BAB 8 Tatapan Mata CEO yang Mematikan

2040 Words
              “Demy! Demy!” panggil Pak Ardhan dengan seraut wajah murkanya memanggil sekretarisnya di luar ruangan. Seruan panggilan itu mengejutkan si Sekretaris yang kala itu masih sibuk mencatat surat-surat  keluar dan masuk. Mendengar suara Pak Ardhan, Demy sang sekretaris pun bergegas masuk ke dalam ruangan untuk menghadapnya. Demy, si sekretaris bertubuh mungil tapi cekatan. Pemilik rambut model bob bercat blonde yang di depannya diberi sedikit hiasan poni yang pagi hari itu dia mengenakan blouse style Korea berwarna hijau lumut dengan dipadankan rok mini hitam yang menambak poin seksi Demy meski tubuhnya mungil.             Demy berhenti di depan pintu yang tertutup dan mempersiapkan diri untuk menghadap CEO-nya itu. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya, semua itu sekadar untuk menenangkan diri dan juga harus tersenyum saat bertatap muka dengan Pak Ardhan.             “Permisi, saya Pak…,”             “Masuk!!!”             Wiuh, dalam hati Demy yang ketakutan sudah bisa menebak apa yang akan terjadi setelah ini. Kalau tidak Pak Bosnya itu melemparkan berkas-berkas laporan penjualan ya paling parah gebrakan meja dan surat-surat yang dia buang ke lantai. Detak jantung Demy sudah tak keruan, kalau boleh disuruh memilih mati atau dimarahi Pak Ardhan. Dia lebih memilih mati. Karena…             “Demy!!! Apa ini!!!!!” Pak Ardhan melempar berkas surat dan laporan nota penjualan tepat di wajah Demy. Kertas-kertas itu berhamburan dari atas kepala jatuh semua ke lantai, berserakan di mana-mana. Pak Ardhan benar-benar murka, tapi salah sasaran. Bukan seharusnya melampiaskan pada sekretaris mungilnya. Tapi pada bagian promosi buku dan pihak marketing. Tapi lagi-lagi, Demy adalah sasaran pertama pelampiasan emosi CEO-nya itu. Yang memang dikenal suka marah kalau ada sesuatu hal di luar harapannya.             “Ma… maaaf, Pak…” jawab Demy gemetaran. Tapi dia bergegas mengambil satu per satu kertas-kertas yang berserakan itu dan dikembalikan di atas meja.             “Itu semua retur! Retur atas penjualan novel Liliana De Frank! Hanya terjual delapan eksemplar dari sekian ratus buku untuk lauching pertama, itu namanya sudah gagal!” bentaknya lagi, kali ini semburan air ludahnya sampai mengenai sedikit wajah Demy. Demy menutup mukanya, takut terkena semburannya lagi.             “Syukurlah, masih terjual delapan buku daripada tidak sama sekali, Pak…” tutur Demy berusaha untuk menghibur Pak Ardhan.             BRAK!       “Nǐ fēngle!”       “Wo fēngle!?”       “Nà shì nǐ,”       Demy kesal dikata orang gila dan umpatan lainnya. Dia pun akhirnya mengeluarkan jurus andalnya jika sedang dalam posisi kepepet dan ditekan oleh bosnya sendiri. Demy berbalik badan dan menutup pintu lalu menguncinya. Cara terampuh untuk meredakan emosi pimpinan oleh sang sekretarisnya hanyalah dengan ciuman maut yang pasti akan membuat Pak Ardhan melayang-layang/setengah mati.       “Ke… kenapa kamu tutup pintunya?” Pak Ardhan mulai terlihat kikuk saat melihat Demy mendekat dan semakin mendekat. Demy duduk di pangkuan Pak Ardhan seketika. Pak Ardhan gelagapan. “kamu jangan…”       Dikecupnya bibir Pak Ardhan lembut, lalu dilepasnya. Dengan suara genit dia berbisik di telinga bosnya.       “Jangan marahin saya Pak…, nanti saya nangis. Yang harusnya Bapak marahi itu, Liliana. Dia penulisnya, dan harus bertanggung jawab,” kali ini kembali dikecupnya bibir lelaki itu yang sekiranya mulai bernafsu untuk membalas kecupan sang sekretaris kepadanya.         “Ehm, kamu menggodaku. Hemmm,” Pak Ardhan membalas kecupan itu dengan ciuman bibir yang hangat. Dilumatnya bibir Demy yang seksi berwarna merah terang itu. Membangkitkan gairah Pak Ardhan.     “Janji nggak marah lagi?”     “Oke, saya nggak marahin kamu… tapi…,”       “Apa, Pak?”       “Tolong panggil, Liliana sekarang juga, saya harus bicara empat mata padanya,” Pak Ardhan meminta Demy turun dari atas pangkuannya dan mengambil selembar tissue untuk membersihkan bekas lipstik Demy yang menempel di bibirnya.       Demy merapikan bajunya dan juga mengelap bibirnya yang basah dengan tissue. Kemudian merapikan kembali berkas-berkas surat itu di atas meja sebelum berpamitan keluar.       “Segera!” bergegas Demy keluar dari dalam ruangan kantor dan lekas menutup pintu ruangan pimpinan. “fiuuuhhh! Untunglah…,” rona muka Demy yang memucat dan gerak-geriknya membuat rekan kerjanya yang lain merasa kepo dan beberapa dari mereka sempat menguping dari balik pintu.       “Ada apa? Ada apa? Bos marah besar?” Hana yang suka kepo tak ingin ketinggalan berita. Melihat Demy ketakutan, artinya sebentar lagi akan ada rapat besar yang melibatkan banyak pihak bagian promosi dan marketing akan terkena imbasnya. Termasuk Hana sendiri.       “Gawat! Ini gawat!” Demy melangkah menuju meja kerjanya lagi. Dan duduk sambil menghela napas berkali-kali.       “Nasib Liliana De Frank di ujung tanduk.”       “Apa??!!! Liliana?” jawab mereka berempat serempak dari belakang.                                                                 *          Di rumah Liliana, siang hari tampak asri seperti hari-hari biasa. Ibundanya sibuk berkebun, menata-nata pot dan menanam tanaman jenis baru meskipun kebun di pekarangan rumahnya itu sudah penuh. Sedang Pak Sarjo tidak di rumah, ada tugas di kantor yang harus diselesaikan. Menjabat sebagai seorang wakil kepala bagian dalam bidang pemberdayaan manusia. Terkadang harus mau mengganti posisi pimpinan saat sedang tidak ada di tempat. Dan biasanya pulang pun sampai larut malam setelah urusan tugas di hari itu selesai. Sebab itu Bu Lien banyak menghabiskan waktu dengan bunga-bunga dan segala macam tanaman hias agar tidak merasa kesepian.         Di mana Liliana?         Terdengar suara perempuan yang sedang ngoceh-ngoceh sendiri, kadang bicaranya urut kadang kacau. Ya, Liliana yang sudah sejak pagi mengurung diri di dalam kamarnya. Dia sibuk menghias kamarnya jadi lebih cantik seperti di kamar para vlogger yang ada di channel Youtube. Mempersiapkan kamera video, tripod, tongsis, lighting dan yang terakhir mikrofon. Sebelumnya, Liliana mengubah tata letak kamarnya dari yang sebelumnya biasa, kini dia penuhi dengan kerlip-kerlipan lampu penjor berwarna kuning dengan dipadankan cat dinding yang ngepink. Semua dekorasi ditata sebagus mungkin, sampai dirinya merasa yakin dan pas saat diabadikan ke dalam foto—yang tak lupa Liliana ikut berfoto pula. Dan… Share on f******k. Done. Share on **. Done. Share on w******p status. Done.             “Yap, beres!” Liliana berjingkat kegirangan. Kamera video pun mulai dalam posisi on, tak lupa dia mengatur napasnya agar dalam dialog pembuka, tidak sampai salah ucap atau keseleo lidah. Bahkan sebelumnya, Liliana sempat mempelajari teknik berdialog lewat channel Atta Halilintar biar lebih keren. Siapa sih, yang tidak mengenal sosok Atta Halilintar? Ya, Atta Halilintar adalah seorang Youtuber Indonesia yang terkenal paling banyak jumlah pengikut atau inggrisnya itu subcriber. Pun juga Atta termasuk Youtuber terkaya yang berada di posisi peringkat ke delapan di Dunia.      “Yaoo, watsapp geysss! Hari ini saya bakal mamerin kalian novel terbaru saya yang baru saja terbit. Judulnya Lost on Everest.  Novel ini sudah bisa kalian dapatkan di toko-toko buku terdekat. Dan… eeee… harganya eee… nggak mahal kok geys, cukup aman dengan kantong kalian. Eee… dalam kesempatan ini…, saya akan sedikit menceritakan tentang sinopsisnya. Eee…” tiba-tiba terdengar suara ringtone dari gawainya yang tergeletak di atas meja… Kucoba ungkap tabir ini Kisah antara kau dan aku Terpisahkan oleh ruang dan waktu Memyudutkanmu meninggalkanku             Liliana pun sempat terkejut dan bergegas meraih gawai itu karena dia tahu ringtone lagu itu khusus untuk bosnya sendiri untuk membedakan dengan panggilan-panggilan lainnya.             Duh, ada apa ya? Perasaanku nggak enak.             “Ya hallo, siang Pak…”             “Ke kantor sekarang.” TUUT…TUTT…TUTT             “Kok, e kayaknya bakal ada yang nggak beres.” *   Katakanlah, Kursi yang kududuki ini rasanya lebih panas, Dari terbakar api. Jika api saja hanya membakar kulit, Ini lain, siapapun yang duduk di kursi ini akan terbakar hati dan terkuliti. [Liliana-Ruangan Bos]                   Bekerja menjadi seorang novelis berbakat adalah impian Liliana, untuk menyalurkan pikiran dan imajinasinya pada para pembaca. Hanya tinggal duduk di depan laptop saja sambil tiduran, atau duduk santai di rumah bertemankan dengan secangkir teh hangat. Oh ya, Liliana tidak suka dengan kopi, bau kopi apalagi minum kopi. Sebab itulah dia tidak bisa terlalu lama begadang, jadwal menulisnya pagi-siang dan sore. Malam adalah waktunya untuk beristirahat dan membaca buku. Sudah. Itulah hari-hari Liliana. Usianya pun baru saja menginjak 22 tahun, dan dia sudah menerbitkan beberapa buku saat masih berusia 20 tahun.             Tapi, kali ini…             Liliana tidak sedang duduk di kursi dan meja kesayangannya. Melainkan kursi panas yang didepannya bukan sebuah laptop atau komputer ataupun kertas-kertas tulisannya. Tidak.             Kursi dihadapannya itu membelakanginya, digoyang ke kanan dan kiri. Dan mulai berkata-kata,       “Pamormu redup, novel yang kemarin kurang laku. Mungkin mereka bosan tema yang kau tulis. Buatlah suatu gebrakan baru yang belum pernah kau jamah, Liliana! Saya tidak mau rugi besar untuk yang kedua kalinya. Tulis novel misteri, horor. Apapun itu gali tentang indigo atau supranatural. Yang unik! Nggak mainstream, bukan jualan novel hantu tapi lebih pada perjalanan dan kehidupan spiritualis. Bisa?" tekannya dengan nada tegas. Liliana terperenyak mendengar ucapan dari bosnya, bosnya itu bernama Pak ardhan. Orangnya disiplin, tegas dan tidak mau tahu. Pokoknya kalau berbicara tentang hasil penjualan, mintanya ya harus bagus. “Maaf, Pak. Saya juga tidak tau,” “Gimana kamu bisa nggak tau?” Pak ardhan memutar kursinya dan menghadap ke arah Liliana. Dan… BRAK…! “Ada yang salah dengan dirimu,” “Salah apa, Pak?” “Brandingmu,” “Saya tidak pernah memikirkan itu, Pak. Yang saya tau, tugas saya hanya menulis dan… dan masalah penjualan itu terserah pasarnya karena menurut saya…” “Menurut apa?” “Menurut saya itu, penulis tugasnya ya menulis, penjualan ya diserahkan sama marketing, Pak…” “Salah! Kamu salah!” Liliana terperanjat hebat, melihat tatapan mata Pak ardhan yang menyorot tajam ke arahnya. “Iya, Pak…” “Zaman sekarang itu beda, sekarang zamannya penulis itu pake branding. Kamu mau nulis ya bangun dulu branding, dapatkan penggemar dulu yang banyak. Bikin komunitas, rekrut anggota yang khusus menyukaimu!” tegasnya sekali lagi. “Tapi dulu nggak begitu,” “Dulu belum ada f******k! **!” “Oh ya, Pak…” “Ya Pak, ya Pak… ngerti nggak kamu berapa kerugian perusahaan??” Pak ardhan mengernyitkan alisnya yang tebal seperti Samurai. “Tidak tahu dan saya juga cuma dapat royalti sedikit, Pak,” “Padahal dulu nggak begitu, kan?” “Iya,” “Cari tahu letak kesalahanmu, status di medsosmu itu berpengaruh pada brandingmu sebagai seorang novelis. Harusnya kamu share kegiatanmu menulis atau share tentang tulisan-tulisan naskah ceritamu. Bukan malah…” Pak ardhan berhenti sejenak, dia mengambil segelas air minum. “Malah apa, Pak?” “Nulis status politik!” *             OK. Fix! Bos marah! Pekik hati Liliana saat keluar dari kantor penerbitan. Membawa kekesalan. Harus apa? Bos meminta sesuatu yang tak sanggup dia kuasai dan bukan ranah yang pernah dijamahnya. Mungkin malah jauh lebih diminta menulis novel porno daripada harus berhubungan dengan dunia gaib. Karena Liliana tidak mengerti apa-apa tentang dunia lain itu. Dia tidak mau lagi mengingat-ingat kisah lalu yang mengerikan.             “Indigo, indigo, ah! Bossss!” keluhnya kesal. Sampai dia tidak melihat salah memencet tombol lift turun yang seharusnya naik. Dan salah masuk pula, hari ini adalah hari buruk untuk Liliana. Terbayang-bayang bagaimana kalau bosnya tak lagi menganakemaskannya seperti dulu. Mau tak mau dirinya harus terjun langsung mencari seorang narasumber yang bisa dijadikan cerita. Manapula percaya dengan media internet by google, pembaca pasti tahu dan akan mencercanya. Liliana memencet tombol turun ke bawah sambil melamun. Di dalam pikirannya mulai mencari-cari ide atau sesuatu hal. Apa yang bisa dia lakukan dulu di masa kecil dan mengasah intuisi. “Gimana kalo menulis tentang seorang Indigo yang bisa meramal pakai media tarot ya? Dan nggak usah mencari-cari si peramal, aku sendiri kan juga bisa.” *             Belumlah sampai masuk ke dalam rumah. Pak ardhan mengirim pesan lagi yang membuat hati Liliana semakin resah. Merebahkan tubuh saja belum sempat, melepas sepatu pun belum sempat. Dia baru saja membuka pintu gerbang rumah, dan gawainya kembali berbunyi, menandakan ada pesan yang baru masuk. Gimana? Sudah dapat? Kalau dalam waktu 3 bulan ini kamu tidak bisa membuat naskah baru, tentang Indigo. Saya akan membuka komunitas penulis dan menjaring penulis-penulis baru.               Ancaman. Ah, ini jauh lebih dari sebuah mimpi buruk bagi Liliana. “Assalamualaikum…” Liliana mengucap salam saat hendak masuk ke dalam rumahnya. Malam hari ini dia ingin tidur saja, tidur selelap-lelapnya tanpa memikirkan apapun dan esok adalah hari awal di mana dirinya harus berjuang mempertahankan nasibnya. Ditelinganya terngiang kata-kata; Dibuang… dibuang… dibuang… kau akan dibuang… kau akan dibuang… kau akan dibuang.                                                                                  *                                                                     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD