BAB 3 Mereka yang Tak Mempercayai

1131 Words
Keesokan harinya, saat acara sarapan pagi dimulai. Liliana yang tengah asyik menyantap makanan bertanya pada orang tuanya yang ada di samping kanan kiri. Gadis itu ingin menceritakan tentang kejadian yang baru dialaminya kemarin.             “Bun, tau nggak Bun?” tatapnya dengan mata polos.             “Tau apa?”             “Rumah ini itu kalau malam berubah jadi istana lo, Bun…, beneran! Buagus banget!” katanya penuh semangat.             Mereka berdua pun saling menoleh dan mengernyitkan alis. “Kamu mimpi?”             “Kayak nyata, Bun. Aku lihat ada dua ekor macan, sama Kakek baju putih di sana. Aku dibawa ke gazebo. Dan disuruh duduk di samping kakek itu, tau nggak Bun?”             Tentu saja kata-kata itu tidak bisa dipercayai oleh Bu Lien, ibunda Liliana dan juga Pak Sarjo, sebagai ayah Liliana.             “Berarti itu mimpi, Lil…, sudah teruskan makannya,”             Merasa tidak puas atas tanggapan orang tuanya. Liliana cemberut. Menampakkan raut muka kesalnya.             “Nggak ada yang percaya sama Lili!” gadis kecil itu beranjak dari kursi dan menuju ke kamarnya. Dia menutup pintu dengan keras.             Melihat tingkah anaknya yang tiba-tiba berubah menjadi aneh, ibunya pun bergegas menghampiri Liliana dan mengetuk pintu kamar.             “Duh, masih kecil saja, kalau marah seperti orang uda gedean, kalo gede kayak apalagi tuh? Buka dong, Sayang!” rayu sang ibunda mengetuk-ngetuk pintu kamar beberapa kali.             “Nggak mau, nggaaakk adaaaa yang percaya sama cerita Lili!” jawabnya dari dalam dengan suaranya yang lantang.             Bu Lien nampak mengelus-elus dadanya terus. Tak habis pikir hanya gara-gara ucapannya itu, membuat Liliana kesal dan marah.             “Maafin Bunda, Nak. Iya, Bunda percaya kok…, sudah sekarang buka pintunya ya?” wanita itu menoleh ke belakang dan melihat suaminya yang berdiri diam di belakang. “Lili ngambek,”             “Ya sudah, biarkan saja, nanti juga reda sendiri.” * Dear diary,             Kenapa tidak ada yang percaya dengan ceritaku tentang kejadian malam itu? Kau tahu? Aku seperti tengah berada di film Harry Potter. Di mana aku seakan melihat Kakek Dumbledore dan Narnia. Menakjubkan. Hanya kau yang kuceritakan tiap ada kejadian selanjutnya. Orang lain tak perlu tahu. Aku suka, aku seperti berada di dunia lain.             Tapi, apa aku bisa bermimpi untuk yang kedua kalinya? *   Di sekolah             Gadis itu duduk melamun di sisi jendela sambil bertopang dagu dengan salah satu tangannya. Meski suasana kelas terlihat sangat ramai pun—tak dapat membangunkannya dari lamunan. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, Liliana lebih sering terlihat melamun dan pandangannya kosong. Dia terus memikirkan tentang perjalanan di malam itu, tidak ada yang dapat memberikan jawaban yang cocok untuknya. Semua seperti misteri. Pun sebenarnya dirinya berharap agar kembali dapat bermimpi untuk kedua kali, entah…             “Liliana!” seru Bu Mei, guru kelas gadis itu yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Liliana dari mejanya.             Tak ada sahutan. Geramlah Bu Mei. Dia beranjak dari kursi dengan membawa sebuah penggaris di tangannya dan menghampiri Liliana. Digebraknya meja itu dengan sebilah penggaris kayu sampai membuat Liliana terkejut setengah mati.             BRAK!             “Liliiiii! Berdiri di depan kelas sekarang!” bentaknya keras mengheningkan suasana kelas yang sebelumnya terlihat ramai. Anak-anak sekelas pun mendadak diam dan melongo saat melihat Bu Mei berdiri dengan tubuh tegap dan memasang wajah murka. “Berdiri di depannnn!” *               Di ayunan taman belakang rumah.             Gadis itu dihukum oleh Bu Mei lantaran tidak mendengarkan panggilan guru. Dia diminta untuk pulang ke rumah dua jam lebih awal dari yang seharusnya. Dengan membawa selembar surat dari Bu Mei untuk diberikan kepada ayah-bundanya. Kini, apa yang harus dilakukannya selain diam dan hanya bermain ayunan saja sampai jam pulang sekolah usai. Kalau Liliana pulang ke rumah sekarang, pasti bundanya curiga. Tapi toh kalau tidak diberi tahu, besok pagi dia harus menyodorkan surat pemberitahuan itu pada bundanya. Perihal dirinya suka melamun di kelas dan tidak mendengarkan panggilan dari guru.             “Ah, susah. Aku takut Bunda marah,” Liliana terus mengayun ayunan pelan, sambil memikirkan sesuatu. Di taman belakang rumahnya itu sepi, hanya dirinya seorang yang ada di sana. Tiba-tiba terasa semilir angin yang membangunkan bulu kuduknya. Dan semakin terperanjat saat melihat dengan mata kepalanya sendiri ayunan di sebelahnya itu mengayun sendiri. Ya, ayunannya mengayun tanpa ada seorang pun yang mengayunkan. Liliana terdiam melongo, matanya mendelik. Sampai-sampai tak sadar dirinya terjatuh dari ayunan. Kakinya gemetaran, pun bergegas dia tarik tas yang ada di samping ayunan dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan taman ayunan belakang dan menuju ke rumah. Sebelum Liliana berbelok, dia sempat melirik ke arah ayunan yang masih terayun-ayun sendiri dan melihat sesuatu yang mengejutkan.             Terlihat seorang gadis kecil yang sedang bermain ayunan. Dan kemudian menghilang begitu saja. Ayunan itu pun terhenti. Lemas seketika Liliana dan gadis itu pun jatuh tak sadarkan diri tepat di beberapa blok sebelum rumahnya. Salah tetangga melihat Liliana jatuh ke tengah jalan dan berlari sambil berteriak memanggil namanya.             “Lilianaaa! Pak Sarjo, Bu Sarjo! Anak njenengan semaput!” tetangga depan Liliana, Pak Warno membopong gadis itu dan bergegas menuju rumah Pak Sarjo, ayahanda Liliana yang baru saja keluar dari dalam rumah bersama dengan istrinya.             “Loh, kenapa ini? Lili?” *               Pandangan mata Liliana kosong dan hanya menatap langit-langit kamarnya. Beberapa orang sekadar ingin tahu kondisinya dan bergantian keluar masuk ke dalam melihat gadis kecil itu. Sementara ayah dan bundanya kebingungan harus bagaimana menyikapi kondisi putrinya yang seperti…             “Dia ketempelan makhluk halus, Pak Sarjo…” celetuk salah seorang tetangga yang melihat Liliana dari tatapan matanya.             “Ketempelan?”             “Iya, pandangannya kosong. Biasanya salah satu sukmanya hilang,” tuturnya mengejutkan Pak Sarjo. Selama ini yang diketahuinya adalah saat Liliana pernah bercerita bahwa dia pernah bertemu dengan si Kakek baju putih itu.             “Eh, apa mungkin ada yang ngajak dia?” Pak Sarjo mengeryitkan dahi sambil melirik istrinya.             “Apa itu ya, Yah?”             “Sepertinya gitu, Bun…, kita harus cari ustadz di sini, buat ngembalikan kesadaran Liliana agar kembali pulih,” Pak Sarjo keluar dari dalam kamar dan mengambil gawainya, menghubungi salah temannya yang dianggap bisa menangani kasus-kasus gaib semacam itu.             “Nggak usah, Pak Sarjo. Saya bisa kok, biar saya saja yang nangani,” tetangganya bernama Yuk Lastri itu ternyata punya penglihatan gaib. “saya tadi komunikasi sama kakeknya dia, kakeknya bilang kalau anak ini tadi baru melihat penampakan di taman belakang rumah. Di ayunan itu,” kemudian Yuk Lastri meminta ibunda Liliana untuk menyiapkan segelas air yang akan dibacakan doa-doa dari ayat suci. “minta segelas air buat dia minum lalu usap ke wajahnya biar kembali normal.”             Yuk Lastri mulai membacakan ayat-ayat suci dari Al Fatihah, An Naas, Al Ikhlas, Al Falaq, dan ayat kursi selama beberapa kali sebelum akhirnya diminumkan pada Liliana dan sisa air minum tadi diusapkan ke wajahnya. “Bismillahirrahmaniiraahiim…!”             Seketika gadis kecil itu pun tersadar dan langsung menangis terisak-isak memanggil ayah bundanya.             “Bundaaaa, bundaaa, Ayahh!”             “Alhamdulillah!” spontan orang-orang yang berkerumun di dalam kamar pun kegirangan senang melihat perubahan diri gadis itu yang sudah kembali normal memancarkan aura wajahnya dan tatapannya tak lagi terlihat kosong. *            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD