BAB 7 Saat Tak Sesuai dengan Harapan

1618 Words
“Lili…, Lili, Bukalah tirai jendelamu, Bukalah Lili…”               Hujan turun demikian derasnya mengguyur bumi di malam hari, bersamaan dengan embusan angin kencang yang membuat Liliana tiba-tiba kedinginan. Tidurnya pun tak nyenyak lantaran badannya terserang demam tinggi sejak dua hari yang lalu. Ditariknya selimut dan meringkukkan tubuhnya seperti seekor udang goreng berselimut. Di dalam selimut pun terasa tidak enak, demam tinggi membuat embusan napas yang keluar dari mulut pun ikut panas juga. Kepala pun terasa berat dan pening, pada saat itu Liliana seakan mendengar suara dari dalam batinnya agar lekas membuka tirai jendela. Dan…             SREET…             Liliana terenyak saat melihat sesosok kakek berjubah putih dengan rambut dan jenggot putih tengah berdiri diam menatapnya melekat di depan kaca jendela dengan mimik wajah tanpa ekspresi. Beberapa saat dia memperhatikan seperti pernah melihatnya kembali.             “Ka… kakek ya?” sayangnya karena kondisi tubuhnya yang tengah demam tinggi, Liliana pun akhirnya jatuh lunglai. Tepat ketika ibundanya datang menyalakan lampu dan hendak memeriksa suhu tubuh Liliana dengan alat termometer.             “Liiliii!” teriakan sang ibunda sampai membangunkan Pak Sarjo yang tengah tidur lelap di atas sofa.                                                                                         *         “Kau yakin sudah baik-baik saja, Li?” Bu Lien merias wajah Liliana yang hendak bersiap pergi menuju ke acara launching sore hari itu.             “Sudah, Bun. Insya Allah,”             “Lebih baik Bunda tunggu ya sampai acara selesai?”             Liliana menggeleng, “Nggak usah, Bun. Nanti kan diantar sama Pak Ardhan, Lili bisa jaga diri kok,”             “Ya sudah kalau gitu, hati-hati di jalan,” ucap Bu Lien terakhir kali sebelum dia kecup kening Liliana dan mengizinkan keluar rumah setelah dijemput oleh Pak Ardhan ke rumah. Pak Ardhan keluar dari mobil dan meminta izin Ibunda Liliana.             “Saya pinjam sebentar putrinya, doakan semoga acara sukses ya, Tante.”             “Iya, aamiin.”             Dan keduanya pun masuk ke dalam mobil. Kendaraan pun melaju dengan kecepatan standar, sepertinya Pak Ardhan akan memberikannya wejangan tentang bagaimana acara nanti dan apa yang sudah dipersiapkan oleh Liliana.             “Saya sudah menghubungi pihak Gramedia untuk mempromosikanmu sebesar-besarnya, agar acara launching ini nantinya sukses. Novelmu kali ini harus benar-benar sukses seperti yang kemarin, Lili!”             “Jangan terlalu berharap sama saya, Pak. Berharap sama Tuhan saja,”             “Kenapa begitu? Ini adalah karyamu, tentang pendakian gunung yang sama sekali baru untukmu. Dan kau bisa menulisnya dengan amat baik,”             “Tapi, kalau ternyata tak sesuai prediksi, apakah Pak Ardhan akan membenci saya?”             “Tidak, kau adalah kesayanganku,”             “Pak, boleh saya tanya sesuatu?”             “Boleh,”             “Sewaktu di kamp kemarin itu, apa yang Pak Ardhan lakukan pada saya?”             “Oh, itu…, oh…, ehm, jadi gimana ya? Jadi begini, eh ini adalah pelajaran tentang Kimia atau eh, apa ya? Fisika atau Biologi? Tentang penentuan suhu dan perubahan suhu manusia itu?”             “Fisika,”             “Ya, di pelajaran Fisika itu kan dijelaskan tentang seseorang yang mengalami hipotermia, itu harus saling berbagi panas untuk tubuhnya. Dan itu eee… memang harus ada kemelakatan antar kulit dengan kulit. Jadi, yang kulakukan itu adalah tindakan pertolongan pertama untukmu, kalau tidak seperti itu. Saat ini mungkin kau sudah tidak ada bersamaku, Liliana.”             “Oh, begitukah? Eh, Pak Ardhan tidak …”             “Sumprit! Tidak! Saya tidak ngapa-ngapain kamu suerrr! Kalau boleh disambar petir!”             Tiba-tiba terdengar suara…             JLEGERR! Tepat tak jauh di seberang kiri ada pohon tumbang karena tersambar petir. Sampai menutup jalan, beruntung saja mobil Pak Ardhan tidak berada di sisi kiri. Keduanya pun hening, Liliana hanya tertunduk saja. Tidak berbicara apapun. *                   Di dalam ruangan HRD Toko buku Gramedia itu, dia diminta untuk masuk ke dalam dan mempersiapkan dirinya sebelum acara dimulai. Sesosok pria berkumis yang duduk di depannya itu memberikan wejangan pada Liliana berikut Pak Ardhan yang berdiri di samping Liliana.             “Ini harus sesuai ekspetasi atau kalau bisa di luar ekspetasi kita. Dan penjualan hari ini harus benar-benar fantastis. Paling sedikitlah lima puluh persennya karena kami sudah menata semua ini dengan sangat baik jadi kau harus sukses di launching buku ini, Mbak Liliana.” Titah Pak Joyo dengan penuh ketegasan. Liliana bertambah gemetaran kaki dan tangannya persebab tuntutan itu.             Aaduh…! Gimana kalau nggak berhasil? Aku bisa mati kutu… :(  sedang firasatku tidak baik. Ohh, Ya Allah beri hambaMu kekuatan.             Tiba-tiba ada seorang SPG berlari masuk ke dalam ruangan kantor sambil terengah-engah. Mimik wajahnya terlihat cemas, sepasang alis SPG itu sampai bertemu.             “Maaf, Pak HRD, di luar… sampai saat ini masih tidak ada seorangpun yang datang ke acara launching Mbak Liliana. Kosong melompong!”             “Apa???!” semuanya pun serempak menjawab.                                                                                             *              Cara pandangku[1] Kau tahu burung? Patahkan saja sebelah kakinya Lalu simak kepedihan berikutnya Saat kau tahu apa akibatnya             Apa masih perlu ku perjelas             Anggaplah aku burung murah itu             Kau cacatkan satu kaki             Layaknya cacatkan gumpalan bahagia ini Terkesima Bukan dengan niatmu Namun caramu menyesuaikan akal Yang tak lebih dari hewan yang hina             Takjub             Bukan karena kepintaranmu             Tapi akan kebodohanmu             Yang memperbudak dirimu Kagum Bukan karena cintaku padamu Tapi karena ku mendukungmu Perlahan-lahan meraba jalan Menuju kegagalan setelah ini   [1] Karya: Elvynanda Faradiella                                                                                  *          Terduduk di tengah ruangan sendiri. Di tengah-tengah bangku yang kosong akan pengunjung. Hati Liliana terasa sedih bukan main, ingin rasanya menangis dan menangis saja. Kesedihan yang tak terbendung nampak pada kedua bola matanya. Sedang suara Pak Ardhan terkesan sangat emosi saat menghubungi teman-temannya yang dikenal agar bersedia datang ke acara tersebut agar tidak sampai kena malu.             “Gimanapun caranya, kalian bawa kru kalian datang semua kemari, bawa pasukan! Biar kita bisa ambil foto-foto bareng! Terus di upload di medsos sebagai pancingan calon pembeli yang tertarik untuk beli buku ini! Cepat! Saya…,” belum sempat Pak Ardhan menyelesaikan omongannya. Liliana berdiri di depan Pak Ardhan dan berseloroh padanya.             “Sudah, tidak perlu sampai seperti ini, Pak!” Liliana meraih ponsel dari tangan Pak Ardhan.             “No…no…no, Liliana. I knew what you fell, I knew. Jadi biarkan saya yang ambil alih, ini untuk menyelamatkan pamormu!” Pak Ardhan mengambil gawainya kembali tapi sayang, gawai itu terjatuh ke lantai dan…             PECAH.             Layar androidnya pecah saking kerasnya hantaman ke lantai. Liliana dan Pak Ardhan saling bertatapan             “Pak, eeeh… Ya Allah…, maaf Pak, saya tidak sengaja,” Liliana menundukkan mukanya dan rona wajahnya memucat.             “Lili…, besok siang hadap saya ke kantor!” tegasnya kemudian berbalik punggung dan melenggang kaku tinggalkan diri Liliana sendirian di dalam sebuah acara yang tidak nampak sama sekali pengunjungnya. Benar-benar sepi.              Liliana berdiri sendirian sambil memandangi tumpukan buku-buku novelnya yang telah ditata apik sedemikian rupa. Menatap sedih. Meski begitu ada seorang lelaki berparas tampan datang dan mengambil satu novelnya itu tanpa melihat Liliana. Liliana menyunggingkan senyum pada lelaki itu.              “Sepertinya bagus, tapi kenapa acaranya sepi?” tanya lelaki itu menatap ke spanduk yang memajang foto diri Liliana dengan membawa buku terbarunya. Lelaki itu terkejut saat melirik ke arah Liliana dan memandang berkali-kali antara foto di spanduk dan pada Liliana. “Loh, ini foto kakaknya ya? Ini acara kakaknya sendiri?”              Liliana tersenyum dan mengangguk, “Iya,”              “Aku akan membeli buku Kakak ini, tapi sayang aku harus pulang cepat. Semoga aku bisa ketemu Kakak lagi yah!”              Lelaki berparas tampan yang wajahnya sedikit mirip dengan aktor boyband Korea, Leeteuk. Membawa buku tersebut ke kasir dan membayarnya, setelah selesai mendapatkan barang pembelian itu, dia pun menoleh ke arah Liliana dan melemparkan senyum sambil melambaikan tangan dan berkata,              “Semoga nanti kita ketemu lagi ya!”                                                                                     * Dear diary, Seperti biasa aku bercerita padamu, tentang sesuatu. Ini baru pertama kalinya aku mengalami hal yang tak mengenakkan. Semua mendadak berubah, dan aku sedih. Apakah sebentar lagi akan datang lagi sesuatu yang lebih mengerikan daripada  ini? Jika memang sudah waktuku untuk tidak lagi dikenal orang lain dan ataupun sudah tak lagi dibutuhkan oleh CEO penerbitan—dianggap merugikan. Ini termasuk satu kesalahan terbesar, aku tidak ingin hidup untuk merugikan siapapun. Bahkan kalau bisa, lebih baik aku sendiri yang rugi. Jangan orang lain. Sebab jika aku begitu, sama halnya seperti sampah! Iya, aku sampah! Orang-orang sudah menganggapku tidak ada, tidak terlihat, jauh lebih buruk tidak dianggap. Ya, aku tidak terlihat oleh mereka sehingga tidak ada yang datang di acaraku tadi malam.   Terpuruk sudah aku di sini, bahwa ini adalah satu-satunya pekerjaan yang sangat kusenangi dari apapun. Bahkan aku rela mati daripada meninggalkan dunia tulis-menulis ini. Tidak ada yang menyukaiku lagi. Tidak ada. Oh, eh… aku ingat, cowok tampan itu yang tadi membeli novelku. Dia menyukaiku, atau mungkin setelah membaca novelku. Dia buang ke tong sampah, tapi… dia janji katanya akan menghubungiku selepas dia selesai membaca. Oh ya, apa aku hanya sedang kegeeran saja? Hari sudah malam, kenapa tiba-tiba terbayang seraut wajah kakek itu sih? *             Pak Sarjo menutup pintu kamar Liliana setelah mematikan lampu sebelumnya. Sesaat setelah pintu itu hendak tertutup, tiba-tiba Pak Sarjo melihat sesuatu dari luar jendela kamar Liliana.             “Hoh, siapa itu?” Pak Sarjo bergegas keluar membuka pintu depan dan mencari tahu sosok yang tadi terlihat berdiri di luar meski tertutup tirai jendela. “Hei, siapa kamu? Jangan ganggu putriku!” saat sudah sampai di teras depan, sesosok berbaju putih itu lenyap. Pak Sarjo mencari ke sekeliling dan mulai merasa was-was tentang sesuatu hal yang kembali meresahkannya. “Kakek, apa kau datang lagi?” tapi tak ada sewujud apapun kembali, dan diapun akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar dalam keresahan. Pintu kamar Liliana kembali dibuka dan Pak Sarjo duduk di depan pintu untuk menjaganya sampai diapun tertidur  dalam posisi duduk. *               “Kau kubebaskan dari ancaman kematian, tapi kau harus menjaga keturunanku sampai nanti.”                                                                                 [Kakek Buyut Liliana]                                           “Baik, saya penuhi. Terima kasih sudah mengampuni saya.”                          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD