BAB 5 Berpesta di Malam Api Unggun

2221 Words
Dear diary, Ini seperti sebuah mimpi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bahwa aku bisa memiliki nama besar sebagai seorang penulis novel best seller. Sejak aku memenangkan lomba menulis itu, aku dikenal banyak orang dan memiliki penggemar setia. Uangku banyak, dan datang tiap bulan. Tabunganku tak pernah kosong…, untuk orang sepertiku, juta-juta saja sudah cukup untuk kubuat bersenang-senang dan menabung untuk masa depan. Aku punya nama pena ‘Liliana De Frank. Kenapa aku memakai nama akhir De Frank, sebab aku menyukai sosok Frank yang penuh misteri. Anne Frank yang meninggal akibat dari kekejaman Nazi di Jerman. Bagus kan? Namaku benar-benar menjual. Dan saat itu, aku menulis kisah tentang seorang gadis kecil berusia 13 tahun yang bekerja sebagai seorang badut perempuan di pinggir jalan dan berhasil mengubah dirinya menjadi seorang penyanyi terkenal.   Dunia seakan menyebut-nyebut namaku sebagai seorang novelis yang mengangkat tema orang kelas bawah yang berhasil mengubah masa depannya menjadi luar biasa.   Ini seperti sebuah mimpi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dan esok adalah hari pertama untuk novel ketigaku, yang menulis tentang kisah seorang pendaki gunung di Tibet yang hilang dan tubuhnya tak pernah ditemukan oleh siapapun, berjudul, ‘Lost in Everest’. Aku sangat suka sekali dengan covernya, dan aku percaya novel itu juga akan sukses menyusul novel-novel sebelumnya.   Hidupku seperti bercahaya dan esok aku diajak berkemah oleh CEO-ku di gunung Bromo bersama dengan teman-teman untuk merayakan launchingnya novel ketiga tentang pendakian gunung. Dan CEO-ku ingin merayakannya di gunung, sama seperti tema novel meski berbeda lokasi. Di novel lokasinya adalah Tibet, sedang di dunia nyata ada di gunung Bromo. Tapi, sebenarnya aku agak takut berangkat, seperti ada firasat tidak enak. Hanya saja, karena aku diajak sama Bos, jadinya aku sama sekali tidak bisa menolak. Apa maunya Pak Ardhan, apa mau seorang CEO ya harus diikuti, tidak ada penolakan. Dear diary, Ini saja yang ingin kusampaikan padamu, dan kutuliskan di sini. Aku masih berharap diriku akan tetap baik-baik saja. Bismillah. *               Ayah Liliana terlihat cemas saat hendak mengantar Liliana berangkat ke kampus. Karena seumur-umur, Liliana selalu tidak diperbolehkan untuk ikut dalam acara-acara perkemahan baik di sekolah maupun di kampusnya atau bahkan sekarang ini.             “Kamu yakin ikutan?” Pak Sarjo sedikit berat melepas anak semata wayangnya itu dari pandangannya.             Melihat Liliana yang masih sibuk mengepak barang-barang ke dalam tas ransel besarnya. Liliana menoleh ke belakang dan menatap wajah ayahnya, lalu menyunggingkan senyum lebar sampai giginya terlihat.             “Jangan khawatir, Ayah. Aku baik-baik saja…”             Itulah kata terakhir sebelum keberangkatannya ketika mobil bosnya terlihat baru saja sampai dan berhenti di depan rumahnya. Pak Sarjo mengikuti Liliana dari belakang dan begitu pula ibundanya yang baru saja membukakan pagar.             “Jaga Liliana, saya titip Liliana ya?” *             Perjalanan menuju ke Bromo pun terkesan sangat menyenangkan, apalagi semua orang ikut menyanyi lagu Genie on the bottle-nya si penyanyi Christina Aguilera. Naik mobil Luxio hitam yang cukup menampung hingga delapan orang membuat suasana semakin ramai saja. Semuanya ikut bernyanyi, termasuk Liliana. “If you wanna be with me Baby, there's a price to pay I'm a genie in a bottle You gotta rub me the right way If you wanna be with me I can make your wish come true You gotta make a big impression (oh yeah) Gotta like what you do.”        Siang hari tak terasa, dari Surabaya menuju ke pegunungan Bromo memakan waktu sekitar 3,5 jam lantaran agak macet selama dalam perjalanan. Semua barang-barang dinaikkan ke atas mobil, yang entah ada berapa kilo kalau ditimbang bisa jadi beratnya menyamai seekor anak gajah. Dan tepat di depan gapura pintu masuk ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, kendaraan pun berhenti sejenak.       Pak Ardhan selaku CEO menoleh ke belakang dan berkata pada semuanya yang ikut, “Kita ganti naik mobil jeep sekarang, bersiap-siaplah!” Pak Ardhan membuka pintu mobilnya dan keluar untuk menghubungi seseorang sambil menikmati udara segar di pegunungan. Mereka kini berpindah kendaraan dari mobil Luxio ke mobil Jeep ride menuju ke Bromo Camp Ground.             “Malam ini saya akan mengadakan pesta api unggun dan menyanyi untuk merayakan launching novelnya Liliana. Dan saya berharap semoga penjualan novel ini sukses!”             “Aamiinnn!” sahut mereka serempak menyahut kata-kata kata-kata dengan penuh semangat dan tatapan yang berbinar-binar.             Liliana menatap mata Pak Ardhan, ya… mengamati tiap sudut dari dirinya dimulai dari atas kepala dan rambut model tentara padahal perawakannya bos besar. Tinggi tegap dengan lengan bisep menambah kekekaran Pak Ardhan. Pun juga dengan kulitnya berwarna putih, mata lebar, hidung mancung dan bibir yang wah, kalau dibayangkan itu mirip seperti bibir Tom Cruise memikat hati para wanita. Apalagi tatapan matanya, segala hal tampak seperti Tom Cruise kloningan. Hanya saja Pak Ardhan tinggal di Indonesia, sedangkan Tom Cruise aktor luar negeri. Liliana kembali menyorot kaos abu-abu bertuliskan ‘I Love Hiking’ yang sejenak ingin diubahnya menjadi ‘I Love Liliana’. Pertemuan pertama dengan CEO tertampannya itu pertama kali saat Liliana diajak ketemuan setelah sebelumnya hanya lewat jalur daring saja. Dan Pak Ardhan ingin kenal lebih dekat dengan penulis barunya agar lebih terjalin hubungan yang erat antar penerbit dengan penulis. Apalagi saat dirinya diajak naik mobil pribadi Pak Ardhan yang wah banget, sedang CEO-nya itu sering berkata padanya,             “Ini mobil baruku dan kau baru yang kuajak ikut mengendarainya, Liliana. Kuajak kau keliling kota Surabaya sore ini sampai malam.” Tunjuknya ke mobil Toyota Alphard yang katanya harganya 1 milyar. “Kau tahu, ini adalah omset atas penjualan buku dan termasuk novel-novelmu Liliana. Kau hebat! Ayo, naiklah!” itulah tawaran pertama kali yang dirasa ‘wow’ oleh Liliana. Dia senang dapat membuat seseorang menjadi bahagia dan sukses apalagi atas dirinya, tentunya atas kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’alla yang juga ada di balik semuanya.             Mengenang memori itu, Liliana tersenyum-senyum sendiri. Dan lirikan itu pun terbaca oleh Pak Ardhan yang saat itu baru saja selesai urusan mengutak-atik gawainya. Dia mengambil duduk di samping Liliana dan keduanya tampak saling berpandangan.             “What’s wrong Mr. CEO?” celetuk Liliana menarik rambutnya ke belakang telinga yang sebelumnya terempas angin.             “Saya baru saja selesai mengurus urusan untuk launching novelmu itu di Gramedia Royal Plaza dua minggu ke depan. Kau tahu, ada yang ingin saya katakan padamu nanti saat kita sudah sampai di tempat kamp.”              “Apa itu, Pak?” Liliana dibuat penasaran. Lebih penasaran lagi saat tangan kanan Pak Ardhan tiba-tiba menggenggam tangan kirinya. Genggaman yang mengungkapkan sebuah rasa yang sangat dalam dan penuh arti. Liliana menundukkan wajahnya, rona mukanya pun seketika berubah memerah jambu. Dia palingkan wajahnya ke kanan untuk menghindari tatapan dari lelaki itu yang amat dikaguminya selama ini.             Oh, apakah ini…?  * Seperti syair di padang pasir tandus, Gersang dan kering air memaknai rindu Senja pun hadir membiaskan pancaran jingga, Senja yang laiknya menggugah masa laluku             Pak Ardhan bersama dengan lainnya, Hana, Toni, Ibrahim dan Rosita terlihat sibuk mendirikan tenda mereka. Ada dua tenda, satu tenda untuk laki-laki dan yang satu tenda untuk perempuan. Tenda biru adalah tendanya para laki-laki, sedang tenda kuning adalah untuk mereka kaum yang paling susah untuk dimengerti. Angin berembus menyejukkan tubuh dan kegiatan pecinta keindahan gunung. Tak lupa juga mempersiapkan kayu-kayu bakar untuk acara api unggun nanti malam. Di atas bukit, tampak dari kejauhan puncak gunung terlihat menakjubkan. Kitaran awan-awan putih menambah poin keindahan tersebut. Tidak sembarangan orang yang bisa melakukan kamping di atas bukit. Dan hanya ada beberapa spot yang diperbolehkan untuk berkemah.       Di Bukit Cinta mereka semua berkumpul, tapi tak lebih dari dua hari. Ya, hanya dua hari satu malam saja. Sekadar untuk menikmati sunrise dan mengagungkan nama Tuhan atas penciptaan alam semesta. Pesona sunrise gunung bromo semakin terasa dengan adanya pemandangan matahari terbit, Padang savana, Bukit teletubies, Kawah bromo dan pasir berbisik. Itulah yang dicari oleh Pak Ardhan, Liliana, Hana, Toni, Ibrahim dan juga Rosita.       “Hei, tolong pakuin yang ini dong!” celetuk Hana memanggil Toni yang ada di sebelah tenda biru.       “Paku sendiri masa nggak bisa sih?” ledek Toni sambil mengelap keringat di keningnya.       “Yee, masa cewe suruh maku-maku sih? Aku bilangin ke Pak Ardhan loh!” kembali Hana meledek.             “Jadi cewek yang kuat dong! Jangan ngalem…ih!” balas Toni lagi.             “Eh, jadi cowok tuh yang jentel! Nggak letoy!” Hana mulai naik pitam. Dia berjalan menghampiri Toni dan menantangnya sambil membawa palu.             “Mau apa? Mau apa?” tantang Toni.             “Pakuin atau nggak?”             “Kalau nggak?”             “Pakuin, atau nggak?”             “Kalau nggak?”             “Kujatohin palu ini ke kakimu, huh!”             BLETAK!             “Wadoouwwww! a***y!!!” pekik Toni kesakitan. Keributan mereka berdua pun sampai membuat yang lainnya ikut menertawakan. Memang Toni dan Hana selalu saja ribut, tidak di kantor, tempat lain pasti kalau keduanya bersama akan ada keributan sana-sini.             “Eh kalian, mau sampai kapan adu mulut? Mending kalian ke penghulu deh sana, cocok jadi suami istri tau!” sindir Ibrahim pada mereka. Dan seketika terdengar suara sahutan bersama,             “Huuuuu, sapa maooo!” sahut Toni dan Hana.             “Tuh, kan klop kalian itu!” ejek Rosita yang tengah mencari Liliana. “Eh, ngeliat Liliana nggak?”             Toni, Ibrahim dan Hana saling berpandangan. Juga Pak Ardan yang semenjak tadi tak memperhatikan siapapun karena disamping dia repot dengan urusan barang-barang yang baru dikeluarkan dari dalam mobil. Pak Ardhan banyak sekali menerima panggilan masuk meski dari gunung meski beberapa kali terdengar umpatannya karena masalah sinyal yang kurang bagus di tempat kempingnya.             “Lili ke mana?” Rosita menampakkan raut muka cemasnya dan bergegas mencari Liliana. “Hei, ayo cari Liliana.”             “Deuh, ini uda mau malam dia kok malah menghilang, Pak Ardhan! Liliana kabur!” tukas Hana kelimpungan. Dia bersama dengan Rosita bergegas turun ke bawah. Dan baru saja mereka berdua turun ke bawah. Terlihat sosok Liliana muncul di depannya sambil menenteng sesuatu.             “Lili! Kamu ke mana aja turun sendirian, kalo tersesat gimana?” Hana menghampiri Liliana dan merangkulnya.             “Aku baru jalan-jalan aja, ke bawah,” Liliana meringis. “maaf ya, nggak bilang.”             “Hati-hati lo jangan sendirian, kamu itu suka kabur!” Pak Ardhan berkecak pinggang sambil menekankan suaranya. “Dulu ada seorang anggota kemping yang hilang karena dia diculik sama jin. Kuingatkan kalian semua jangan ada yang melanggar larangan ini, mengerti?!” tegasnya kuat.             “Mengerti, Pak!” seru semuanya menjawab.             Liliana hanya bisa tertunduk saja, dia pun juga merasa tidak bersalah karena tadi cuma mau melihat-lihat sekitar saja. Meski dia mulai merasakan hawa yang kurang enak saat tengah berjalan-jalan ke bawah. Angin dingin mulai perlahan terasa, dan tenda-tenda sudah berhasil didirikan. Semuanya memutuskan untuk turun ke bawah bersama-sama, mencari tempat permandian umum untuk membersihkan badan mereka masing-masing. Ketika semuanya tengah berjalan, Liliana berbalik masuk ke dalam tendanya untuk mengambil tas kecilnya yang tertinggal. Di sana dia dikejutkan oleh sesuatu, sesosok kakek-kakek berbaju putih yang ada di dalam tendanya, tangannya membawa tongkat dan dia tengah menatap wajah Liliana tanpa ekspresi.             Liliana terjatuh dan bergegas keluar dari dalam tenda sambil tergopoh-gopoh dan menabrak Pak Ardhan.             “Hei, Lili, kamu kenapa?”       *  Dear diary, Aku menulis ini di dalam tenda, sendirian. Teman-teman semua ada di luar dan tengah sibuk mempersiapkan kayu-kayu untuk dibakar nanti. Ya, malam ini ada acara api unggun dan Pak Ardhan katanya akan menyampaikan sesuatu hal yang penting padaku dan semua teman. Juga acara doa bersama untuk terbitnya novel ketigaku yang baru agar bisa best seller seperti novelku yang sebelumnya. Kau tahu, jantungku berdebar saat ini. Jauh lebih kencang daripada sebelumnya dan ini aku seakan malu untuk menyampaikan ah, entah… apa mungkin Pak Ardhan akan menyatakan cintanya padaku begitu. Hihihi… Aku dicintai oleh seorang CEO penerbitan yang ganteng dan keren. CEO yang berpacaran dengan penulisnya sendiri, begitu. Genggaman tangan pada tanganku masih terasa sekali, aku kegeeran apa ya? Atau jangan-jangan aku sedang berhalusinasi? Diary, apa aku salah berkata padamu? Oh ya, cerita tentang sosok kakek itu apa aku juga sedang berhalusinasi juga? Aku sedikit merasa ada perbedaan, ya sedikit saja tapi mungkin aku Cuma salah melihat. Itu saja… mungkin. *          Ingatan Liliana kembali terbuka saat dulu pernah mengikuti kegiatan pramuka dan kemah di sekolahan. Di situ dia juga sempat menyukai sosok kakak kelas yang menjadi Kakak Pembina Pramuka dan wajahnya sangat tampan. Pemuda itu adalah cinta pandangan pertama Liliana, bagaimana tidak jatuh cinta? Ketika Liliana tengah mengikuti acara pembinaan agama di masjid sekolah malam itu, Liliana sempat tertidur bersandar di dinding masjid dan dibangunkan oleh Kakak Pembina itu, yang biasa dipanggil Kak Bram. Di mana Liliana ditepuk pundaknya dan diminta bangun lalu kembali ke tenda.             Itulah saat pertama dirinya jatuh cinta. Dan kemping ini adalah kedua kalinya semenjak itu. Liliana pun merasa terkantuk-kantuk tapi waktu masih menunjukkan pukul 7 malam. Itu artinya masih ada satu acara lagi dalam waktu tigapuluh menit ke depan. Saat tengah terkantuk itu, pundak Liliana ditepuk-tepuk oleh Pak Ardhan. Tapi pandangan Liliana dalam kondisi mengantuk itu mengubah wajah Pak Ardhan dan disebutnya,             “Kak Bram…,” ucap Liliana lirih.             Pak Ardhan mengernyitkan alis, “Kak Bram? Siapa itu?”             “Oh, Kak… Oh, ma…maaf Pak, bukan-bukan siapa-siapa,” jawab Liliana terenyak dan bangun dari rasa kantuknya.             “Bangunlah, sebentar lagi kita jalan-jalan malam,”             “Oh ya, tapi…. Boleh tidak kalau saya tidak ikut?”             “Loh, kenapa?”             “Badan saya agak meriang,”             “Meriang?”             “Pakailah sweatermu,”             “Sudah,”             “Dekati api unggun biar hangat,”             “Sudah,”             Dialog keduanya pun diputus tiba-tiba oleh Toni yang meminta agar waktu dipercepat untuk menjalani tugas kedua iaitu Jalan-jalan malam.             “Biar dia nggak ngantuk lagi, kayaknya kita harus turun bukit nih, uji nyali dipercepat saja, Pak.”             “Hah? Apa?” Liliana terenyak kaget sampai matanya melotot ke arah Toni. *                                                                              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD