BAB 2 Si Gadis Penatap Langit Pagi Hari

648 Words
Entah, apa yang sedang dinikmatinya. Dengan mengambil posisi terbaring di atas kursi panjang samping rumahnya. Gadis kecil itu membaringkan diri dan bermain dengan jari-jemarinya yang direkatkan pada kedua matanya seperti membentuk sebuah teropong. Sambil dia berdecak-decak kagum sendiri lalu membayangkan dirinya tengah berada di atas awan putih dan duduk di atasnya. Kadang-kadang, dia juga membayangkan dirinya menatap seisi bumi dari atas awan. Melihat birunya laut dan gumpalan-gumpalan awan putih seperti kapas. Gadis kecil itu mengarahkan jari telunjuknya ke atas langit dan mulai berkata-kata;             “Suatu hari aku bisa menggapai bintang dan sampai ke bulan. Aku suka langit, aku suka langit. Suka sekali…!” tak sadar dirinya terlalu asyik dengan bayangan imajinasinya, dia pun sampai jatuh dari atas kursi ke bawah.             BRUK!             Gadis kecil itu meringis menahan rasa sakit di pantatnya. Kemudian terdengar dari dalam suara sang ibu memanggil.             “Liliiii!” *             Pada suatu malam, Liliana mengalami sesuatu hal yang aneh. Di mana saat itu dia merasa melihat rumah yang ditinggalinya menjadi bukan seperti rumah. Melainkan satu pemandangan yang lain. Di sana dia melihat banyak sekali pepohonan yang rindang, gubuk-gubuk kecil yang berjejer seperti sebuah perkampungan yang asri. Dan banyak sekali orang-orang yang berkumpul untuk melakukan ritual doa. Gadis kecil itu melangkah masuk ke dalam untuk mengikuti rasa penasaran. Selangkah demi langkah dia memijakkan kaki, tiba-tiba dia dihadang oleh dua ekor harimau. Yang satunya adalah macan kumbang yang ada di sisi kiri, sedang yang satunya lagi adalah harimau belang di sisi kanannya. Keduanya memandu jalannya Liliana saat memasuki perkampungan tersebut. Anehnya, Liliana tak merasa takut sedikitpun. Meski hawanya terasa berbeda, bukan seperti di alam manusia. Pikir gadis kecil itu merasakan keanehan yang luar biasa. Tubuhnya pun terasa dingin, gadis kecil itu dituntun masuk ke dalam.             “Ini apa?” Liliana berkata pelan.             Tiba-tiba terdengar suara roarr dari samping kanan kiri di mana kedua macan itu seakan hendak berbicara dengannya.             “Kamu ada di alam gaib, dan ini adalah perwujudan dari rumah yang kau tinggali,” kata si Macan kumbang. Warna kulit macan itu hitam legam, si kucing hitam.             “Alam gaib?”             Si Macan belang ikut berbicara, “Ya, dan aku akan mengantarkanmu pada Kakekmu. Di sana,”             Liliana semakin merasa bingung, “Kakekku?”             “Ya, Kakek penjagamu,” gadis kecil itu mengernyitkan alis. Sebenarnya apa yang sedang dialaminya saat ini. Semua terasa aneh.             Tampak di gubuk paling ujung, duduklah seorang kakek berbaju putih dengan rambut panjangnya yang penuh uban. Dia memanggil Liliana untuk datang menghampirinya.             “Kemarilah, Nak…” panggilnya saat itu. Seketika langkah kaki Liliana pun bertambah semakin cepat dan sampai ke tujuan. Kakek berbaju putih itu, dengan seraut wajah tanpa ekspresi dan kulitnya yang berwarna putih pucat mempersilahkan Liliana mengambil posisi duduk di sampingnya.             Liliana, gadis kecil yang masih berusia 8 tahun itu dilihat oleh semua penghuni gubuk-gubuk lain dan yang ada di sekitaran si Kakek. Mereka semua terlihat menyukai Liliana dan merasa gemas lantaran gadis kecil itu sangat lucu. Liliana duduk di samping si Kakek berbaju putih dan Kakek itu pun menatap diri Liliana.             “Kakek siapa?” satu pertanyaan dengan muka polosnya gadis kecil itu bertanya pada si Kakek.             “Kakek adalah penjagamu,”             “Penjagaku?”             “Ya, Kakek akan selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi, dan menjagamu.”             “Ini di mana?”             “Ini adalah Sanggar Jati Panengkep, dan ini adalah istana gaib di dalam rumahmu.” Ucap si Kakek itu terakhir kali sebelum akhirnya, semua lenyap dari pandangan Liliana dan dia pun juga terbangun dari tidur siangnya.             Gadis kecil itu membuka matanya perlahan, dilihatnya langit-langit kamar yang putih dan kipas angin yang tergantung di atas berputar-putar seperti gasing tak pernah berhenti. Dia menoleh ke kanan kiri, yang terlihat hanyalah pemandangan akan kamarnya saja. Tidak ada pepohonan, gubuk-gubuk kecil dan si Kakek juga kedua harimau. Dia pun mencubit pipinya keras-keras.             “Ah, sakittt!” pekiknya, suaranya terdengar oleh ibunya dari luar kamar yang kemudian masuk ke dalam menghampiri Liliana.             “Hei, sudah bangun? Ayo makan siang!” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD