengan Anda." Aku mengangkat kepala, menatap sekretaris yang sudah mengabdi selama lebih dari dua tahun ini memenuhi. "Agustian Halim?" ulangku sedikit tak percaya. "Iya, Pak." Ada kepentingan apa pria tua itu menemuiku? Ah .., mungkin dia masih berusaha untuk terus membujukku agar mau membantu dengan perusahaannya. "Ya sudah, suruh beliau masuk." "Baik, Pak," jawab Celine sambil tersenyum manis. Tak lama setelah Celine keluar, tamu yang sudah lewat Celine masuk ke dalam ruanganku. Aku pun 'berusaha' menyambutnya dengan hangat. "Silakan duduk, Pak Halim." Dia tersenyum dan menurutiku duduk di sofa yang ada di dalam ruanganku. "Mau minum apa, Pak?" "Ah, tidak perlu repot-repot Pak Rafka. Saya hanya perlu." "Meminta kalau begitu. Ada keperluan apa Bapak datang ke kantor saya?" tanyaku basa-basi. "Aku hanya mengantarkan undangan untukmu." Dia membuka tas kerja yang dibawanya dan mengeluarkan undangan berwarna merah. "Saya akan menikahkan putri saya dalam minggu ini. Saya berharap Bapak mau menyempatkan diri untuk menikahi putri saya," jelasnya. "Wah.., suatu kehormatan bagi saya karena Bapak Halim yang mengundang saya secara langsung. Saya pasti akan hadir pada pernikahan putri Bapak." Dia lalu bangkit dari sofa. Aku mengikutinya berdiri. "Saya hanya menyampaikan undangan itu saja Pak Rafka," katanya sambil tersenyum. "Tapi saya juga berharap Bapak masih mau mempertimbangkan penawaran saya." "Baiklah, nanti akan saya pertimbangkan kembali." Untuk menolak tawaran anda, lanjutku dalam hati. "Kalau begitu, saya permisi dulu Pak Rafka." Ya ya ya. Pergilah kau secepatnya dari ruanganku Pak Tua. Aku sudah muak melihatmu dari tadi. Setelah kepergian Pak Tua itu, aku mengambil undangan yang terletak di atas meja. Hanya untuk sekedar memastikan tanggalnya. Karena percuma aku membaca nama pengantinnya. Nggak kenal juga sama mereka. Aku lalu mengambil ponsel di saku kemejaku yang berdering menandakan ada panggilan masuk. Melihat id caller-nya aku jadi malas menjawab panggilan ini. Tapi kalau tidak diangkat, penelepon ini akan mengamuk dan langsung mendatangi kantorku. "Hallo, Ma.." "Kenapa baru diangkat? Apa kamu nggak dengar kalo Mama dari tadi nelpon kamu? Emangnya kamu kemana? Kenapa handphone ditinggal? Atau sengaja ya karena kamu tahu Mama bakal nelepon. Kamu mau Mama kutuk kayak Malin Kundang, hah?" Nah.., inilah yang membuatku malas mengangkat panggilan dari Mama. Mama itu terlalu suka melebih-lebihkan sesuatu. Kalau istilah anak muda zaman sekarang lebay lah namanya. Kayaknya Mama baru nelpon sekali langsung aku angkat. Memang sih aku rada malas menjawab panggilannya. Tapi kan nggak sampai berulang kali seperti yang dikatakan Mama. "Iya, Ma. Rafka minta maaf. Tadi Rafka ke toilet. Nggak mungkin Rafka bawa handphone ke toilet kan?" bohongku. Dalam situasi seperti ini, meng-iya-kan ucapan Mama lebih baik daripada coba melawannya. Bakalan panjang urusannya nanti. "Ada apa, Ma?" "Emangnya Mama nggak boleh nelpon kamu? Harus gitu Mama punya alasan buat nelpon putra Mama sendiri." "Mama nggak mungkin nelepon Rafka di jam kerja kayak gini kalau nggak ada sesuatu yang urgent menurut Mama." Sengaja kutekankan dua kata terakhir itu. Karena urgent menurut Mama biasanya malah sama sekali tidak urgent menurutku. "Ah.., kamu memang selalu mengerti Mama? Anak siapa sih?" "Ma.., please deh. Rafka masih harus kerja." "Ok..ok. Well, Mama udah atur pertemuan kamu dengan salah satu anak teman Mama." Lagi? Oh Tuhan. Haruskah aku melakukan kencan buta itu lagi. Semua orang tahu kalau aku ini playboy. Bukan maksudnya aku bangga dicap sebagai playboy. Tapi, nggak lucu banget kan playboy sepertiku justru melakukan kencan buta? Apa kata dunia coba? Masalahnya juga bukan se-simple itu. Calon yang selalu dipilihkan Mama selalu 'nggak banget' menurutku. Cantik-cantik sih. Tapi punya kelainan semua. Cewek pertama yang dipilih Mama, cantik, pake banget malah. Tapi hobby-nya justru ngupil dan kentut sembarangan. Malah suara kentutnya keras banget lagi, hampir mengimbangi suara gong tahu nggak. Cewek kedua juga cantik, rada tomboy sih. Tapi aku suka. Pertama jalan sama dia lancar-lancar aja. Pas kali kedua, dia menunjukkan sifat aslinya. Ternyata dia mengidap kelainan seksual, sekali lagi aku katakan dia LESBIAN. Astaga.., pacar lesbiannya waktu itu merajuk karna cewek itu memilih jalan bersamaku. Dia bahkan mengancam akan memutuskan cewek yang ku ajak jalan itu. Tentu saja cewek yang ku ajak jalan itu lebih memilih pacarnya dan meninggalkan aku begitu saja. Benar-benar menjatuhkan harga diriku sebagai seorang pria. Cewek ketiga, manis, ayu, dan lembut. Sangat feminim. Tapi diajak ngomong dianya gagap. Eh pas tanganku nggak sengaja nyentuh tangan dia, dia langsung ngamuk-ngamuk dan nampar aku. Saiko nggak itu namanya? Nggak sengaja nyentuh aja udah ditampar. Apalagi kalau? Arrgh, stop Rafka. Cewek keempat yang terakhir dikenalkan Mama ke aku juga tak kalah cantiknya dengan cewek-cewek sebelumnya. Pas pertama kali ketemu, anaknya baik dan asyik diajak ngobrol. Aku hampir saja setuju sama pilihan Mama yang satu ini, kalau nggak melihat dengan mataku sendiri saat dia dengan santainya mengenalkanku dengan kedua pacarnya yang tidak sengaja berpapasan dengan kami. Gila aja, belum jadi pacar aja dia udah seenak jidatnya ngenalin pacar-pacarnya yang lain. Gimana kalau udah jadi istri? Hei, aku memang playboy. Tapi aku playboy yang setia tahu nggak? Aku hanya bersama satu wanita saat menjalin sebuah hubungan. Kalau udah berakhir, baru deh nyari pasangan baru. "Rafka.., kamu dengarin Mama ngomong nggak sih?" Astaga, aku sampai lupa kalau sambungan teleponku dengan Mama belum berakhir. "Iya, Ma. Rafka dengarin Mama kok." "Ck, jadi gimana? Kamu mau kan?" "Ma, Rafka kan udah bilang belum siap nikah sekarang. Lagian Mama juga sih, kayak Rafka nggak bisa nyari cewek sendiri aja.." "Ya kalau kamu memang bisa nyari sendiri, mana hasilnya? Kenapa nggak dibawa ke hadapan Mama?" Ya, ku akui memang sudah setahun terakhir ini aku menjomblo. Bahkan ini jadi rekor terlamaku menjomblo, karena biasanya seminggu setelah putus dari mantan pacar, aku pasti sudah menggandeng pacar baru. Semua ini terjadi karna wanita itu. "Entar juga bakal Rafka tunjukin ke Mama. Tapi nggak sekarang. Lagian umur Rafka kan baru 25, belum tua-tua banget." "Dengar ya Rafka Kalandra.., kamu itu anak Mama satu-satunya. Kalau anak Mama ada dua atau tiga, Mama juga nggak bakal seheboh ini nyuruh kamu cepat nikah. Gimana kalau Mama besok mati? Kan Mama belum sempat gendong cucu." "Astaghfirullah.. Mama ngomong apaan sih?" "Pokoknya Mama mau kamu menikah secepatnya, titik." "Ok..ok. Kasi Rafka waktu sebulan untuk bawa calon Rafka ke hadapan Mama. Kalau Rafka nggak berhasil, terserah Mama deh mau nyodorkan Rafka ke siapa?" "Baiklah.. Mama pegang janji kamu." Mama langsung memutuskan sambungan telepon kami. Aku akhirnya bisa sedikit bernapas lega dan melanjutnya pekerjaanku. Tapi sayangnya, fokusku sudah berantakan. Karena perbincangan dengan Mama tadi, aku jadi kembali mengingat kejadian tiga minggu yang lalu saat di club. Waktu itu, aku tengah menemani sahabatku yang mabuk-mabukan karena putus cinta. Hal yang juga pernah ku alami setahun yang lalu saat ditinggal wanita yang paling ku cintai. Saat akan memesan minum, aku mendengar suara tangis seorang wanita. Entah kenapa tangisannya seolah mengiris hatiku. Padahal aku sama sekali tidak mengenalinya. Tapi ketika mendengar tangisnya yang benar-benar memilukan itu, aku seperti ingin membawanya dalam pelukan hangatku. Aku ingin menghapus jejak air mata di pipi mulusnya. Setelah puas menangis, wanita itu tak sadarkan diri. Pria yang menemani wanita itu di club saat itu langsung mengangkat tubuhnya dan membawanya entah kemana. Saat itulah aku bisa melihat wajah cantiknya di gendongan pria tersebut. *** Aku sudah tiba di tempat resepsi pernikahan putri si Pak Tua. Pesta yang cukup sederhana untuk ukuran seorang pengusaha seperti dia. Bahkan dari informasi yang kuperoleh, Pak Tua ini hanya mengundang segelintir orang tertentu. Bahkan undangan yang disebar hanya berjumlah 300 undangan. Setauku, dia cukup mampu untuk mengundang 1000 tamu sekalipun. Ya, mungkin dia tidak terlalu suka berlebihan. Saat aku berjalan mengambil minuman, aku mendengar suara denting piano yang mengalir dengan merdu. Seorang wanita muda memainkan tuts piano dengan lembut. Musik yang dihasilkan seolah menyampaikan perasaannya yang sesungguhnya. Aku juga dapat melihat semua mata yang kini sudah tertuju pada gadis muda itu. Saat gadis itu mulai bernyanyi, aku seperti mengenal suaranya. Aku berjalan semakin mendekat ke arah gadis itu, ingin memastikan bahwa dugaanku tidak salah. Dan ternyata benar, gadis itu adalah gadis yang menangis di club. Gadis yang sudah mengacaukan pikiranku selama sebulan terakhir ini. Ah.., akhirnya aku bisa bertemu dengannya. Bukan hanya cantik, gadis ini juga memiliki suara yang merdu. Dia sudah selesai bernyanyi. Para tamu dengan penuh antusias memberikan tepuk tangan yang sangat meriah. Gadis itu tidak menoleh, sekedar membungkukkan badan pun tidak. Agak aneh memang, mengingat bahwa dia berada di acara pernikahan tapi malah menyanyikan lagu sedih. Ah.., aku ingat kalau gadis itu sempat mengatakan kalimat 'dia akan menikah'. Apa jangan-jangan mempelai pria itu adalah pacarnya? Berarti pacarnya itu bodoh karena meninggalkan gadis secantik dia untuk wanita yang sangat biasa itu. Karena penasaran, aku mengikuti gadis itu berjalan menjauhi lokasi pesta. Aku bisa melihat bahunya bergetar. Gadis itu menangis. Berarti dugaanku benar. Kekasihnya meninggalkannya dan memilih wanita lain. Bodoh sekali lelaki itu. Dia tidak melihat betapa cantiknya gadis yang tengah menangisinya ini. Dia benar-benar lelaki terbodoh yang pernah ku temui. Gadis itu duduk di sebuah bangku panjang. Ia masih terisak dengan begitu memilukan. Aku sudah bersiap mendekatinya saat seorang wanita paruh baya mendatanginya. Melihat dari cara berpakaiannya, wanita paruh baya itu pasti salah satu asisten rumah tangga keluarga Halim. "Bu.." kata gadis muda itu sambil memeluk wanita paruh baya tadi. Ibu? Ternyata dia cuma anak pembantu. Pantas saja, kekasihnya meninggalkannya. Dia pasti malu kalau istrinya hanya anak seorang pembantu, makanya dia lebih memilih anak Pak Tua itu yang sangat biasa sekali. Perbedaan kasta, alasan yang sangat klise sekali. Aku kembali ke tempat pesta dan menghampiri sahabatku, Bayu. Gadis itu sudah lebih tenang setelah mendapat pelukan ibunya. Makanya aku bisa meninggalkannya tanpa perlu khawatir lagi. "Ck, ternyata cuma anak pembantu," gumamku pelan. "Siapa, Bro?" tanya Bayu. Rupanya telinganya masih cukup tajam untuk mendengar gumamanku barusan. "Gadis yang main piano tadi." "Maksud lo Calista?" "Oh, namanya Calista. Nama yang indah. Nggak sesuai dengan nasibnya." "Maksud lo Calista itu anak pembantu? s***p lo ya? Calista itu anak kedua si Pak Tua. Anak Bapak Agustian Halim. Cari mati lo bilang dia anak pembantu?" "Calista anak si Pak Tua? Jangan asal ngomong deh lo?" "Astaga Rafka.., jadi lo benar-benar nggak tau siapa Calista? Calista itu model terkenal, Rafka.." "Lo nggak bohong kan?" "Apa untung di gue coba kalau gue bohong. Hebat banget ya mantan lo itu, sampe bisa buat lo nggak kenal sama seorang Calista.." "Nggak usah dibahas lagi," ketusku. "Weits.., santai bro. Gue juga males ngebahas mantan sialan lo itu." Aku menahan emosi mendengar Bayu menyebut mantan terakhirku 'sialan'. Tapi emang Bayu lah yang tau bagaimana lika-liku perjalanan cintaku selama ini. Dia yang menemaniku saat aku down. "Ok, bro. Gue cari makanan dulu." Bayu beranjak menuju stand makanan. Aku berjalan menuju Pak Tua untuk mengucapkan selamat atas pernikahan putrinya. Saat itu aku melihat gadis tadi berjalan bersama wanita paruh baya tadi. Ia bahkan tidak terlihat bergabung bersama sanak saudaranya. Kalau tidak sendiri, ya bersama wanita paruh baya itu. Calista.. Putri kedua Agustian Halim. Aku harus mendapatkan informasi tentang dia. Pasti bukan hal sulit karena faktanya dia seorang model. Aku lalu mengambil handphone dari saku jasku. "Cari tau tentang putri kedua Agustian Halim secepatnya," perintahku. *** Nama : Calista Sabria Halim. Usia : 21 tahun. Pekerjaan : model. Pendidikan terakhir : SMA. "Apa-apaan ini? Kenapa cuma ini yang kalian berikan?" bentakku. "Maaf, Tuan. Nona Calista memang dikenal sangat tertutup. Sulit sekali untuk mendapat informasi lebih banyak tentang Nona Calista." "Keluar dari ruanganku. Percuma aku bayar mahal-mahal kalau cuma itu yang didapatkan. Nggak becus." Aku benar-benar emosi melihat informan-ku itu. Bagaimana bisa aku mengeluarkan uang sekian juta hanya untuk informasi tak bermutu itu. Bayu masuk ke ruanganku dengan cengiran khasnya. "Kenapa lo, bro? Stres banget kayaknya." Aku tidak menanggapi gurauan Bayu tersebut. Dia lalu membaca berkas yang tadi diberikan informan-ku. "Calista? Lo nyari tahu tentang Calista?" tanyanya. "Hm.." "Lo penasaran sama cewek angkuh itu?" Aku menautkan kedua alisku. Angkuh katanya? "Semua orang juga tahu kali, Bro. Calista itu sombong, angkuh, tak beretika. Ah pokoknya sifatnya itu nggak banget deh. Cantik sih iya, cantik banget malah. Cowok mana pun nggak akan mungkin bisa lepas dari pesonanya. Tapi kalau udah tahu sifatnya, semua cowok bakal mundur teratur kayaknya. Makanya sampe sekarang tuh cewek masih menjomblo. Eh, nggak tahu juga sih. Soalnya managernya selalu ngikuti dia ke mana-mana. Calista cantik, manager-nya ganteng. Bisa aja kan mereka menjalin hubungan diam-diam?" "Lo kok bisa tahu banget gitu?" tanyaku curiga. "Yaelah.., kan udah gue bilang semua orang juga tau. Lo aja yang nggak tau kayaknya. Eh, lo ngapain nyari tahu tentang Calista? Udah bisa move on lo?" "Lo udah bosan kerja sama gue? Mau lo gue pecat?" Selain sebagai sahabatku, Bayu bekerja di kantor sebagai asistenku. "Kejam banget lo, Bro. Iya deh, gue minta maaf. Tapi lo benar-benar tertarik sama Calista?" "Apa salahnya?" "Ya emang nggak salah sih. Sensi banget lo hari ini. Udah kayak nggak dapat jatah aja." Aku berjalan menuju meja kerjaku untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda tadi. "Mau gue kasi usul nggak?" "Apaan? Jangan yang ngaco tapi." "Enggak, ini gue serius. Lo bisa manfaatin si Pak Tua untuk dapetin Calista. Setau gue si Calista itu nurut banget sama orang tuanya. Nih ya gue kasih tahu ke lo, sebenarnya Calista itu dipaksa jadi model sama nyokapnya." "Tuh kan lo mulai ngaco. Mana ada orang tua yang kayak gitu." "Terserah lo sih mau percaya apa enggak. Yang jelas itulah kenyataannya. Dia dipaksa jadi model sejak SD. Tuh cewek sama sekali nggak menikmati masa kecilnya. Cuma itu sih yang gue tahu. Karena emang si Calista ini orangnya tertutup banget." "Ide yang bagus," gumamku. Aku lalu menghubungi sekretarisku via intercom. "Atur pertemuan saya dengan Pak Agustian Halim secepatnya." *** Pak Tua itu menyetujui permintaanku untuk bertemu. Apalagi alasannya kalau bukan untuk kerja sama yang sangat diharapkannya. Ya, dia pasti mengira aku sudah menyetujui ajakan kerja sama darinya. Entah sudah berapa kali dia datang ke kantorku untuk membahas kerja sama tersebut. Sebenarnya kerja sama yang dia tawarkan ini tidak membawa untung besar bagi perusahaanku. Makanya aku selalu menolak ajakannya. Tapi dia tak pernah bosan untuk membujukku. Ia begitu yakin kalau proyek tersebut akan menghasilkan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan kami masing-masing. Ia tak pernah menyerah walau sudah berulang kali kutolak secara halus. Makanya dia kuberi julukan 'Pak Tua'. "Saya sudah mempertimbangkan tawaran Bapak," kataku. Dia terlihat gugup menanti keputusanku. "Saya bersedia menanam saham pada proyek Bapak tersebut. Tapi tidak ada yang gratis di dunia ini bukan?" "Anda memang pemuda yang penuh perhitungan Pak Rafka." Aku tersenyum sinis mendengar sindirannya itu. "Apa syarat yang Anda inginkan?" tanyanya langsung. "Saya menginginkan putri Anda menjadi milik saya." Dia terkejut mendengar pernyataanku barusan. "Tapi putri saya baru saja menikah minggu lalu. Bagaimana bisa Anda meminta saya menyerahkan putri saya kepada anda." Gantian aku yang dibuatnya terkejut. Dari pernyataannya tadi dia seakan mengatakan bahwa dia hanya punya satu putri. Tak ada putrinya yang lain. Apa yang sebenarnya terjadi di antara anak dan bapak ini? Jelas-jelas sewaktu di pesta itu, Calista tidak ikut bergabung bersama keluarganya. Dan sekarang Pak Tua ini seolah menegaskan bahwa putrinya hanya ada satu orang. "Calista Sabria Halim, bukankah dia juga putri Bapak?" tanyaku. Dia terdiam seakan baru mengingat bahwa dia punya seorang putri yang lain. "Saya rasa bicara kita cukup sampai di sini. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Dan, saya menunggu jawaban Bapak akhir minggu ini. Terima kasih dan selamat siang." Aku pergi meninggalkan kafe tempat pertemuan kami. Pak Tua itu masih terdiam di tempat. Pasti dia menerima pusing dengan penawaran yang aku berikan. Aku tidak peduli. Pokoknya Calista Sabria Halim harus menjadi milikku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD