Calista -His Wedding-

2805 Words
Kriiiingg ... Aku bergerak gelisah karena mendengar bunyi alarm tersebut. Masih belum mau membuka mata, Tidurku sudah terhenti karena bunyi itu. " Wake up , slepping beauty .." Ah, Varen .. Pasti dia yang memasang alarm tadi. "Aku tahu kamu udah bangun, Calista .." "Bentar Varen .., aku masih ngantuk banget." "No, Lista. Ini udah jam 10. Dan kamu belum sarapan. Cepat bangun, dan cuci muka kamu. Aku menunggu di meja makan." Aku bangkit dengan malas dari tempat tidur milik Varen. Tanpa perlu bertanya aku sudah tau di mana aku saat ini. Apartemen Varen. Bukannya aku sudah bilang kalau Varen itu gay ? So, aku nggak perlu khawatir menginap di apartemennya. Karena dia juga tidak tertarik pada tubuhku. Varen sudah menungguku di meja makan. Dia bahkan sudah menyediakan sarapan untukku. Tunggu .. "Bubur ayam?" tanyaku. "Ya, bubur ayam. Kamu yang tadi malam, Lis. Selamat pagi ini kamu harus sarapan bubur, untuk menetralisir alkohol di tubuh kamu." "Ck, dapatkah teori dari mana kamu?" "Dari Prof. Varen Theodor Asadel." "Ngarep banget jadi profesor," kataku tersenyum sinis. "Aku harus nggak sakit, Varen. Kenapa harus bubur ayam?" "Kamu sakit, Calista. Jiwa kamu sakit kemarin malam-" "Kamu itu yang sakit," potongku. "Nama keren, wajah ganteng, penghasilan cukup tapi malah menyimpang, suka main pedang-pedangan. So, jiwa siapa yang sakit, Varen Theodor Asadel?" tanyaku kembali dengan senyum sinis. "Bisakah kamu memanggilku dengan panggilan yang lebih sopan nona Calista? Aku lebih tua enam tahun dari kamu." "Tidak, sebelum kamu menyembuhkan penyakit menyimpangmu itu?" Dia terdiam seperti memikirkan sesuatu. Aku menyeringai penuh kemenangan. "Kamu ingat sama ucapanmu tadi malam Calista?" "Eh??" Memangnya aku ngomong apaan? "Kamu melupakannya?" "Aku dalam pengaruh alkohol, pasti omonganku cukup ngawur. Jadi nggak usah ditanggapi." Varen kembali diam dengan sorot mata yang sulit ku artikan. Ada apa dengannya? "Hari ini kamu free. Aku mau pulang ke Bandung. Cepat habiskan sarapan kamu biar aku antar pulang." "Kamu ngusir aku?" "Terserah kamu mau mengartikannya apa?" "Loh kok ngambek? Kamu marah sama aku, Ren?" Varen hanya mengangkat bahunya acuh sambil membawa piring kotornya. Kenapa sih ni anak? PMS Kali ya? "Terserah lo deh, Ren." Bangkit dari kursi, aku langsung mengambil tasku yang berada di kamar Varen. Lalu sesegera mungkin keluar dari apartemen Varen. Aku tak menghiraukan Varen yang terus berteriak memanggil namaku. Karena aku paling benci diacuhkan. *** Dua minggu menjelang pernikahan Nadhira, keluargaku disibukkan dengan persiapan pernikahan tersebut. Bahkan Mama yang biasanya tak acuh terhadap Kak Nadhira, tampak antusias menyambut pernikahan putri pertamanya. Sebenarnya aku benci harus memanggilnya 'kakak'. Tapi walau bagaimanapun, dia tetap kakak kandungku -dan aku sangat benci harus mengakui fakta ini-. Kecuali aku, hanya aku yang tidak bisa ikut bahagia dengan pernikahan mereka. Bahkan untuk sekedar berpura-pura pun aku nggak bisa. Bagaimana aku bisa bahagia melihat pria yang aku cintai harus menikah dengan wanita lain. Dan fakta yang lebih menyakitkan bahwa wanita itu adalah kakak kandungku sendiri. Apa yang akan kalian lakukan jika ada di posisiku saat ini? Aku yang lebih dulu mengenal Mas Rayyan. Aku yang mengenalkan Mas Rayyan pada Kak Nadhira. Dan Kak Nadhira tahu kalau aku mencintai calon suaminya itu. Dia tahu tapi berpura-pura tidak tahu. Picik bukan? Tapi itulah fakta seorang Nadhira Falisha Halim. Dia itu licik, dia memanfaatkan kondisi fisiknya yang lemah untuk merebut perhatian banyak orang. Dia merebut Papa dariku dan sekarang dia merebut Rayyan. "Mama udah mengosongkan jadwal kamu tiga hari menjelang hari H." "Ma.." protesku. "Kamu keberatan?" Aku menghembuskan nafasku kasar dan pergi meninggalkan Mama. "Terserah." Aku berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air minum. Kebiasaan ku sebelum tidur malam memang menyiapkan segelas air di atas nakasku. Aku sering bangun di tengah malam dan merasa kehausan. Karena malas harus turun ke bawah, makanya aku berinisiatif menyiapkan segelas air di kamarku. "Belum tidur, Dir?" tanya Papa pada Kak Nadhira. "Belum, Pa. Dira masih nyatat nama-nama tamu yang mau diundang. Takutnya nanti ada yang lupa Dira undang." "Dilanjutin besok aja, Sayang. Ini udah malam. Papa nggak mau putri kesayangan Papa ini sampai sakit. Yang ada bukannya nikah, malah masuk UGD." "Papa ih.. Masa' do'ain anaknya yang nggak baik gitu." "Makanya kamu nurut sama Papa. Pasti kamu belum minum obat kan?" Kak Nadhira nyengir mengiyakan pertanyaan Papa. "Kamu ini kebiasaan. Kalau kamu sampai sakit, siapa lagi yang jadi putri kecil Papa?" "Papa.. Dira kan udah gede, malah udah mau nikah. Lagian kan masih ada-" "Udah.., sekarang kamu istirahat," potong Papa. "Papa juga udah capek mau istirahat." Mataku memanas mendengar pembicaraan mereka. Kentara sekali kalau Papa memang tak menganggapku ada. Baginya putrinya cuma ada satu, putri kesayangannya, Nadhira Falisha Halim. "Non Sabria.." Aku lalu menoleh ke sampingku. Bi Darmi menatapku sendu. Mungkin dia juga mendengar apa yang dikatakan Papa barusan. "Bia tidur di kamar Ibu, ya.." Bi Darmi mengangguk sambil berusaha menahan air matanya. Ia lalu menuntunku menuju kamarnya. Aku masih berusaha keras menahan air mataku agar tidak keluar di sembarang tempat. Bagiku Bi Darmi bukan hanya sekedar asisten rumah tangga disini. Ia sudah jadi ibu kedua untukku. Makanya setiap kali kami hanya berdua, aku selalu memanggilnya dengan sebutan 'ibu'. "Peluk Bia, Bu.." pintaku lemah. "Udah lama Bia nggak tidur di pelukan Ibu. Bia kangen.." Bi Darmi ikut berbaring di atas ranjangnya. Ranjangnya memang terlalu kecil untuk ditiduri dua orang. Tapi aku tak mempermasalahkan itu. "Menangislah, Nak. Jangan ditahan, Sayang. Ada Ibu disini.." Dan pertahananku pun runtuh. Aku menangis terisak di pelukan Bi Darmi. Ia dengan sabar mengelus punggungku. Suaranya juga terdengar parau. Mungkin ia juga ikut merasakan kesedihan yang aku alami. "Bu.., Bia mau nanya sesuatu sama Ibu. Ibu harus jujur sama Bia, ya?" "Bia mau nanya apa sama Ibu, Nak? Tanyakanlah.., akan Ibu jawab semampu Ibu." Aku menghapus air mata yang terus mengalir di pipiku. "Bu.., apa Bia memang anak kandung mereka? Atau Bia cuma anak yang mereka adopsi sejak Bia masih bayi?" "Astaghfirullah, Bia. Nyebut Nak.., nyebut. Kamu nggak boleh mikir begitu, Nak." Bi Darmi semakin mengeratkan pelukannya. Aku juga semakin terisak dipelukan Bi Darmi. "Setidaknya Bia bisa nerima perlakuan mereka jika kenyataannya Bia bukan anak mereka, Bu.." "Dengar Ibu, Bia.. Kamu anak kandung Tuan Agus dan Nyonya Fenita. Ibu sendiri yang mengurus kamu sejak lahir, Nak." Aku terus menangis di pelukan Bi Darmi. Rasa sesak di dadaku belum mau menghilang. Rasa sesak itu malah semakin terasa menghujamku ketika kilasan-kilasan masa lalu melintas di benakku. Aku melihat Kak Nadhira sudah rapi dan berjalan keluar rumah bersama Papa. "Papa.. Papa sama Kak Dira mau kemana?" tanyaku. "Kakak mau ke Ancol sama Papa. Bia mau ikut?" jawab Kak Dira "Bia ikut, Kak. Tunggu Bia ya.." "Calista.., kamu mau kemana?" cegah Mama ketika aku ingin mengambil sepatu di kamarku. "Bia mau pergi ke Ancol sama Papa sama Kak Dira, Ma." "Enggak, kamu nggak boleh ke Ancol. Kamu ada pemotretan hari ini." "Bia mau pergi sama Papa, Ma." "Calista dengar Mama. Kamu nggak boleh pergi sama mereka. Kamu tetap pergi pemotretan sama Mama." "Ayo, Dira.." ajak Papa pada Kak Dira. "Pa.., Bia mau ikut sama Papa. Bia mau pergi sama Papa." "Kamu nggak dengar apa kata mamamu? Ayo, Dira. Nanti keburu cuacanya semakin panas." Papa lalu membawa Kak Dira masuk ke dalam mobil. Beliau sama sekali tidak menghiraukan aku yang terus menangis dan memanggil namanya. "Ayo, Calista. Kita harus siap-siap. Satu jam lagi pemotretan kamu dimulai dan Mama nggak mau sampai telat. Satu lagi, berhenti menangis." Ternyata lokasi pemotretanku hari ini berada di kawasan Ancol. Aku merasa senang mengetahui hal itu. Aku melirik ke arah Mama, tapi Mama tetap fokus pada ponselnya. Aku melihat seorang pria tengah menggandeng seorang gadis kecil. Papa dan Kak Nadhira. Aku ingin berteriak memanggil Papa, tapi Mama pasti akan memarahiku. Aku lalu menoleh ke arah kameramen, para kru dan juga Mama secara bergantian. Om kameramen masih sibuk mengecek kameranya, para kru sibuk menyiapkan lokasi, dan Mama masih sibuk dengan ponselnya. Kesempatan yang baik untuk kabur, pikirku. Aku berhasil melarikan diri dari mereka diam-diam. Lalu menyusuri Ancol, mencari keberadaan Papa dan Kak Nadhira. Beberapa kali aku menabrak orang yang tingginya melebihiku. Tak jarang juga dari orang yang kutabrak malah memarahiku. Aku hanya menundukkan kepala dan meminta maaf kepada mereka. Saat aku mengangkat kepalaku, aku melihat Papa dan Kak Nadhira yang tengah bersiap menaiki bianglala. Aku menjerit memanggil Papa tapi dia tak mendengarku. Papa mengangkat tubuh mungil Kak Nadhira menaiki permainan tersebut. Aku melihat Papa menciumi pipi Kak Nadhira dengan gemas. Kak Nadhira pun membalas ciuman Papa. "Pa..pa..hiks..Pa..pa.." Aku terisak memanggil-manggil Papa, tapi Papa sama sekali tidak mendengarnya. Dari bawah, aku bisa melihat Papa dan Kak Nadhira tersenyum bahagia. Mereka melanjutkan perjalanannya mengelilingi Ancol. Karena kondisi fisik Kak Nadhira yang lemah, Papa hanya mengajak Kak Nadhira bermain di arena permainan yang tidak menguras energi. Aku masih tetap mengikuti mereka yang kini berjalan menuju Sea World. Tangisku sudah berhenti, hanya menyisakan isakan-isakan kecil yang masih keluar dari bibir mungilku. Beberapa pengunjung menanyaiku penyebab aku menangis. Ada yang berniat membantuku kembali pada orangtuaku. Namun aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Sementara Papa yang berada beberapa meter di depanku, sama sekali tidak menyadari kalau aku mengikutinya sejak tadi. Beberapa kali aku melihat Papa meminta salah seorang pengunjung untuk mengambilkan foto Papa bersama Kak Nadhira. Seakan tak pernah merasa bosan, Papa kembali mencium pipi Kak Nadhira berulang kali. Tangisku kembali pecah melihatnya. Entah kapan terakhir kali Papa mencium pipiku seperti itu? Aku sama sekali tak mengingatnya. Mereka keluar dari Sea World. Tak pernah sekalipun Papa melepaskan genggaman tangannya dari Kak Nadhira. Mereka berjalan menuju arena kereta gantung. Saat mereka menaiki kereta gantung itu, aku berjalan kembali ke tempat Mama. Aku nggak mungkin bisa mengikuti Papa dan Kak Nadhira lagi, jadi aku memutuskan kembali ke lokasi pemotretan tadi. Sayangnya aku terlambat. Mama sudah tidak ada di tempat tadi. Bahkan tidak ada satupun orang yang ku kenal. Aku menangis keras dan memanggil nama Mama. Berharap Mama akan datang dan menghentikan tangisanku. Tapi sayangnya itu tidak terjadi. Bahkan sampai aku dibawa ke bagian informasi pun Mama tidak datang menjemputku. "Adik rumahnya dimana? Hafal alamatnya kan?" Aku mengangguk pada seorang wanita paruh baya yang menawarkan diri untuk mengantarku. Ternyata rumah kami berada di kompleks yang sama, hanya beda beberapa blok. Sesampainya di rumah, Bi Darmi langsung memelukku. Dia mengatakan betapa cemasnya ia mendengar kabar aku menghilang. Aku terus menangis memanggil Mama. Mama yang berada di lantai atas langsung turun ke bawah menghampiriku. Aku sudah bersiap untuk memeluk Mama, tapi Mama malah memarahiku dan menjewer telingaku. Tidak ada nada cemas dalam perkataannya. Mama hanya marah, marah, dan marah. Lalu setelah puas memarahiku, Mama pergi begitu saja dan menyuruhku mandi. Bi Darmi terus mencoba menenangkanku yang masih menangis. Bukan menangis karena Papa tidak mengajakku dengannya. Bukan menangis karena Mama memarahiku. Tapi aku menangis karena hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-9. Dan mereka melupakannya begitu saja. *** "Sudah siap Calista? Bentar lagi pemotretannya dimulai." Aku mengangguk lalu bangkit dari kursi di depan meja riasku. Salah seorang designer terkenal di Indonesia memintaku menjadi salah satu modelnya. Gaun merah yang kupakai saat ini adalah salah satu designnya yang akan segera launching tiga hari lagi. Berhubung hari itu adalah hari pernikahan 'kakakku tercinta', aku terpaksa tidak bisa menghadiri acara tersebut. "Wow.. Calista.. You look so hot." Aku menyunggingkan senyum sinis mendengar pujian dari kameramen itu. Aku tau ada niat terselubung dari ucapannya. Makanya dia menyebutku 'hot', bukan 'beauty'. Mata para pria yang ada di studio ini tak bisa lepas dariku. Sedangkan model wanita lain menatapku sinis dan mencibirku. Well, inilah sifat manusia. Selalu iri melihat orang yang jelas-jelas punya kemampuan lebih dari mereka. "Heh.., menang tampang doang," cibir salah seorang model yang aku tau dari tadi terus menatapku sinis. Aku menghentikan langkah ku tepat di depan model abal-abal ini. "Anda bilang saya hanya menang tampang doang? Heh.. Setidaknya saya jauh lebih bak dari anda yang.." Aku mencoba menilai penampilan model 'abal-abal' ini. " Tampang nggak menarik.. Tubuh kerempeng gini..dan ini.." kataku menunjuk dadanya. "Hasil dari suntik silicon. Sama sekali nggak ada bagus-bagusnya. So, jangan pernah mimpi untuk menyaingi saya. Karena dalam mimpi sekalipun itu tak kan pernah terjadi." Model aba-abalan itu menggeram marah di tempatnya. Kedua rekan sesama modelnya berusaha menenangkan emosi membara si model abal-abal itu. Dan aku hanya menyeringai penuh kemenangan ke arahnya. "Calista.." Aku lalu menoleh pada pria yang tadi memanggilku. Varen.., dia sudah kembali rupanya. "Lista.. Hey Calista.." panggilnya sambil menahan tanganku namun ku tepis secara kasar. Varen terus memanggilku berulang kali. Dia bahkan menyusulku ke ruang ganti. "Lista..stop.." Varen menahan lengan kananku. Aku berhenti melangkah dan memutuskan mendengarkan dia bicara. "Kamu masih marah samaku, Lis?" "Marah? Kenapa aku harus marah?" "I'm sorry, Calista.." "Sorry? Untuk apa kamu minta maaf?" "Karena aku mengacuhkanmu saat pertemuan kita terakhir kali." "Oh.., nyadar juga ternyata," jawabku dingin. Aku memang paling tidak suka diacuhkan oleh seseorang. Karena sudah terlalu banyak yang mengacuhkanku saat ini. Diacuhkan oleh kedua orangtuaku adalah hal yag paling aku benci. Makanya aku begitu marah saat Varen tiba-tiba bersikap dingin dan mengacuhkanku. Seakan aku nggak ada di apartemennya saat itu. "Forgive me, please.." "Okay," jawabku datar. "Really?" "Oh God.., stop it, Varen. Aku harus ganti baju sekarang." Varen terkekeh geli mendengar teriakanku. Dia lalu melepas tanganku dan membiarkanku masuk ke ruang ganti. *** Hari yang paling kuhindari ini pun tiba. Hari dimana pria yang kucintai telah resmi menjadi milik wanita lain. Bahkan mereka mengucapkan janji suci tersebut tepat di depan mataku. Hatiku hancur, hancur sehancur-hancurnya melihat dia dengan lantang menjawab ijab yang diucapkan Papa. Melihat dia memasangkan cincin kawin di jari wanita itu. Melihat dia mencium kening wanita itu dengan lembut. Melihat betapa bahagianya ia berhasil menjadikan Kak Nadhira sebagai istrinya yang sah. Rasanya aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini. Aku tak sanggup melihat kebahagiaan mereka. Tapi aku juga nggak mungkin memperlihatkan kepada mereka bagaimana hancurnya aku saat ini. Tapi aku nggak bisa menahan sesak ini lebih lama. Aku nggak sanggup.. "Calista.." Varen menepuk punggungku dengan lembut. Ya, hanya dia satu-satunya yang kupunya dan mengerti aku. Bahkan saat dia tidak mengetahui kalau aku mencintai Mas Rayyan, dia bisa melihat kehancuran di mataku. "Jadi orang itu Rayyan?" Aku mengernyit mendengar pertanyaannya. "Maksudnya?" "Ck.., jadi kamu benar-bemar nggak ingat apa aja yang kamu katakan saat mabuk malam itu?" Aku menggeleng cukup keras sambil kembali memasang wajah datarku. "Nggak penting juga." "Berarti permintaan kamu waktu itu juga nggak penting?" Aku memutar bola mataku malas. Ini sudah kesekian kalinya Varen membahas tentang ucapanku saat mabuk malam itu. "Kamu tau sendiri malam itu aku mabuk, Varen. Aku berada dibawah pengaruh alkohol. Jadi semua ucapanku itu pasti ngawur, apapun yang aku katakan saat itu." Aku melihat kekecewaan di mata Varen. Sebenarnya aku penasaran dengan semua yang aku katakan saat mabuk. Sepertinya kata-kataku waktu mabuk punya pengaruh besar ke Varen. Tapi aku ingin Varen yang menceritakan sendiri tanpa harus ku minta. "Ya udah kalau memang nggak penting, Lis. By the way, kamu cantik hari ini." "Aku memang selalu cantik." Varen tertawa mendengar kenarsisanku. "Ya..ya..ya.. Aku lupa sedang bicara dengan siapa. Calista Sabria Halim, model yang terkenal akan kecantikannya." "Oh.., tentu saja. Jangan pernah lupakan itu." Varen semakin tergelak mendengarnya. "Aku tidak akan melupakannya, Calista. Apa lagi sampai melupakanmu. Eh eh.., kamu mau kemana, Lis?" Aku terus berjalan meninggalkan Varen menuju piano yang disediakan di ujung taman ini. Resepsi pernikahan ini dilaksanakan out door dengan tema garden party. Beberapa pasang mata menyadari bahwa aku sudah duduk didepan grand piano ini. Entah siapa yang menaruhnya di taman, bahkan piano ini sama sekali tidak di fungsikan dari tadi. Piano ini hanya dijadikan pajangan untuk menambah kesan romantis pada pesta. Apa salahnya aku memanfaatkannya. Denting suara piano mulai terdengar di penjuru taman ini. Para tamu yang tadinya masih asyik mengobrol bersama orang yang mereka kenal, kini sudah memfokuskan pandangannya padaku. Ya, saat ini ratusan pasang mata itu sudah tertuju padaku. Terpaksa aku sendiri, sementara saja kini. Bersabarkan datang hari, meskipun kulelah. Aku takut kamu tak mengerti. Caraku sampaikan rasa ini. Kamu tak mengerti. Ajarkan aku tuk bisa dapat ungkapkan rasa. Agar kamu kan percaya begitu ku butuh cinta. Aku menghirup napas dalam sambil terus menekan tuts piano ini. Jangan sampai mereka melihat aku menangis di sini. Aku harus bisa menekan emosiku. Setidaknya sampai lagu ini selesai. Setelah itu, aku akan menjauh untuk menyendiri sampai emosiku stabil. Kembali lagi terulang, tergores hatiku ini. Setelah lama menyimpan rasa ini terlalu dalam. Terlalu dalam. Ajarkan aku tuk bisa dapat ungkapkan rasa. Agar kamu kan percaya begitu ku butuh cinta. Ajarkan aku tuk bisa dapat merangkai kata. Agar kamu kan dengarkan bibirku katakan cinta. Sekarang.. Para tamu benar-benar terfokus menyerahkan. Mereka bahkan tidak bergerak dari hanya untuk menyaksikanku. Atau mungkin juga mereka bingung. Aku sebagai adik dari mempelai wanita memberikan selamat lewat lagu, malah menyanyikan lagu yang jelas-jelas disampaikan emosiku saat ini. Ku benci Sendiri kubenci Sendiri . Takut gagal terus begini . Mereka memberikan tepuk tangan yang cukup meriah untukku begitu aku menyelesaikan aksiku. Aku langsung membalik dan meninggalkan piano tersebut, tanpa perlu repot-repot membungkukkan badan sebagai ucapan terima kasih pada mereka. Terserah mereka mau menilaiku apa. Aku hanya butuh menyendiri untuk mengatasi emosiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD