2. Salah Paham

1021 Words
Karina tidak mengejar sang suami karena pelanggan masih banyak yang datang. Ia akan tetap melayani pelanggan restoran sebagai bentuk tanggung jawab sampai dengan pukul sembilan malam nanti. Toh, belum tentu Evan akan langsung pulang ke rumah. Dering ponsel mengejutkan Karina saat ini. "Halo, San?" Sandra--salah satu sahabat Karina yang tak lain adalah sepupu Evan. Entah ada apa wanita itu mendadak menghubunginya. Karina mendadak merasakan tidak enak pada perasaannya. Ia takut jika ada kabar buruk saat ini. "Kamu masih sibuk, ya? Duh ... maaf malah jadinya ganggu. Aku mau ngabarin, lusa mau booking restoran kamu buat acara kantor. Ya, buat seratus orang aja sih. Untuk menu, nanti aku hubungi lagi." "Wah ... makasih banyak, ya. Kamu paling baik, deh." "Ini atasan aku pengen meeting di restoran tapi bawa banyak karyawan. Nggak paham gimana konsepnya. Untung ganteng, jadi agak termaafkan karena usul beliau yang dadakan ini." "Heh! Ingat anak dan suami." "Ingat kok, tapi anak Bosku ini gantengnya luar biasa. Mana masih muda banget. Nggak cuma ganteng, dia juga cerdas banget. Nggak heran kalo dari keluarga Batara." "Ck! Ntar malam disambung lagi. Restoran masih banyak pelanggan datang." "Oke, siaplah." Sambungan telepon itu terputus seketika oleh Karina. Ada beberapa pelanggan yang memesan makan malam. Jelas hal ini adalah sebuah berkah. Dari hasil restoran, Karina tidak lagi bergantung pada Evan. Entahlah, sudah sangat lama, Evan tidak memberikan uang bulanan pada Karina. Sementara itu, Evan kali ini menghentikan laju mobilnya pada sebuah minimarket dengan logo lebah kuning. Ia hanya datang untuk membeli kopi lalu duduk sambil makan roti. Pikirannya kacau ketika semua yang dikerjakan sama sekali tidak ada artinya di mata Rudi. Entah kesempurnaan apa yang diinginkan oleh sang atasan. "Pak, mau coba kopi produk baru dari Batara Corporation? Ini gratis untuk testernya." Salah satu SPG kopi menawarkan secangkir kecil kopi yang masih mengepulkan asap. "Boleh." Evan langsung menerima secangkir kecil kopi itu. Produk Batara Corporation memang tidak pernah gagal saat menjual produknya. Kualitas produk Batara tidak kaleng-kaleng dan mampu memasarkan dengan harga merakyat. Evan pun akhirnya mengambil beberapa sachet kopi itu. Lumayan, bisa diminum saat di kantor kala mengantuk. "Ini, uang kembaliannya, Pak." SPG itu menyerahkan beberapa uang pecahan lima ribuan dan dua ribuan. "Ambil saja," kata Evan sambil beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju ke parkiran mobil. Pukul sepuluh malam dan Evan kali ini melajukan mobil menuju ke rumah. Ia mengembuskan napas panjang ketika sampai di depan rumahnya. Ia teringat pertengakaran kecil tadi dengan sang istri. Evan mulai lelah dengan aduan setiap masalah kecil dari Karina. "Kamu baru pulang, Mas? Mai makan dulu atau mandi dulu? Biar aku siapkan." Karina tampak berusaha biasa saja saat menyambut kedatangan Evan saat ini. "Mandi." Evan menjawab singkat ucapan sang istri yang sudah bersusah payah melayaninya. Karina mengekori sang suami menuju ke lantai dua. Ia sudah menyiapkan air mandi juga pakaian ganti sang suami. Meski lelah, Karina berusaha melayani sang suami sebaik mungkin. Hanya saja, Evan sepertinya tidak pernah menghargai hal kecil yang dilakukan oleh Karina. Satu jam berjalan, Evan justru disibukkan dengan benda pipih di tangannya. Entah apa yang dikerjakan oleh laki-laki yang kini sudah memakai piyama satin seragam dengan dengan sang istri. Karina berdehem beberapa kali sebelum memulai obrolan. Ia jelas tahu jika Evan masih kesal dengan masalah tadi saat di restoran. "Mas ... aku minta maaf atas aduanku tadi saat makan malam." Evan mendongak menatap sang istri yang kini tangannya memilin kain baju bagian bawahnya. "Lagian, hal seperti itu masih saja kamu bahas. Kamu tahulah gimana Mama. Nggak usah bahas hal yang nggak penting. Aku lagi banyak pikiran di kantor!" Evan justru membentak sang istri dengan kasar. Karina menahan air mata agar tidak mengalir ke pipi. Evan sudah sangat berubah saat ini. Sudah bukan sosok laki-laki hangat yang selalu mau mengerti pasangannya. Entahlah, Karina tidak tahu apa penyebab Evan menjadi berubah saat ini. Evan kali ini menatap tajam Karina. "Kamu masih minum obat dari Mama?" tanya Evan mendadak keluar dari topik bahasan mereka berdua. "Ma-masih," jawab Karina dengan gugup karena takut pada sang suami. "Harusnya kalo kamu rutin minum obat dari Mama sudah bisa hamil saat ini. Aku tes kesehatan reproduksi juga hasilnya bagus. Aku capek Rin, kalo setiap saat ada orang yang tanya tentang anak!" Evan melampiaskan amarahnya pada sang istri. "Di sini jelas kamu yang nggak sehat!" ketus Revan dengan nada merendahkan. "Aku sudah berusaha patuh pada semua ucapanmu dan Mama, Mas. Apa pun aku lakukan agar bisa cepat hamil. Tapi, Tuhan sepertinya belum memberikan amanah itu," jawab Karina dengan mata sebak menahan tangis. "Tuhan? Kamu menyalahkan Tuhan? Yang benar saja Karina! Sejak awal pemeriksaan kandungan, sel telur kamu itu sulit dibuahi!" Evan kesal setiap kali membahas masalah ini. Karina mengembuskan napas panjang dan perlahan. Evan tidak paham maksud dari ucapannya itu. Karina tidak menyalahkan Tuhan. Ia hanya pasrah pada takdir dan berusaha keras melakukan apa pun agar secepatnya diberikan momongan. Pagi datang dengan cepat, kali ini Evan langsung ke kantor tanpa menyentuh sarapan yang sudah disiapkan oleh Karina. Ia juga tidak berpamitan pada sang istri yang masih berada di dapur. Karina hanya mengembuskan napas saat mendengar suara deru mesin mobil sang suami. 'Mengapa harus selalu seperti ini? Setiap kali berbicara Mas Evan selalu saja salah paham tanpa mau mendengarkan penjelasanku. Aku lelah.' Karina menghapus air mata yang selalu saja mengalir. Sikap dingin Evan kadang membuat Karina ingin menyerah. Berjuang seorang diri itu sangat menyakitkan. Andai kedua orang tua Karina masih hidup, tentu akan beda lagi ceritanya. Pukul tujuh pagi, Karina segera berangkat ke restoran. Ia memang selalu berangkat lebih awal dari semua karyawan. Bukan apa-apa, wanita cantik yang pagi ini matanya sembab itu ingin memberikan contoh yang baik pada semua karyawan dari restorannya. Karina juga sangat loyal pada semua karyawan yang memang sejak awal sudah bekerja di restoran ini. "Awh ...." Karina meringis kesakitan saat tanpa sengaja ada seseorang yang menyenggol bahunya saat berjalan. "Lain kali, kalo jalan itu matanya dipakai!" Suara bariton yang entah siapa itu justru menyalahkan Karina yang ditabraknya. Karina hanya mengembuskan napas. Ia menatap sekilas pada sosok yang memakai jas dan berdasi itu. Entah apa yang dilakukannya sepagi ini di depan restoran. Karina tidak mau berdebat karena hari masih pagi dan bisa merusak mood bekerja untuk hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD