BAB 1 Tolong Jangan Lepaskan Tanganku, Kak!

1619 Words
Daun gugur, cinta yang hilang Beterbangan terempas angin, Sepucuk daun jatuh di telapak tanganku, Kering dan mati [Liliana]         Masih teringat saat itu, Liliana. Gadis berparas manis dan berlesung pipit di kedua pipinya tengah memohon pada Kakak tersayangnya di Padepokan agar bersedia menerimanya menjadi murid. Tetapi, si Kakak tidak bersedia menerimanya sebagai murid tanpa memberikan alasan yang jelas. Di bawah pohon beringin itu dia memohon pada kakaknya yang biasa dipanggil Kaka Tirta. Derai air mata menetes membasahi pipi Liliana sebab diantara semua temannya yang mendaftarkan diri menjadi murid, hanya dia yang tidak diterima. Ya, hanya dirinya seorang tanpa memberikan alasan yang jelas. “Kumohon Kak, kenapa kau menolakku? Aku ingin, aku ingin membalas budi karena Kakak telah membersihkan diriku dari monster-monster itu. Aku tidak bisa membayarnya dengan apapun selain aku jadi muridnya Kaka…” itulah kata-kata yang diucapkan oleh Liliana pada Kaka Tirta, seorang Master di Padepokan Meditasi Tunggal miliknya. “Aku tidak melakukan apapun padamu, Lili. Memang sudah waktunya monster itu pergi dari dirimu. Jadi pulanglah, jadilah orang biasa. Lebih enak jadi orang yang tidak memiliki hal seperti ini, daripada kau menjadi seperti aku,”       Liliana adalah Liliana. Jika sudah ingin, maka dia harus. Jika tidak jiwanya akan terus merasa penasaran dan mencari-cari sampai dia mendapatkan apa yang dimauinya. Liliana duduk berlutut dan masih berharap dirinya diterima sebagai murid. Seperti mereka lainnya yang sedang berdiri tak jauh di belakang Liliana dan tengah melihat kelakuannya pada sang guru. “Aku tetap akan duduk di sini dan menunggu sampai Kaka Tirta menerimaku sebagai muridnya Kaka. Kenapa mereka diterima dan bisa ada di Padepokan ini sedangkan aku tidak, Kak? Kaka pilih kasih, Kaka tidak menyayangiku!” celotehnya saat itu bersikeras dengan pendiriannya. “Lakukan apa yang kau mau, jawaban itu akan muncul tak lama lagi!” ucap Kaka Tirta yang kemudian melenggang kangkung masuk ke dalam Padepokan dan menutup pintu ruang pribadinya. Meninggalkan sosok Liliana yang masih terduduk di atas lututnya dan menundukkan wajahnya menatap tanah hitam berbalut kerikil-kerikil tajam yang menusuk kulit lututnya. “Kenapa aku tidak diterima sama Kaka? Kenapa?!” tangisnya mulai berderai-derai membasahi pipinya dan juga tanah-tanah yang kering. Melihat pemandangan yang menyedihkan itu, mereka yang semenjak tadi berdiri dan memperhatikan gadis itu pun berjalan menghampiri untuk menghibur Liliana. Si wanita berambut cokelat dan khas dikenal dengan topi baretnya itu menepuk pundak Liliana. “Sudahlah, berdirilah. Tinggalkan tempat ini,” ucap Arvita Theeta yang menarik lengan Liliana agar tidak terus berlutut mengharapkan belas kasihan dari sang Master Padepokan. Tirta Adipramana. Sesosok lelaki yang berkarakter tegas dan berjiwa pemimpin juga ksatria. Menghadapi Liliana pun tidak memandang siapa dia itu perempuan atau laki-laki. Semua sama. Apalagi jika ada yang ingin diterima sebagai seorang murid. “Tapi Kaka Tirta belum menerimaku, Kak Arvit, aku tidak mau, aku harus jadi muridnya!” tolak Liliana bersikeras pada pendirian. “Sama-sama keukeh, sama-sama keras. Kalian jika jadi guru dan murid akan selalu bersilang pendapat. Sudahlah, ayo kita keluar dari sini.” “Tidak mau!” Arvita Theeta mengelus d**a, menghela napas panjang. Tidak disangkanya, gadis itu yang belum lama dikenalnya sebulan yang lalu mendadak berubah sikap dan pandangan. “Kau yakin tidak mau ikut aku saja?” Liliana menggeleng. “Atau kau ikut kakak-kakakmu yang lain, itu Kakek Darmo, Wildan, Anggara, dan yang lain itu banyak sekali. Kau tidak perlu memuja kakakmu itu.” Pesan Arvita sekali lagi padanya. Tapi, bukan Liliana namanya kalau tidak bersikeras pada keinginannya. “Tidak, Kaka pasti menerimaku,” “Kamu sudah berbeda rasa, mungkin Kaka Tirta sudah mengetahuinya. Dalam posisi sebagai guru dan murid tidak boleh ada rasa cinta.”             GLEK!             Bagaimana Arvita tahu tentang perasaannya saat ini, pada Kaka Tirta? Padahal dirinya sama sekali tak pernah mengatakan hal itu pada orang lain selain hatinya sendiri. Liliana menoleh pada Arvita.             “Si..siapa? Maksud Kak Arvit?” Liliana memasang wajah naifnya. Jika ketahuan tentang rahasia hatinya sendiri.             Arvita tertawa kecil, “Kau kira orang Indigo itu tidak tahu? Apa yang ada di dalam hati -dan pikiranmu, sudah terbaca melalui kode-kode alam tentang isi hatimu belakangan ini, Liliana. Sudahlah, ayo! Kau mau ikut aku tidak?” tawarnya untuk terakhir kali.             “Tidak, aku tetap di sini.” *             Siapa aku? Siapa? Mengapa aku tiba-tiba ada di sini, di tempat ini yang semula tak pernah kupikirkan sebelumnya. Siapa… siapa aku? Tak kenal siapapun lalu aku mengenalnya, mengenal dirinya, seorang lelaki yang mana aku menyimpan satu rasa padanya. Dia, yang membuat aku jatuh hati atas segala kata-katanya yang menggugah hati tentang kehidupan. Di mana kehidupan itu berbeda dengan kehidupan yang dijalani manusia biasa. Petuah-petuah akan hidup yang sarat makna, tak pernah kudengar selama ini.             Tapi…             Siapa aku? Siapa? Mengapa aku ada di bawah pohon besar ini dan berlutut memohon padanya agar aku dicint.., oh tidak maksudku diterima menjadi muridnya. Dalam lirih suara angin, tak kudengar lagi suara-suara orang lain yang semenjak tadi menunggu dan memperhatikanku. Meski sang surya, oh… sudah terik rupanya! Tapi aku tak merasakan panasnya. Walau kurasa air keringat ini menetes dari kening sampai ke leher, asal Kaka Tirta menerimaku menjadi muridnya. Aku sudah senang dan bahagia. Bahkan jika aku harus ada di tempat ini sehari semalam. Asal aku bisa membalas budi karena dia telah membebaskanku dari ikatan monster jahat yang ada di dalam tubuhku selama ini.             Siapa aku? Siapa?             Sudahlah… aku bertemankan dengan angin dan canda-canda syahdu dedaunan yang mulai rontok dari dahan rantingnya. Seperti hujan, ya… hujan dedaunan yang kurasakan amat lembut. Kupejamkan mata ini dan kuingat kembali saat-saat itu, ketika aku menatap mata tajam itu untuk pertama kalinya. Aku sudah jatuh hati. Apakah memang cinta antara guru dan murid itu terlarang?             Jika dia tidak menerimaku menjadi muridnya, apakah Kaka juga memiliki rasa padaku agar aku… ah, apakah ini halusinasi tertinggi bahwa dia menginginkanku menjadi kekasihnya?             Sekali lagi, siapa aku? Siapa?             Mengapa aku tiba-tiba ada di sini, di tempat ini yang semula tak pernah kupikirkan sebelumnya. *            Sesosok lelaki mengintip dari luar gerbang Padepokan Meditasi Tunggal. Ketika semua murid sudah keluar termasuk dirinya. Dia masih tetap ada di depan gerbang dan menunggu sesuatu. Lelaki tua itu mengintip ke arah di mana Liliana duduk berlutut di bawah pohon besar dan menanti sang Master datang menjemputnya. Lelaki tua itu biasa dipanggil Kakek Darmo, dia adalah orang pertama yang menemui Liliana saat gadis itu baru datang dan mencari sang guru di Padepokan.             “Kakek, maaf apa ini Padepokan Meditasi Tunggal ya? Aku mencari Kaka Tirta.”             Itulah kata-kata yang sampai saat ini belum bisa dilupakan oleh Kakek Darmo dengan senyum berlesung pipit Liliana yang terlihat cantik. Dan siang hari yang terasa terik ini, sebenarnya dirinya tak tega membiarkan gadis itu kepanasan meski rindangnya pohon sedikit membantu keteduhan.  Tapi celah-celah sinar matahari pun masih menembus di sela-sela ranting.             “Apa aku boleh membawakan payung untuknya?” ucap Kakek Darmo dalam hati. Sejak awal bertemu, dialah yang paling tahu tentang Liliana. Saat menanti datangnya sang guru masih bertugas di luar kota dan selama beberapa hari dia menemani Liliana di Padepokan bersama dengan yang lain. Lelaki tua itu menekankan tangannya di depan d**a, melihat sosok Liliana yang teguh pada pendirian tapi sedikit terlihat berlebihan. Dia pun menyadari apakah mungkin gadis itu menyukai sang guru.             Karena rasa itu, Kakek Darmo pun nekad masuk ke dalam Padepokan dan menawarkan Liliana payung hitam agar tidak kepanasan.             “Pakailah ini,” Kakek Darmo memberikan payung itu tapi Liliana hanya menengok saja, tidak menerima tawarannya.             “Pergilah, Kek. Jika mereka bisa diterima sebagai murid, kenapa aku tidak. Apa memang aku tidak mendapatkan kesempatan untuk jadi seperti mereka?”             “Tidak mudah, kalau kau tahu. Dulu saja, gurumu itu harus menunggu selama beberapa hari agar diterima oleh sang gurunya yang dulu. Hmmm…”             “Kalau begitu suatu hari aku pasti diterima kan?”             “Belum tentu, itu tergantung seberapa kuat dirimu bertahan,”             “Apa dulu Kaka Tirta juga sepertiku ini?”             Kakek Darmo menggeleng, “Tidak, dia  melakukan hal lain selain berlutut.”             “Apa itu?”             “Dia menyiapkan teh kesukaan gurunya, membersihkan dedaunan kering tiap pagi dan… membersihkan kaca dari kamar per kamar.”             “Seperti itu?”             Kakek Darmo mengangguk, “Maka berhentilah seperti ini, dan pulanglah. Kau tidak akan kuat dengan ujian dari sang guru.”             “Aku memakai cara lain dari Kek, aku hanya bisa seperti ini.”             “Berlututlah sampai lututmu terluka dan kau tidak bisa berjalan, lalu jika tak bisa berjalan, kau gagal diterima menjadi muridnya.”             “Kakek!”             “Jangan bertindak bodoh,”             “Aku tidak bodoh, Kek!”             “Berdiri dan tinggalkan tempat ini,”             “Tidak mau!” Liliana tetap bersikeras, padahal kedua lututnya sudah terluka. Tapi dia tidak merasakan sakit, yang dia inginkan adalah agar diterima menjadi murid di Padepokan. Titik. Dari seberang terlihat seorang kakek berambut putih dan berbaju putih panjang tengah terus memandangnya dalam diam tanpa ekspresi. Sampai kemudian dirinya berbalik punggung dan melangkah pergi meninggalkannya keluar dari dalam Padepokan. Tak ada yang melihatnya, tak satupun orang awam mengetahui keberadaannya. Hanya orang-orang yang peka dan terbuka batinnya bisa melihat kehadiran si Kakek berambut putih itu. Dia mendongakkan wajah ke atas menatap ke arah matahari dan berkata, “Apakah ini sudah saatnya aku pergi meninggalkannya? Kupikir waktunya sudah datang, dan menyadari segala hal tentang arti kehidupan yang sebenarnya.” Ucap si Kakek berambut putih yang kemudian terbang melesat ke suatu tempat yang jauh-jauh sekali.                                                                                             *             Namakaku Ki Abisatya, panggilanku Mbah Satya. Aku ingin menceritakan pada dunia tentang gadis kecil itu yang sudah kujaga sekian lama. Gadis kecil yang kupilih sebagai orang yang terpilih, dan aku sudah mencium aura itu semenjak dia terlahir ke dunia. Pada saat terjadi gerhana matahari. Dia adalah manusia yang spesial terpilih dari sekian banyaknya generasi-generasi.             Aku Ki Abisatya akan bercerita padamu tentang dirinya. Dari atas langit aku melihat dan bercerita tentang kehidupan.                                                                             *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD