BAB 6 Ciuman Hangat CEO

2251 Words
♫Bunda pernah berkata padaku, “Kelak suatu hari akan ada pangeran Yang mencium bibirmu pertama kali, Dan kau tak akan pernah lupa selamanya. ♫             Baru saja Liliana memijakkan kaki tiga langkah turun dari atas bukit, tiba-tiba dia merasa kepalanya pusing. Liliana merasa tak enak badan dan meminta untuk tidak jadi ikut jalan-jalan malam bersama.             “Pak, biar saya tinggal di dalam tenda saja ya?” pintanya sambil memegang keningnya. Udara dingin di malam hari sangat terasa dan sampai menembus ke tulang-tulang. Berbicara pun sampai mengeluarkan asap putih. Berbalut jaket tebal, topi gunung, sarung tangan untuk melindunginya dari serangan dingin pun masih saja hawa dingin itu mampu menembusnya.             “Sendirian? Berani?” Pak Ardhan sampai mendelik matanya.             Liliana mengangguk, “Ya, saya berani dan saya buat tidur saja di dalam tenda,”             “Yakin?”             Kepala Liliana dianggukkan dua kali, “Heem, yakin Pak!”             “Baiklah, dan jangan keluar dari tenda sebelum kami berlima kembali. Kau istirahat saja di dalam, OK! Ingat pesanku dan jangan sekali-kali melanggarnya!” tegas Pak Ardhan memasang topi senternya. “Sana masuk tenda, saya tunggu di sini,”             “Siap, Pak!” Liliana berbalik badan dan berlari masuk ke dalam tenda dan menutup tendanya.             Pak Ardhan pun memastikan semuanya baik-baik saja dan kembali turun bukit untuk menemani mereka yang lainnya. Meski sebenarnya hatinya merasa was-was meninggalkan Liliana seorang diri. Ada perasaan yang mengganjal. Tapi, perjalanan harus tetap dilanjutkan. *  Di dalam tenda             Apa yang dipikirkan Liliana saat dirinya tengah ditinggal sendirian di dalam sebuah tenda yang sunyi dan hanya terdengar suara kayu-kayu bakar yang sedang habis dilalap api? Selain rasa kesunyian yang mendera jiwanya. Liliana membungkus tubuhnya dengan kain selimut tebal dan duduk meringkuk sambil melatih napasnya agar kuat. Karena sekali salah tarik napas, bisa gawat nantinya. Di dalam selimut dia meringkuk dan menundukkan kepalanya di antara kedua lututnya. Tapi lambat laun, rasa sakit di kepalanya semakin menghebat. Liliana mengambil obat sakit kepala dan lekas diminumnya, kemudian dia merebahkan tubuhnya dan mencoba untuk tidur saja di tengah situasi yang terasa kurang nyaman. Yang dirasa sekujur tubuhnya mengalami mati rasa dan kaku. Tubuh pun mendadak lemas dan tak berdaya, Liliana pun tak sadar bahwa kulit wajahnya semakin memucat dan berubah putih. Napasnya pun perlahan semakin pendek dan sesak. Detak jantungnya pun bertambah cepat sehingga gerakan napasnya semakin tidak terkontrol.             Dan Liliana pun mulai mengigau, sempat matanya terbuka sedikit di antara remang-remang. Dia melihat kembali sesosok kakek berbaju putih memegang tongkat dan berdiri tepat di atas dadanya dengan kaki mengambang. Tak terlihat. Liliana terus mengigau meski dia sempat berkata,             “Ka… Kakek datang lagi.” Sebelum akhirnya dia jatuh tak sadarkan diri. Tubuhnya benar-benar terasa lemas dan tak berdaya. Semua pun berubah menjadi gelap. *              Pak Ardhan mendadak terjatuh karena terantuk batu di tengah perjalanannya turun dari atas bukit. Tiba-tiba saja lampu senter yang menempel di kepalanya mati sehingga dia tidak bisa melihat apapun.             BRUK!             “Pak, hati-hati!” pekik Hana menyusul bosnya itu dan membantunya bangun. “Bapak tidak apa-apa?” sambung Hana cemas.             “Tidak apa-apa, oh ya… kalian lanjut saja dulu perjalanan kalian, aku kembali ke atas mengambil senter baru. OK!”             “Baik, Pak. Siap!” celetuk Toni.             Pak Ardhan bergegas berbalik menuju bukit meski agak kesusahan karena lampu senternya sendiri mati. Tapi beruntung, dia masih ingat jalur-jalurnya karena sudah menandai tempatnya saat tengah mendaki ke atas.             Sebenarnya, jauh di dalam hatinya dia mencemaskan Liliana yang ditinggal sendirian di atas Bukit. Jadi, sekalian ingin tahu apakah kondisi Liliana masih baik-baik saja  atau tidak. Terdengar suara burung gagak yang aneh, tiba-tiba suara itu muncul dan menggema di sekitar pepohonan. Seperti ada firasat buruk, meski tak jauh agak ke bawah juga ada para pendaki yang sedang berkemah. Dalam setengah perjalanan naik ke atas, tiba-tiba Pak Ardhan melihat sosok kakek berjubah putih berdiri di hadapannya. Dari sorot matanya seakan ingin mengatakan sesuatu.             “Kakek ini siapa?”             “Cepat naik ke atas, dan tolonglah dia.” Sekejap kemudian bayangan kakek berjubah putih itu pun lenyap. Sungguh, Pak Ardhan merasa bulu kuduknya merinding seketika. Antara menahan hawa dingin ditambah pula dengan keterkejutannya melihat sosok kakek jubah putih itu tadi. Pak Ardhan mempercepat langkahnya dan sampai ke tempat kemping. Bergegas dia mendatangi kamp Liliana dan membuka tenda Liliana.             “Lili, Liliana?” Pak Ardhan menghampiri Liliana yang kala itu sedang dalam kondisi mengigau. Kulit wajahnya memucat dan dingin. Bibirnya berubah warna menjadi biru pucat, napasnya pun tersengal-sengal. Pak Ardhan menepuk-nepuk pipi Liliana dengan keras agar dia tersadar, tapi tak kunjung sadar. Sementara udara dingin di pegunungan semakin menjadi-jadi jika malam tiba, tubuh jika tak kuat akan menjadi beku dan bisa mati kedinginan. “Bertahanlah, Liliana. Bertahanlah!”             “Saya mau pu…pulang,” igau Liliana dalam kondisi tak sadar itu.             “Ya, saya akan bawa kamu pulang, tapi tak mungkin bisa malam ini. Cuaca sangat dingin, bertahanlah. Aku akan mencoba untuk menghangatkanmu.”             “Saya mau pu…pulang,” igaunya sekali lagi.             Pak Ardhan mengambil satu selimut tebal lagi dan diselimutkan ke tubuh Liliana, lalu mengikatnya dengan tali agar selimutnya tak terlepas. Kepalanya ditutup dengan topi gunung yang menutupi telinganya. Sementara resah melihat napas Liliana yang makin lama makin sesak. Sinyal pun lemah tak bisa digunakan untuk menelpon di malam hari. Kemudian Pak Ardhan mengingat sesuatu tentang penyelamatan pertama untuk menghadapi orang yang terkena penyakit gunung.             “Liliana maafkan aku, kalau ini terkesan agak porno buatmu. Tapi justru ini adalah pertolongan pertama untuk kasus hipotermia seperti kamu,” Pak Ardhan sebelumnya menutup tirai tenda dari dalam dan mematikan lampu petromak agar bayangan mereka tidak terlihat dari luar. Liliana terus mengigau tak jelas kata apa yang dia ucapkan. Pertanda bahwa kondisinya semakin gawat karena kesadarannya sudah benar-benar menurun. Pak Ardhan membuka jaket dan kaos yang dikenakannya lalu membangunkan Liliana dengan posisi duduk dan memeluknya lalu dia pun berbisik ke telinga Liliana. “Maafkan aku, ini demi keselamatanmu. Saya harus membuka bajumu agar tubuh saya ini dapat menghangatkanmu,” ucapnya berbisik di telinga Liliana.             Saat itu tangan Pak Ardhan hendak membuka jaket Liliana tapi tertahan oleh lengan Liliana yang seoalah tak mengizinkan.             “Ja.. jangan,”             “Liliana, ini harus. Kalau tidak kau bisa mati kedinginan. Dengarkan saya, saya sangat mencintaimu, percayalah padaku.” Ungkapan kata yang terakhir itu terdengar amat tulus hingga Liliana tak lagi menahan tangannya. Merasa mendapatkan izin, bergegas Pak Ardhan membuka pakaian Liliana dan sampailah pada kaos Liliana yang harus dilepaskan. Tubuh Liliana kehilangan kendali dan sangat menggigil. Tanpa berpikir macam-macam dilepaslah kaos berwarna pink itu juga bra yang dipakai Liliana. Semua harus dilepas agar tidak ada penghalang antar kulitnya dengan kulit Liliana yang harus menyatu. Dan Pak Ardhan memeluk erat tubuh Liliana, “Tenanglah, saya bukan laki-laki kurang ajar.” Saat itu bibir Liliana yang semakin membiru pun mencemaskan Pak Ardhan. Disentuhnya bibir Liliana itu dan dilumatnya lekat-lekat agar muncul energi panas yang dapat membuat hangat bibir Liliana. Meski tanpa balas, karena Liliana dalam kondisi tidak sadarkan diri. Berkali-kali Pak Ardhan mengucapkan, “maaf, tapi aku sangat mencintaimu, Liliana.” Diembuskannya kata-kata itu ke telinganya. Dilumatnya lagi telinga kanan kiri dengan mulut Pak Ardhan yang hangat. Turun ke bawah sampai ke leher. Dan tiba-tiba dia mendengar suara Liliana dalam igauannya.             “Ada Tuhan,”             Sedetik itulah Pak Ardhan yang agak lupa diri itu pun teringat kembali dengan tujuannya yang semula. ‘hangatkan! Hangatkan saja! Jangan memanfaatkan!’ dan akhirnya Pak Ardhan hanya memeluk tubuh Liliana saja tidak lebih dari itu sambil sesekali mengecup pipi Liliana yang empuk bak marshmallow. Angin dingin berembus sampai rasanya menusuk ke tulang-tulang. Tak mempedulikan bahwa Pak Ardhan sedang diperhatikan oleh empat orang karyawannya dari luar tenda yang keempat-empatnya saling menggigit jari.             “Mereka sedang apa di dalam, gelap?” bisik Hana pelan pada Rosita.             “Ssst, diam, ini urusan orang dewasa.” Jawab Rosita yang masuk ke dalam tenda biru.             “Eh, itu tenda kita, cowok!” si Ibrahim melarang Rosita masuk.             “Kalian berdua, Toni dan Ibrahim, tidur di luar depan api unggun!” perintah Rosita yang menanrik Hana ikut masuk ke dalam tenda.             “Hah, ini tidak adil. Kita harus bercinta dengan para nyamuk!” umpat Toni kesal sambil memperhatikan sesuatu di tenda satunya. Tidak ada suara, hening. *  Dear diary, Aku bermimpi sedang berada di dalam sebuah taman yang indah banyak bunga-bunga yang mekar mengitariku. Tapi, aku sendirian. Dan tidak ada siapapun bersamaku, aku melihat ke sekeliling. Ada satu ayunan yang tak jauh di sana seakan menyapaku. “Kemarilah, Liliana! Kemarilah!” jadi teringat diriku di masa kecil saat itu, ketika aku tengah bermain ayunan seorang diri. Sendirian melamun sepanjang hari tmemikirkan tentang bagaimana pulang nanti, apa aku akan dimarahi? Ayunan yang ada di rumah dahulu, sebelum akhirnya pindah ke rumah baru. Aku melihat sesosok gadis kecil yang sedang bermain ayunan di sana. Kuhampiri gadis kecil itu tampak sedang menangis. Kudekati dia perlahan, dan gadis kecil itu pun terkejut lalu turun dari atas ayunan lalu berlari kencang secepat kilat melesat lalu dan menghilang. Sungguh, aku sedang ada di mana ini? Terdengar suara-suara dari atas langit memanggil-manggil namaku. “Liliana, Liliana bangun.” *            Pipi Liliana ditepuk-tepuk beberapa kali tapi tetap tak menunjukkan respon apapun. Bahkan parahnya, tangan dan kakinya mengejang, napasnya sesak dan mengigau tidak menyahut saat namanya dipanggil.             “Pak, Liliana kenapa ini?” Hana sampai cemas dan ketakutan melihat kondisi Liliana seperti itu.             “Sudah sejak tadi malam dia kedinginan hebat seperti ini, sebab itu saya mencoba untuk menghangatkannya.”             “Oh, jadi tadi malam Pak Ardhan menghangatkan Liliana?” seloroh Ibrahim sambil menggosok-gosok telapak tangan Liliana yang masih terasa dingin.             “Lili kenapa kalau tidak kuat hawa pegunungan harus ikut?” Rosita mempersiapkan barang-barang Liliana untuk bersiap-siap dibawa ke rumah sakit. “Kita panggil tim bantuan saja, Pak.”             “Tapi ini masih jam 5 pagi,” Pak Ardhan melirik ke arah jam tangannya.             “Terus gimana, Pak? Ini kondisi gawat darurat,” Toni panik, sejak tadi berusaha menghubungi bantuan tapi terhalang sinyal.             “Saya akan membawanya turun, saya gendong dia sekarang. Tolong angkatkan dia ke punggungku, saya akan menggendongnya turun ke bawah.”             Toni, Ibrahim, Hana dan Rosita sampai melongo kaget. “Apa, Pak?”             “Sudah! Ayo cepat! Saya tidak mau kehilangan penulis kesayangan saya ini, dia harus selamat!” titahnya. *            Bahu seorang CEO yang memang terasa berbeda, begitu lebar, kuat dan kokoh. Sangat maskulin. Pun juga Pak Ardhan memiliki lengan yang kekar dan punggung yang runcing. Totalitas penampilan seorang CEO yang bisa dibilang tak ada duanya. Lelaki itu menggendong Liliana dan turun dari atas bukit dengan hati-hati. Menunggu datangnya bantuan pun juga tak bisa diharapkan kecepatan waktunya. Pikirnya, guna apa menguatkan otot dengan latihan gym setiap hari kalau tidak untuk digunakan dalam kondisi darurat seperti ini. Langkahnya jauh lebih hati-hati sebab dia membawa Liliana, takut kalau-kalau sampai terjungkal. Di samping dirinya fokus berjalan, Pak Ardhan terus mencoba memancing Liliana agar mau menjawab tiap pertanyaannya.             “Lili, Lili apa kamu dengar suara saya?” Pak Ardhan terus berbicara sendiri sampai ada sahutan dari Liliana. Tapi tak sekalipun Liliana merespon. Tubuhnya benar-benar lemas setelah sebelumnya sempat mengejang. “Lili, kau ingat tidak dengan novel yang kau tulis tentang pendakian itu? Kau juga ingat tentang Soe Hok Gie, kan? Lili, kau adalah penerus Soe Hok Gie, kau tidak boleh mati sekarang. Kau masih punya misi untuk dunia lewat tulisanmu yang menginspirasi banyak orang. Kau, bertahanlah dan jawab pertanyaanku. Apa kau bisa dengar, Lili?” Pak Ardhan mengguncang-guncang tubuh Liliana tapi tetap saja masih tidak ada respon apapun sebelum akhirnya terdengar suara darinya meski terdengar sangat pelan.             “Dingin, rupanya alam tak mampu kutaklukkan, tubuhku terlempar, keluar, tertumpuk oleh salju-salju yang menggunung…”   * Rumah sakit- Ruang UGD             Kabel-kabel alat perekam jantung beserta selang infus semuanya menempel di kulit tubuh Liliana. Tekanan darahnya turun drastis sampai memijak angka 60/80 mmhg, dengan kondisi detak jantung dan tekanan darah seperti itu. Tentunya Liliana mendapatkan perlakuan khusus di dalam ruang UGD tersebut dan para pengantarnya dilarang ikut masuk ke dalam. Nasib baik berada di dalam diri Liliana yang memang terbekali tubuh dan jiwa juga semangat hidup yang kuat. Di mana akhirnya dia mampu untuk melewati masa-masa kritisnya, setelah semuanya terlihat normal. Pada dokter keluar dan hanya tinggal dirinya dan seorang suster yang ada di dalam memeriksa kembali kondisi tekanan darahnya oleh sebab Liliana juga kekurangan kadar gula yang mengakibatkan tensi darahnya menurun drastis.             Dari luar ruangan UGD, Pak Ardhan berdiri dengan kepala menunduk sedang dirinya tengah berhadapan dengan ayahanda Liliana. Dengan suara lantangnya, Pak Sarjo memaki-maki Pak Ardhan karena tak bisa menjaga Liliana dan sengaja mengenalkannya pada dunia yang belum pernah dipijak olehnya sama sekali.             “Anda tau, Pak? Jangan lagi, saya ingatkan untuk yang terakhir kali ini. Jangan pernah lagi mengajak anak saya pergi berkemah di gunung! Kalau nyawanya tidak selamat, apa Anda bisa menggantinya?!” naik pitam hati Pak Sarjo, sebagai ayah Liliana dirinya merasa bersalah karena tidak bisa melarang keinginan dari putrinya itu.            Pak Ardhan duduk berlutut memohon maaf atas kesalahannya, dan juga agar dia dimaafkan oleh orang tua Liliana. Meskipun sampai harus berlutut, meskipun dirinya adalah seorang CEO, pimpinan perusahaan. Jikalau bertindak salah atas diri Liliana jika tak dimaafkan pun Pak Ardhan siap duduk berlutut selama berjam-jam sampai mendapatkan maaf.             “Maafkan saya, Pak,”             “Saya akui saya bersalah, Pak. Harap Anda sudi memaafkan saya ini, dan saya berjanji akan menjaga Liliana.” Ucapnya terakhir kali sebelum akhirnya suster yang ada di dalam ruangan memanggil keduanya dan diperbolehkan masuk ke dalam.             Bergegas mereka masuk ke dalam dan lega saat melihat Liliana sudah bisa menyunggingkan senyum kepada mereka berdua.            “Ayah, Pak Ardhan…”             “Liliiii!”  *                                                                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD