BAB 70 Kalung Rajah Kala Cakra Venus

814 Words
Rumah Liliana       Venus kembali menginjakkan kaki ke rumah Liliana dan kali ini rupanya rumah itu sedang dicat oleh tukang cat dengan warna kuning cerah. Warna yang menggairahkan menurut Venus. Dia keluar dari mobil grab dan menurunkan tas-tas koper miliknya. Dinaikkan kacamata hitam itu ke atas rambut dan mengabadikan foto rumah Liliana untuk dikirimkan padanya.       “Dia pasti suka sama warna rumah barunya ini,” Venus yang merasa senang dipersilakan tinggal sejenak di sana pun bersegera memanfaatkan momen tersebut. Venus masuk ke dalam rumah sambil menelpon Liliana.             “Hallo,” sapa Liliana dari jauh.             “Aku sudah di depan rumahmu, oh ya …, kapan kamu mau mampir ke sini? Bagus banget loh!” Venus duduk di kursi teras depan rumah. Dan melihat satu penampakan samar-samar berkabut putih yang mendekat ke arahnya. Mata batinnya yang setengah terbuka itu mampu merasakan kehadiran sosok-sosok gaib yang ada di sekitar. Bulu kuduknya merinding meski dia berusaha untuk dapat menguasai rasa itu. “Jangan menggangguku, atau riwayatmu akan tamat.” Kecam Venus yang mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah kalung yang dilingkarkan ke lehernya. Kalung Rajah Kala Cakra pemberian dari kakek buyutnya, dia sudah bersiap-siap akan hal yang tidak diinginkan seusai penjejakan kakinya yang pertama dulu. Dan tentu saja kalung yang dipakainya itupun kontan bereaksi, lehernya berasa kesemutan seolah dapat mendeteksi energi negatif yang mengitar. Dan seketika, kabut putih itupun menghilang, pun dengan energi-energi negatif lain yang mengikuti. “Lili, kita sambung lagi nanti.” Venus mematikan panggilannya.             Kelakuan Venus membuat tiga orang tukang cat terheran-heran. Ketiganya memandang aneh lantaran Venus terlihat bergumam sendirian.             “Kenapa Mbak? Ada yang bisa kami bantu?” tanya si Tukang cat berkaos biru dongker dan bertubuh ceking itu padanya.             “Oh, enggak. Sudah selesai, saya masuk ke dalam dulu.”             Venus bangkit dari kursi dan melangkah masuk ke dalam rumah sambil menggeret tas koper. Baru saja masuk, tiba-tiba tubuhnya seakan menabrak sesuatu tapi kemudian rasa itu menghilang. Melangkah lagi, tertabrak lagi dan begitu terus sampai akhirnya sampai di depan kamar Liliana. Dibukanya pintu kamar Liliana yang masih belum dicat dan terakhir kali ditinggalkan olehnya dalam keadaan masih sama. Venus meletakkan tas koper lalu keluar lagi menemui ketiga orang tukang cat itu untuk menanyai sesuatu.             “Pak, saya mau tanya …,” Venus berdiri di sisi pintu depan.             Pak Tukang cat berkaos biru berdiri menghadapnya, “Ya, Mbak …,”             “Bapak tadi ke sini apa nggak ngerasain terjadi sesuatu?” Venus memasang muka serius.             “Enggak tuh, Mbak. Nggak ngerasain apa-apa,” tandasnya.             “Bener, nggak ngerasain kalo ada yang ngeganggu gitu loh …,” Venus mengernyitkan keningnya.             Sekali lagi Pak Tukang cat berkaos biru itu menggeleng, “Nggak Mbak, tapi kalau rasa-rasa merinding dikit ada, tapi ya … saya berdoa terus sejak tadi. Baca-baca surat-surat pendek sama ayat kursi gitu, ya enggak kerasa lagi kok,”             “Oh, ya makasih kalo gitu, Pak. Saya ke dalam lagi,”             “Silakan, Mbak …” * Kafe Excelso             “Jaadiii …, kayak gimana?” Liliana duduk mendekati Venus. Beberapa jam setelah Venus memijak kembali ke rumahnya. Liliana penasaran akan apa yang terjadi setelah itu.             “Ya, gitu deh … nggak ada apa-apa kok, tenang aja, santai …, kan sejak awal sudah kubilang kalau aman,”             Liliana mengernyit heran, “Bisa gitu ya? Bisa nggak ada apa-apa, kamu pakai sesuatu kah?”             “Ehem, aku pakai barang warisan leluhur, milik Kakek buyutku. Ini sangat berguna buat tinggal di tempatmu yang sepertinya memang di sana terdapat portal goibnya. Kau tau? Itu, pintu masuk pertama, pintu samping itu adalah jalannya portal gaib mereka, para makhluk astral.” Jelas Venus lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Aku pakai ini,”               “Benda apa ini?” Liliana mengernyit, dilihatnya sebuah kalung bundar berwarna hitam yang di tengah-tengahnya terbentuk simbol pentagram.             “Ini namanya orgonit,”             “Orgonit?”             “Ya, Orgonit 7 Chakra Pentagram Perlindungan. Dan ini sangat berguna sekali dipakai kalau tinggal di suatu tempat yang ada portal gaibnya.” Venus mengeluarkan satu lagi liontin kalung yang mirip dengan miliknya. “Ini, satu buat kamu. Aku beli kemarin dari toko online luar negeri,”             “Hah? Buatku?”             “Ya, kau akan aman dengan benda itu?”             “Benda ini?”             “Ya, coba kau pakai nanti …,”             Liliana langsung mengenakan liontin itu pada kalungnya dan benar saja tak ada berapa lama tiba-tiba dia merasakan ada suatu getaran yang membuat tubuhnya seakan terkejut seperti tersengat aliran listrik. Liliana terbatuk-batuk dan dadanya terasa sesak sekali seperti tertekan.             “Uhuk, uhuk,” Liliana terbatuk sampai badannya membungkuk.             “Lili, kamu kenapa? Bereaksikah?”             “Enggak tau,”             “Kalau bereaksi, berarti di badanmu ada sesuatunya?”             “Aku nggak tau, uhuk-uhuk-uhuk…!” kepala Liliana terasa cenut-cenut dan badannya keliyengan, matanya berkunang-kunang. Tak sampai hitungan kelima Liliana pun jatuh tak sadarkan diri, tubuhnya tergeletak di atas lantai.             “Liliana!!!” *                              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD