Bab Satu

1932 Words
Laki-laki yang bernama Biru Terang itu tampak kesal kepada bundanya, karena saat ini dia ada janji hang out bareng teman-temannya, tetapi malah disuruh mengantar saudari kembarnya ke rumah sakit. Sang bunda yang bernama Kejora itu tetap memaksa meskipun anaknya menolak, kalau bukan Biru yang mengantar Kala siapa? Sebab dirinya ada acara bersama suami, dan saudara sepupunya yang bernama Vano juga lagi di kampus. "Antar Kala ke rumah sakit atau Bunda bakal potong uang jajan kamu selama sebulan?" Ancaman Kejora selalu saja itu, dan sialnya Biru akan ciut jika mendengar ancaman itu, karena bundanya selalu serius jika mengancam. Pernah waktu itu Biru tidak mendengar perkataan Kejora dan benar uang jajan dipotong, sejak saat itu Biru jadi ngeri mendengar ucapan Kejora. Daripada miskin selama sebulan, lebih baik Biru menuruti ucapan Bundanya. "Oke, Bunda menang." "Sana jemput Kala ke kamarnya." Tidak ingin berlama-lama lagi, Biru pun langsung masuk ke kamar Kala, dengan perasaan kesal, ia menatap kala dengan tatapan datar.  Tentu saja Kala tak mau kalah, dia balik menatap tajam ke arah saudara kembarnya itu.  "Kata Bunda lo ada jadwal terapi, ya?" tanya Biru dengan datar. "Nyusahin aja tahu enggak!" Tidak menanggapi ucapan Biru, Kala turun dari kasur dan mengambil tongkat kruk, sebagai alat penyangganya. Gadis yang bernama lengkap senandung Kala Senja ini adalah gadis penyandang cacat dari lahir yang sudah bolak-balik rumah sakit dari dulu sampai sekarang, entah kapan dia akan bisa berjalan normal, entahlah. "Ru, kamu enggak mau bantuin aku?" tanya Kala karena melihat Biru yang sudah berada di depan. Biru menoleh ke arah Kala. "Manja! Jalan aja sendiri." Biru masih kesal dengan Kala, karena dia jadwal hang out bareng teman-temannya jadi batal, padahal dia mau nonton film keluaran terbaru di bioskop. Kala hanya bisa bersabar, mendapati sikap cuek dari saudara kembarnya itu setiap hari. Kala merasa Biru selalu bersikap sinis, jutek, dan bawaannya badmood kalau berada di dekat dirinya. *** Setelah sampai di rumah sakit, mereka langsung ke ruangan dokter Iqbal yang sudah menangani kaki Kala sejak 17 tahun lalu. Kala segera melakukan terapi, dibantu oleh para petugas fisioterapi. Kala sampai bosan melalukan hal ini, kakinya selalu bersentuhan dengan mesin-mesin terapi setiap minggu. "Biru tumben nemenin Kala, biasanya kalau engga Ibu Kejora, Pak Ken, atau Vano." Dokter itu sampai hafal nama keluarganya karena saking lama menjadi dokternya Kejora. "Kebetulan aja, Dok. Kebetulan yang lain pada enggak bisa." Setelah selesai dengan mesin-mesin itu, sang petugas pun menuntun Kala untuk menemui dokter, dan ia duduk di sebelah Biru. "Kakinya gimana, Kala?" "Mulai ringan sih, Dok, cuma belum bisa jalan sempurna." Dokter itu tersenyum. "Butuh proses, karena kamu bawaan lahir jadi sembuhnya memang lamban, tapi ini bagus perkembangannya, dulu waktu bayi, orangtuamu bawa kamu dengan kaki yang benar-benar enggak berfungsi. Kamu juga sekarang enggak perlu pakai kursi roda lagi." Kala dan Biru hanya mendengarkan ucapan sang dokter, karena itu ucapan yang sering dokter Iqbal katakan, sampai Kala bosan dengarnya. "Sama kamu itu jangan bolos terapi, biar kakinya cepat sembuh." Dokter itu memberikan resep. "Ini daftar obat yang bisa ditebus di apotek." "Obat yang di rumah masih ada, Dok." "Harus minum rutin, La. Itu kan jatah seminggu, kenapa belum habis?" Kala hanya menyengir. "Kadang lupa minum, Dok." "Ya sudah, habiskan dulu yang itu, baru tebus obatnya." "Iya, Dok. Makasih." *** Setelah keluar dari ruang terapi, Kala berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan Biru yang memiliki langkah kaki lebar, sampai akhirnya Kala terjatuh karena kesulitan berjalan terlalu cepat. Biru menoleh dan mendapati saudari kembarnya sedang terduduk di lantai. "Makanya jangan ikutin gue kalau enggak bisa!" Walau kesal, Biru tetap membantu Kala untuk berdiri. Setelah Kala berdiri dengan tegak, ia mengucapkan terima kasih kepada Biru, tetapi Biru kembali melangkahkan kakinya. "Ru, jangan cepat jalannya!" ujar Kala sedikit teriak. Akhirnya Biru menghentikan langkahnya, dan kembali ke posisi Kala, lalu berjalan di sebelah gadis itu tanpa sepatah kata. "Ru, aku lapar. Mampir makan ya." "Enggak. Makan di rumah aja." "Please," ujar Kala dengan tatapan memelas dan Biru bisa lihat dari ekor matanya. "Belum makan dari tadi pulang sekolah." "Hm." Kala tersenyum senang, walaupun Biru sangat cuek, tetapi ia yakin pasti sangat peduli terhadapnya. Setelah sampai di rumah makan nusantara, Kala memilih ayam bakar kecap dan jus alpukat kesukaannya, sementara Biru hanya memesan segelas es jeruk karena dirinya tidak lapar. Kala memperhatikam wajah Biru yang sedang memainkan game di ponselnya, lalu dia berpikir sesuatu. "Ru, kita kan kembar ya, banyak yang bilang kita enggak mirip, dan aku akui itu. Kira-kira kenapa, ya?" "Mana gue tahu, tanya aja sama Tuhan," ujar Biru tetap fokus pada ponselnya. "Tapi kata bunda, wajar aja kita enggak mirip karena kita beda jenis kelamin." "Hm." "Ru, kenapa kamu cuek-" Biru yang kesal karena diajak bicara terus, akhirnya dia mengalihkan pandangannya ke arah Kala, tentu dengan perasaan kesal. "Sekali lagi lo ngomong, gue bakal tinggalin lo di sini." "Ya gampang, tinggal aku aduin bunda." Biru menghela napas semakin kesal. "Dasar tukang ngadu." Dua orang cewek yang duduk tak jauh dari tempat itu, saling berpandangan, kemudian salah satu dari mereka langsung memotret Kala dan Biru. "Cherly harus tahu ini." *** Suasana mencekam terjadi di kelas itu. Ah, tidak juga, karena Biru maupun Kala merasa biasa di hadapan Pak Budi, selaku guru BK SMA Edelweiss, yang katanya terkenal killer dan menakutkan. Ini adalah kali pertama Kala dan Biru dipanggil ke ruang BK karena kasus yang buruk, mereka termasuk murid anteng karena tidak suka mencari masalah, lebih baik cari pahala. "Senandung Kala Senja dari IPA 1, betul?" Pertanyaan Pak Budi hanya diangguki oleh Kala. "Ceritakan kronologi gimana seragam kamu bisa basah? Kalian mandi bareng?" Bukan Kala yang menjawab, melainkan Biru. "Jadi, tadi saya lagi jalan mau ke parkiran, ketemu Cherly dan teman-temannya, keluar dari toilet dengan tampang mencurigakan. Akhirnya saya masuk, eh ternyata alat penyangga Kala dibuang ke sudut ruangan, dan bajunya disiram. Ya udah, saya pinjamin seragam saya." Pak Budi menatap Kala. "Betul, Kala?" Kala mengangguk. "Ya sudah, kalian boleh pulang. Besok baru Bapak panggil si Cherly." Saat melewati koridor, Kala melihat ponselnya, ternyata ada pesan dari Vano yang memberitahu bahwa dirinya sudah di depan gerbang sekolah. "La, pulang bareng gue?" Kala menggeleng. "Abang udah di depan." Biru tersenyum getir, ini dua kali dia mendapat penolakan, kalau ditolak sampai tiga kali, mungkin Biru akan mendapat piring cantik dari hadiah detergen. Biru belok ke parkiran dan Kala lurus ke arah gerbang. Di sana ada Vano yang sedang tersenyum ke arahnya.  "Halo, Princess." Vano membukakan pintu mobil untuk sepupunya itu. "Silakan masuk, Tuan Putri." Mobil Vano membelah kota Jakarta, tujuannya sekarang bukan rumah, melainkan di sebuah kafe, karena Vano ada janji makan siang dengan teman-temannya semasa SD. Awalnya Kala menolak karena ia tidak mau bertemu orang asing yang akan membuat dirinya tambah insecure. "Pacar lo, Van?" tanya salah seorang perempuan yang berlipstik merah merona itu. "Kok pincang?" Baru beberapa detik berada di sini, sudah membuat Kala merasa tak nyaman. Lain halnya dengan laki-laki yang duduk sebelah gadisnya, memandang Kala dengan kernyitan di dahi yang tampak jelas, seakan tengah memikirkan kursi roda. "Oh gue ingat, ini si Kala adik sepupu lo yang dulu pakai kursi roda, kan?" Kala menahan emosi agar tidak meluap di sini. "Coba bisa jalan normal pasti banyak yang mau, soalnya cantik" timpal cewek lainnya. Vano menggenggam tangan Kala memberikan kekuatan untuk gadis itu. "Gue rasa tujuan kita ke sini buat makan, bukan buat bahas kelemahan orang, kan?" Mereka pun membuka buku menu masing-masing, berbeda dengan Kala yang sibuk dengan ponselnya. Tak lama kemudian muncul chat dari grup Kennards family. Bunda: Kala, kamu di mana? Kata Biru kamu bareng Vano, kok belum nyampe? Kejora memang seposesif itu kalau sudah menyangkut Kala, ia tidak ingin anak perempuannya itu kenapa-kenapa, mengingat Kala yang memiliki kekurangan. Namun, hal itu kadang membuat Kala tidak suka, karena semua orang menganggapnya lemah perihal kepincangan ini. Senandung Kala Senja: lagi di kafe, bareng Bang Vano dan teman-temannya Di lain tempat, Biru langsung melempar ponselnya ke kasur saat membaca chat dari Kala. "s**t!" umpat Biru, setelah itu ia keluar dari kamarnya, lalu berteriak ke lantai bawah, di mana Kejora berada. "ANAK BUNDA ITU KAN CACAT, JANGAN DISURUH KELAYAPAN!" Kejora menengadah, menatap Biru yang sedang memasang wajah datar. "EH, KEBIASAAN SELALU BAWA-BAWA FISIK, BUNDA ENGGAK PERNAH NGAJARIN KAMU, YA." Karena jarak mereka yang cukup jauh, jadi ngomong pun harus teriak, padahal tanpa teriak  mereka bisa saling mendengar. "IYA-IYA BELAIN AJA TERUS ANAK BUNDA ITU!" Biru pun kembali ke kamarnya. "Itu anak sebenarnya peduli sama Kala, tapi gengsi digedein, persis banget sama ayahnya." Tak lama kemudian Kennard muncul dari arah pintu ruang tamu, tumben sekali pria itu pulang kerja pada tengah hari bolong, biasanya sore atau malam. Sementara Kejora memang tidak bekerja di sebuah instansi atau perusahaan, karena Kennard tidak ingin dirinya dan istri sama-sama sibuk, sedangkan anaknya tidak terurus. Sehingga Kennard membuat sebuah kafe untuk istrinya, Kejora punya kesibukan tetapi waktunya fleksibel, bisa pulang dan datang kapan saja. "Tumben pulang cepat, Yah," ujae Kejora setelah mencium tangan suaminya, lalu mengambil alih tas kerja. "Iya, enggak begitu banyak kerjaan di kantor. Ayah juga kangen Bunda." Kennard melingkarkan tangannya di perut Kejora, lalu diusapnya secara perlahan. "Kayaknya di sini kalau ada bayi lagi kayaknya seru ya." Kennard memang mesumnya tidak pernah hilang. "Lalu?" "Buat yuk, kan anak-anak juga udah pada gede." Kejora menghela napas. "Tapi gantian ya, Ayah yang hamil dan yang melahirkan." Namun, bukan Kennard namanya kalau tidak bisa merayu sang istri. "Kita bikin ya, satu aja biar ada suara anak kecil lagi di rumah ini." Kennard mencium leher Kejora, tidak tahu apa kalau titik sensitif Kejora di situ, dirinya akan mudah terangsang jika sudah disentuh oleh Kennard bagian leher. Kennard langsung menggandeng istrinya ke kamar, dan berbisik, "Lepas KB dan aku akan menanamkan benih unggulan." *** Biru melihat jam yang menggantung di dindingnya, ini sudah hampir sore, tetapi Kala dan Vano belum juga pulang. Ia menatap room chat Kala, ingin mengirim pesan, tetapi enggak mau ditolak untuk ketiga kalinya. Saat Biru ingin keluar dari room chat, tiba-tiba langsung muncul chat dari Kala. "Ah s**t, langsing keread, ketahuan banget gue kalau lagi buka chatnya dia." Kalamprettt: Biru, bisa jemput aku di Lotus Cafe, aku enggak betah banget di sini. "Giliran gue tawarin pulang bareng malah nolak, sekarang minta dijemput, dasar cewek!" Biru Terang: hm. Biru pun segera bersiap-siap, saat ia ingin mengambil kunci motor, tetapi langsung teringat bahwa yang akan dia jemput adalah Kala, sejujurnya Biru lebih suka motor daripada mobil. Ia pun meletakkan kembali kunci motor, dan mengambil kunci mobil yang berada di sebelahnya, dan segera bergegas ke Lotus Cafe.  Saat sampai di kafe, Biru menatap datar ke arah meja tempat Vano dan Kala berada, kemudian ia melangkahkan kaki ke sana membuat semua orang terkecuali Kala. "Biru ngapain di sini?" tanya Vano. "Jemput Kala." Lalu Biru membantu Kala untuk berdiri. "Tadi dia chat gue." "Maaf ya semuanya, aku duluan," ujar Kala yang hendak melangkah, tetapi langsung ditahan oleh Vano. "Kala pulang sama aku." Biru terkekeh pelan. "Dia yang minta gue datang, berarti Kala pulang sama gue." "Enggak bisa gitu, gue yang jemput dia ke sekolah, berarti Kala pulang sama gue." Biru dan Vano sama-sama tidak ingin mengalah, keduanya saling menatap satu sama lain. "Ayo, La," ujar Biru. Vano masih tak mau mengalah. "Ya udah, biar Kala yang nentuin." Vano menatap Kala. "Mau pulang sama Biru, orang yang dari kecil selalu acuh sama kamu, atau pulang sama Abang, orang yang selalu care sama kamu." Kala hanya diam, tak memberikan respons apa-apa. Biru menghela napas pelan. "Oke. Kalian pulang bareng aja." Biru keluar dari kafe itu dengan perasaan amarah. Tiga kali ditolak, seharusnya ia sudah mendapat piring cantik. "Hah, seorang Biru ditolak? Yang benar aja!" Ia memukul stir mobilnya dengan kesal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD