BAB 4 Kakek, Peganglah tanganku ini

949 Words
Iringan lagu menyayat hati, Menambah rasa kalbu di dalam hati, Oh hati, ke mana diri ini… Yang sejati…               Liliana tidak masuk sekolah hari ini. Tubuhnya masih saja demam tanpa diketahui penyebab yang jelas. Beberapa dokter yang memeriksanya pun berkata kalau gadis itu baik-baik  saja dan tidak sedang sakit. Hanya saja sekarang ini dia lebih terlihat pemurung, menyendiri dan tak banyak bicara. Akhirnya, ayah bundanya pun membiarkan Liliana asyik di dalam kamarnya sendiri. Dinding-dinding kamarnya sampai diganti dengan wallpaper-wallpaper cantik penambah keceriaan. Tapi tetap saja gadis kecil itu susah tersenyum. Tiap hari pun dia diberi air minum doa agar hatinya kembali tenang dan tidak gundah. Hingga pada akhirnya dia pun duduk di sudut kamarnya dan bermain-main dengan imajinasinya sendiri.             Jauh di dalam hatinya, Liliana menyadari sesuatu bahwa dirinya yang sendiri di dalam kamarnya—sebenarnya dia tidak sedang sendiri. Tapi ada seseorang selain dirinya yang hadir bersamanya dan tak jauh di hadapannya. Meski seseorang itu tidak terlihat oleh pandangannya, tapi Liliana mampu merasa alias peka. Gadis itu ingin merasakan kehadirannya dengan membuka telapak tangannya lalu berkata pada angin,             “Kakek, coba Kakek pegang tanganku ini sebagai bukti Kakek ada di dekatku.” Liliana menunggu sesuatu terjadi, apakah benar mimpi yang sebelumnya itu berubah menjadi nyata. Bahwa dirinya ada yang menjaga,             “Kakek adalah penjagamu,”             “Penjagaku?”             “Ya, Kakek akan selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi, dan menjagamu.”             Tak ada sedetik dia membuka tangannya, tiba-tiba Liliana merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti energi yang terasa hangat menyentuh telapak tangannya, begitu hangat dan lembut. Liliana  tertegun dan merasa tak percaya bahwa apa yang dirasakannya benar-benar ada. Gadis itu tersenyum lebar seraya menengadahkan wajahnya menatap ke atas. Sesuatu yang tak nampak oleh mata namun dapat dirasakan benar kehadirannya.             “Kek, Kakek benar ada di sini. Lili yakin Kakek baik dan sepenuhnya menjaga Lili sampai nanti.” Gadis kecil itu meletakkan telapak tangan ke dadanya lalu memejamkan mata. Dia berharap suatu hari  orang lain akan mempercayainya, setidaknya percaya dengan ceritanya. Telapak tangan kirinya dibuka, namun tidak terasa ada energi apapun. Beda dengan yang sebelah kanan terasa ada energi hangat mengitari seluruh telapaknya. Tiba-tiba di belakang pintu berdiri sosok ibundanya yang ternyata semenjak tadi memperhatikan gerak-gerik Liliana.             “Lili…” *             Om Waluyo datang ke rumah menengok Liliana yang dikabarkan tengah sakit dan sudah tidak masuk ke sekolah selama beberapa minggu. Mendengar keluhan dari ayah Liliana, Om Waluyo pun langsung bisa menebak ke arah sana. Dia pun mendatangi salah seorang kawannya yang indigo untuk mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada gadis kecil itu. Tiba-tiba perilakunya berubah seratus delapan puluh derajat. Sesampainya di rumah Liliana, Om Waluyo mengajak bicara orang tua Liliana tentang perihal yang sebenarnya. Sedang gadis itu masih sibuk bermain dengan permainan bongkar pasang dan berbicara sendiri seolah ada temannya yang menemani bermain di dalam kamar.             “Jadi, sebenarnya anak ini kenapa, Dek Waluyo?” Pak Sarjo sengaja mengajak adik iparnya itu duduk di ruang dapur agar jangan sampai terdengar Liliana.             Om Waluyo mengeluarkan sebotol air mineral untuk diberikan pada keponakannya tersebut.             “Ini, air ini tolong diminumkan buat Liliana. Anak itu…,” jelasnya terputus.             Bu Lien mengernyitkan alis dan menatap serius, “Anak itu kenapa?”             “Dia, dia ada yang mengikuti sejak masih kecil,”             “Siapa yang mengikuti?” Bu Lien semakin tegang, tangannya gemetaran. Apalagi kemarin dia melihat dengan mata kepalanya sendiri tingkah gadis itu yang diluar kewajaran. Ngobrol dengan tembok.             “Khodam leluhur, dari Mbah buyutnya.” *             Malam harinya, Liliana mengalami demam tinggi. Penyakitnya benar-benar aneh, dibawa ke dokter pun hasilnya hanya ‘anaknya kecapekan’. Sampai akhirnya Pak Sarjo memilih untuk menerima apapun yang terjadi. Gadis kecil itu ada di antara posisi tertidur dan terjaga, pada saat itu dia seolah mendengar suara lelaki yang memanggilnya dari balik jendela. Liliana pun seakan diminta untuk menyibak tirai jendela kamar, disibaknya tirai berwarna biru itu dan sesuatu pun terlihat.             Sesosok lelaki tua berbaju putih dengan raut wajah tanpa ekspresi berdiri diam melekat di kaca jendela—menatapnya. Gadis kecil itu terperanjat dan mengamati lebih dekat apakah itu si Kakek penjaga atau bukan? Dan rupanya benar. Liliana berusaha untuk bangun dari tempat tidur tapi tubuhnya terlalu kaku untuk digerakkan. Dia hanya bisa terdiam menatapnya sambil menyunggingkan senyumnya yang imut itu.             “Kakek datang ya?”             Tidak ada sahutan dari si Kakek penjaga tersebut sampai akhirnya Liliana kembali menutup tirai jendela dan melanjutkan tidurnya. Entah, ketika dekat dengan lelaki tua itu dirinya merasa aman dan nyaman. Angin malam yang berembus menembus lubang-lubang ventilasi udara menidurkan si gadis kecil yang nyenyak. Meski keesokan harinya adalah hari perubahan yang mengejutkan Liliana tanpa dirinya tahu. * Dear diary,             Aku tidak mempercayai angin, yang datang membawakanku satu kabar baik. Tapi, aku  lebih percayai bahwa kedatangan sang angin akan membawaku ke satu tempat yang baru dan asing-berpindah tempat.             Aku tidak mempercayai udara yang kuhirup setiap saat ini benar-benar bersih dari kotoran. Bahkan aku memerlukan bulu-bulu hidung untuk menyaringnya sebelum masuk ke dalam saluran pernapasan.             Aku tidak mempercayai hujan yang turun itu mampu membasahi hatiku kali ini. Saat mereka memintaku untuk pindah ke rumah baru dan meninggalkan rumah ini. Dan aku benci suara tokek di malam hari yang sehari sebelumnya seakan memberiku sebuah pilihan, pergi atau pergi!             Ya, tidak ada pilihan maksudnya. Si tokek tidak memberi pilihan. Aku benci ini, mereka mencoba memisahkanku dari semuanya. Memangnya bisa? Iya, setidaknya selepas Om Waluyo kembali mendatangiku dan mengusapkan air doa-doa (air mantra) ke bagian mata dan seluruh mukaku beberapa kali.             Lalu Bunda membawaku pergi dari rumah ini.             Aku tidak mempercayai angin, yang datang membawakanku satu kabar baik.             Tapi aku lebih percaya bahwa perginya angin juga membawaku pergi selama-lamanya dari dunia yang tercipta.             Aku benci! *                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD