BAB 71 Menghadap Matahari

1434 Words
“Ketika Matahari perlahan-lahan mendekati. Saat cinta perlahan malah menjauh. Kau pasti tahu bahwa mungkin saja dunia ini belumlah mati. Karena, tugasmu belum sepenuhnya selesai.”                                                               Secercah Bayangan Hitam 25 Desember 2019             6 hari lagi, tahun pun akan berganti kembali. Menapak pada langkah dan lembaran baru, dan semua kejadian di masa lalu yang buruk juga hari ini jangan sampai terulang untuk kedua kalinya. Tahun 2020 tak lama lagi, engkau dan aku akan berpijak pada empat deret angka yang terkesan misterius. Genap bertemu dengan genap, semua angka adalah genap. Apa yang akan terjadi di tahun itu, hatiku sudah mulai rasa tak enak. Tepat di tanggal merah ini, adalah hari Natal untuk umat Nasrani. Jalanan terlihat sesak dan ramai, apalagi rumahku dekat sekali dengan gereja Khatolik. Semua mobil terlihat berjejer, dan ya … pagi hari ini aku menikmati segarnya udara di pagi hari.             Pun, seperti biasa. Aku pergi ke pasar dan ya … belanja kebutuhan sehari-hari seperti sayur, daging dan lainnya. Bukan aku yang masak, sebab aku tidak pandai memasak. Ibu yang memasak. Karena kata Ayah, tidak ada masakan seenak punya Ibu. Pernah suatu waktu saat Ibu sedang pergi ke luar kota mengunjungi Kakakku di Jakarta. Aku mencoba untuk meng-handle urusan dapur. Aku beli ayam, lombok dan bumbu-bumbu lain. Ternyata masakanku sama sekali tidak enak. Ufft, sebab itulah aku tidak mau mengurusi urusan dapur. Aku ke pasar hanya untuk membeli sayuran dan lainnya.             Langkah kakiku terhenti pada sebuah rumah besar di sisi kanan jalan, sedang posisiku di sisi kiri. Aku melihat sebuah rumah besar bertingkat yang kelihatannya sepi, tertutup. Pagarnya tinggi, dan kutahu bahwa pemilik rumah itu jarang kelihatan oleh para tetangga. Aku berdiri mengamati sejenak, ada yang aneh. Kakiku seakan ingin berlari saja dan bergegas pergi. Kucoba untuk bertahan beberapa saat, dan itulah … entah, wujud apa yang sedang kulihat di atas atap rumah besar itu. Bayangan hitam seperti kabut tebal membumbung di atas atap, tanpa sadar tubuh ini mundur ke belakang dan terjatuh.             Apa ini satu pertanda yang buruk? Aku tidak ingin mencoba meramal lagi—well, aku sudah kapok dihakimi sama Tuhan gara-gara aku sengaja bermain kartu Tarot untuk meramal keadaan di rumah. Masih kuingat malam hari penghakiman di mana aku sampai menangis waktu sholat malam, sampai tidak berani untuk membuka mata. Sebab aku merasa Tuhan benar-benar sedang ada di depanku. Mata ini terasa sangat berat untuk dibuka, aku paham murkanya Tuhan itu tidak main-main.             Bulan! Jangan main-main dengan kemusyrikan!             Selama 40 hari sholatku tidak diterima. Sejak itu aku membakar kartu-kartu tarotku, habis sudah. Aku tidak ingin memegangnya lagi. Dosa besar. Tapi kali ini, aku hanya mengandalkan intuisi saja. Bahwa apakah itu sekelabut bayangan hitam itu menandakan sesuatu bahwa akan terjadi sesuatu di rumah tersebut, atau mungkin pada si pemilik rumah itu sendiri. Tapi apa?             “Bu … Bu,” tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku terhenyak kaget dan melihat Bapak satpam berdiri menatapku. “Neng, jangan di sini, ada mobil yang mau parkir.”             Dan aku pun beranjak pergi dari tempat itu, bergegas menuju ke pasar.  Oh, apakah hanya aku yang melihat ‘sesuatu’ itu?             Ini ceritaku saat ini pada Matahari. Dari Bulan                                                                                     * Februari 2019 Bulan menguap lebar, saat ia ingat bahwa setan akan masuk melalui mulutnya pada seseorang yang tengah menguap dan terlupa menutup dengan tangan. Dengan sigap tangan kanan Bulan menutup mulutnya.             “Hoahem …,” Bulan melemaskan otot lehernya dengan menekuk ke kiri dan kanan, itupun harus dengan hati-hati kalau tidak mau kebablasan. Bisa-bisa jadi tengeng. Mata Bulan agak bengkak, karena semalaman ia harus mengerjakan tugas deadline naskah-naskahnya yang sudah keteteran. Mengurus bisnis kecil itu juga tak mudah, membuka usaha penerbitan dan percetakan indie yang semakin diminati oleh sebagian pengusaha muda. Termasuk Bulan, ia punya impian menggapai matahari suatu saat. Agar dirinya bisa menghidupi kedua putrinya yang masih butuh asuhan dan pendidikan lebih baik.             Perusahaan itu bukanlah sepenuhnya milik Bulan, melainkan milik suaminya yang sudah jatuh pailit tiga tahun silam. Bulan ingin mengembalikan nama baik perusahaan tersebut dengan cara dan jenis usaha yang berbeda. Apalagi melihat salah satu dari anak bulan yang termasuk spesial, ia tidak ingin anaknya itu sampai tidak memiliki penghidupan jika sewaktu-waktu usianya tak lagi panjang. Sebelumnya, saat sang suami yang dikenal dengan nama Bintang adalah orang yang memiliki pencitraan bagus di dunia wiraswasta karena sudah menjadi seorang pengusaha di usia muda. Tetapi, yang namanya hidup itu selalu saja ada cobaan atas kesalahan Bintang sendiri yang merasa bersinar dan tak bisa padam. Melupakan Tuhan, jarang beribadah, suka menyia-nyiakan waktunya hanya sekadar untuk kongko-kongko dengan orang-orang yang suka menghabiskan kegiatan dengan hal yang kurang penting.             Bulan masih duduk di atas kasur, wajahnya benar-benar kisut. Baru saja ia hendak turun dari atas kasur, terlihat di depannya sosok putrinya yang paling kecil tengah berlari memeluknya.             “Mama …!”             “Eh, Titan, kok pinter udah duluan bangun nih!” Bulan mengecup pipi Titan yang masih terasa halus dan kenyal.             Seperti biasa, Titan—anak berkebutuhan khusus yang tidak berperilaku seperti anak normal biasanya. Ia membawa satu mainan kecil kesayangannya, kotak kubik yang bisa diputar-putar dan berganti warna. Kubik itu tidak boleh hilang dari pandangan Titan, sekali saja hilang dari pandangan. Meski hanya bergeser sedikit atau berganti posisi dan tak terjangkau oleh matanya. Titan akan menangis keras, suaranya melengking sampai terdengar keluar rumah. Jika begitu, Bulan pun dibuat panik. Sebab ia sendiri belum tahu bagaimana cara menangani anak seperti Titan. Biasanya Bulan malah menjadi marah dan ikutan menangis. Apalagi jika kubik itu tidak ketemu, harus ada gantinya yang baru. Tapi, siapa yang bisa kuat menahan telinga mendengar tangisan Titan yang makin lama makin kuat saja.             “Mama kenapa?” seperti biasa bahasa Titan berbeda juga, alias tidak menyambung karena dalam pemahaman kosakata bahasa Titan masihlah terbatas.             “Mama capek,”             “Capek itu apa?”             “Badan sakit semua,”             “Mama ini …!” Titan menunjukkan kotak kubiknya. Wow! Sepertinya Bulan baru saja mendapatkan kejutan. Kubik itu kini menjadi satu warna semua. Putih dengan putih, biru dengan biru, merah dengan merah dan kuning dengan kuning.             “Loh, Titan bisa??” Bulan masih terpukau dan membolak-balik kotak kubik itu.             “Mama! Ini!” tunjuknya pada liontin yang terkalung di leher Bulan. “Apa ini?”             “Kupu-kupu,” jawab Bulan.             “Kupu-kupu apa?”             “Kupu-kupu terbang,”             “Haha, kupu-kupu terbang! Waaa …!” Titan beranjak turun dari kasur dan tak lupa meminta Bulan untuk menyerahkan kubik kesayangannya. Kemudian putri kecil berusia 5 tahun itu keluar dari dalam kamar Bulan dan berlari ke sana kemari.             “Titan …! Hati-hati!” bergegas Bulan turun dan menyusul putri kecilnya. Jika semenit saja tak diawasi, Titan bisa melakukan sesuatu hal di luar dugaan. Apalagi jika tiba-tiba suara Titan tak terdengar. Pasti sedang melakukan aktivitas yang ‘ekstrim’.             Tapi begitulah Titan, disusul pun juga membuat Bulan lelah juga. Karena Titan anak superaktif yang tak kenal lelah. Titan pun kalau berjalan masih berjinjit, sampai-sampai membuat jari kakinya melengkung seperti cakar burung.             Bulan pun resah. Ya, terkadang resah. Suaminya, Mas Bintang sama sekali tidak mau tahu. Lelaki itu selalu saja sibuk dengan gawai yang seakan seperti lem kastol, menempel di tangannya terus tanpa pernah ingin melepaskannya. Semua urusan anak diurus penuh oleh Bulan, sendirian. Dari anak bangun sampai tidur lagi semua tugasnya Bulan. Mas Bintang cuma bertugas ngopeni.[1] Saklek, itu adalah prinsip Mas Bintang, suaminya Bulan.                                                                                          ***          "Gimana, Pak? Cerita saya yang baru ini, ada perubahan tidak?" Liliana menelpon Pak Ardhan dari rumah. Selama dua minggu dia tidak diperkenankan keluar rumah jadi untuk urusan naskah melewati jalur daring.         "Kamu ini, kita mau menikah kenapa masih pusing sama naskah? Nanti saja kalau sudah nikah dilanjut," jawab Pak Ardhan dengan nada kesal.         "Saya takut sudah tidak bisa lagi menulis setelah menikah nanti,"         "Kenapa?"         "Saya takut suami saya melarangnya dan saya harus patuh pada itu, jadi sebelum menikah saya mau menulis dulu,"         "Liliiii! Bisa tidak pikiranmu sekarang terfokus pada acara pernikahan kita?"         Dan telepon pun ditutup Liliana secara sepihak, seperti biasa kalau lagi ngambek, gawai dinonaktifkan. Pun juga saat dirinya tiba-tiba jatuh pingsan saat bersama dengan Venus. Liliana sengaja tidak memberitahukan kabar itu pada orang tuanya atau bahkan calon suaminya sendiri. Segala yang berkaitan dengan apa yang ada di dalam tubuhnya saat ini, biarkan hanya dirinya yang merasai dan mengerti.         Pandangan Liliana beralih pada gaun pengantin yang menggantung di pintu lemari, gaun putih yang sangat cantik dengan renda di sisi bahu dan pinggangnya. Impiannya sejak kecil saat nanti menikah adalah dengan mengenakan gaun pengantin impiannya. Namun, dengan calon suami idamannya. Liliana tidak bisa membayangkan saat-saat harus menyerahkan jiwa dan raganya pada seorang lelaki yang tidak begitu dicintainya.                                                                              [1] Ngopeni : Memberi nafkah berupa makan, dan kebutuhan lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD