SATU

1646 Words
        Alvan benar-benar tidak menyangka jika Kakek akan benar-benar menjodohkan nya dengan Cucu dari Opa Guntoro. Bahkan ia sendiri tidak terlalu mengenal wanita itu. Ia hanya tau, Jika Lavina adalah sahabat dari istri Dika - sahabatnya-. Jadi, ia cukup kaget saat melihat gadis itu malam kemarin. Kakek terlihat sangat bersemangat dalam merencanakan perjodohan itu. Membuat ia tidak tega untuk menolaknya. Ia tidak bisa melihat wajah pria tua itu muram. Selama hidupnya, semenjak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat saat umurnya 10 tahun. Hanya Kakek lah satu-satunya orang tua yang ia punya. Yang selalu menyayanginya, menjadi, Ibu, Ayah sekaligus Kakek. Jadi ia akan selalu berusaha untuk mematuhi semua permintaan Kakeknya. Baginya masanya untuk bersenang-senang dan egois sudah selesai. Kakeknya selalu mentoleransi semua kelakuan brandalnya sejak Sekolah Menengah Pertama. Dan di saat umurnya hampir menyentuh kepala tiga. Maka waktunya sudah selesai. Apalagi Kakeknya sudah tua, sudah cukup menanggung semua beban yang ia berikan. Sekarang adalah gilirannya. Termasuk menerima perjodohan itu. "Lo yakin dengan keputusan Lo?". Alvan tidak langsung menjawab pertanyaan Dika. Ia mengitari pandangan ke sekitar ruangan sahabatnya itu sejenak. Sebelum mengangguk tanpa membalas tatapan Dika. "Gue gak punya pilihan lain". Jawab Alvan menghela napas berat. "Kakek keliatan senang banget semalam". Lanjutnya dengan memainkan jari di meja kaca milik sahabatnya. Ia tadi mampir ke Caffe milik sahabatnya. Tadinya ingin membicarakan tentang kegiatan NgeBand mereka yang akan kembali setelah lama Vakum. Tapi, ia tergelitik untuk sedikit curhat dengan Dika. Dari semua, keempat Sahabatnya yang juga tergabung dalam band yang sama. Cuma Dika yang benar-benar bisa di andalkan jika curhat. "Oke, masalah nya apa?". Tanya Dika kini mulai menatap menyelidik padanya. Alvan terlihat meringis, ia menggaruk keningnya yang tidak gatal. "Kayaknya Lavina gak setuju sama perjo-". Kalimatnya terhenti karena getaran ponsel di atas meja. Ia melirik dan melihat sederet nomor yang tidak ia ketahui muncul di layar ponselnya. Dika juga melakukan hal yang sama. Ia memilih mengabaikannya, karena memang banyak nomor baru yang masuk ke ponselnya akhir-akhir ini. Namun, baru hendak ia membuka mulut untuk melanjutkan. Sebuah pesan masuk. Bisa kita bertemu? Lavina Ia terkejut dan langsung meraih ponselnya itu. Dika sampai heran sendiri dengan respon sahabatnya itu. Bahkan Alvan langsung menghubungi nomor tersebut kembali. "Halo, Lav. Kamu mau ketemu dimana?". Ujar Alvan begitu panggilan nya dijawab. Dika menghela napas, merileks duduknya kembali. Ia ikut meraih ponsel dan mengirim pesan pada istrinya. Menanyakan kabar sang istri yang mungkin sedang bekerja di rumah sakit. "Oh, oke. Boleh.". Dan kemudian Alvan memutuskan sambungan telfon. Langsung menoleh pada Dika dengan tergesa. "Dik, nanti gue lanjut lagi. Sekarang gue harus cabut dulu. Lavina ngajak ketemuan. Mungkin mau membicarakan tentang semalam". Pamitnya langsung beranjak dari kursi. Dika hanya mengangguk saja, memandangi kepergian sahabatnya itu dengan pandangan cemas. *** "Dude?". "Alvan". Lavina terkejut saat melihat kedua pria itu saling mengenal. Dan kemudian langsung meringis sendiri melihat keduanya langsung memeluk akrab. Seolah dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu. "Lo apa kabar? Gila, udah lama kita gak ketemu". Ujar Alvan terlihat senang. "Lo sih, sibuk banget." Kata Dude. Lavina langsung memasang wajah bete nya. Ia menarik kursi dan memilih duduk mengabaikan dua laki-laki yang sedang saling melempar sapaan dan basa-basi. "Ehem". Deheman wanita itu mencuri perhatian Alvan dan Dude. Mereka langsung tersenyum dan kemudian ikut duduk. Dude duduk di samping Lavina, sedangkan Alvan duduk di seberang keduanya. "Aku harap, perhasahabatan kalian bisa utuh sampai maut nanti". Kata Lavina basa basi. Alvan mengaminin dalam diam. Ia melirik Dude yang tengah memandangi Lavina dengan lembut. "Oke, langsung saja deh". Tegas Lavina kini menatap Alvan. "Aku mau membatalkan perjodohan kita". Alvan diam saja, tidak kaget. "Aku punya pacar, Dude pacar ku". Alvan baru kaget, ia menoleh pada Dude yang mengulum senyum kecil. Kini ia merasa canggung, dan menjadi tidak enak sendiri. "Aku mau minta tolong, supaya kamu bicara sama Pak Nugroho untuk membatalkan perjodohan kita. Aku gak bisa menikah dengan orang yang gak aku cinta. Dan aku gak bisa hidup tanpa Dude." Alvan terdiam, ia memandangi Lavina dengan iba. Lalu melirik pada Dude yang menatapnya dengan pandangan memohon. Alvan menghela napas berat. Ia sebenarnya juga tidak mau di jodohkan. Tapi,. "Kamu bisa kan bicara dengan kakek kamu?. Aku gak bisa ngomong sama kedua orang tua ku. Mereka gak enak sama Pak Nugroho. Pasti akan sangat merasa bersalah. Terlebih lagi, ternyata ada sesuatu di balik perjodohan kita". Jelas Lavina lirih. Ia menelan ludahnya, ia tau itu. "Van". Dude membuka suara. Ia menoleh. " Gue tau ini berat, gue tau Lo sayang banget sama Kakek Lo. Lo juga gak mungkin kan, nyiksa diri sendiri dengan menikah dengan orang yang gak Lo cinta?." "Gue gak yakin, De". "Van, gue pacaran sama Lavina bukan setahun dua tahun. Kita udah hampir tujuh tahun. Gue masih berusaha buat mendapatkan restu dari Papanya Lavina.". Kini ia semakin merasa bersalah. Alvan melirik pada Lavina lalu pada Dude. Pasangan di depannya sungguh menyedihkan. Kisah cinta tanpa restu itu sulit. "Gue gak bisa janji, Kakek gue keras. Tapi, nanti gue coba bicarain baik-baik." Jelas Alvan yang membuat keduanya menghela napas lega. Alvan tersenyum, ia senang bisa membantumu. Tapi ia tidak yakin akan berhasil. Namun, ia juga tidak mau menikah tanpa cinta. Yang saling cinta saja bisa gagal. Apalagi mereka yang tanpa bekal apapun. *** Lavina menelan ludahnya dengan susah payah saat ia mendapati Alvan tengah terduduk di depan ruang UGD. Pria itu terlihat ke takutkan, Dika muncul tidak lama kemudian. Langsung menghampiri Alvan yang terlihat gemetar. "Lav". Ia menoleh pada Kandil. Sahabatnya itu mengajaknya untuk duduk. Ia melirik pada Alvan yang kini sedang coba di tenangkan oleh Dika. Bahkan Dika memeluk Alvan. "Pak Nugroho itu satu-satunya keluarga yang Alvan punya". Lavina langsung menoleh cepat pada Kandil. "Alvan itu gak akan pernah siap jika harus kehilangan lagi. Dika pernah cerita, kalau Alvan trauma sejak di tinggal kedua orang tuanya". Lavina meremas kedua tangannya sendiri. Memandang iba pada Alvan yang langsung melepaskan pelukkan Dika ketika Dokter Andreas keluar dari dalam ruang UGD. "Bapak mau ketemu kamu". Kata beliau. Alvan langsung dengan cepat masuk kedalam. Ia di temani Kandil menunggu diluar. Perasaanya tidak karuan, takut jika Pak Nugroho masuk rumah sakit karena ada sangkut pautnya dengan perjodohan mereka. Alvan sudah berbicara, dan ternyata beliau tidak setuju. Mungkin kaget, dan akhirnya drop. "Gimana?" Suara Kandil mengalihkan lamunannya. "Kakek kena serangan jantung. Mungkin terlalu lelah." Jawab Dika berdiri di depan mereka. Tidak lama kemudian, Alvan keluar dari ruangan UGD. Mereka langsung menoleh. Pria itu terlihat sangat kacau, berjalan mendekati nya. "Bisa kita bicara?". Tanya Alvan padanya. Lavina mengangguk, ia melirik Kandil untuk berpamitan. Sedangkan Alvan berbicara pada Dika, untuk menjaga Kakeknya sebentar. Ia mengikuti langkah Alvan menuju ruangan pimpinan rumah sakit. Yaitu ruangan Pak Nugroho. "Gimana kondisi Kakek kamu?". Tanya Lavina membuka suara. "Cuma struk ringan." Jawab Alvan. Lavina menghela napas lega. Ia melirik pada Alvan yang duduk dengan pandangan kosong pada meja di depan nya. Cukup lama mereka terdiam. Sampai kemudian Alvan kembali membuka suara. "Lav, sorry. Aku gak bisa bicara sama Kakek". "Maksud kamu?". "Kejadian tadi bikin aku takut, aku takut kalau aku nolak perjodohan kita, Kakek akan drop semakin parah. Aku gak mau itu terjadi , dan berakibat fatal.". "Kamu gila!". Lavina berteriak marah. "Sorry, tapi ini keputusan aku". Tegas Alvan. Lavina mengerang frustasi, ia sudah buntu. Karena harapan satu-satunya adalah Alvan. Karena ia yakin, cuma pria itu yang bisa membatalkan perjodohan mereka. Dan sekarang?. "Kamu mau ngabisin sisa hidup kamu dengan sia-sia?". "Kita bisa mencoba nya". "Enggak!". "Lav, kita tidak tau apa yang ter-". "Enggak bisa!. Aku cuma mau menikah dengan Dude. Dia pacar aku! Dia juga sahabat kamu kan?". "Sorry, Kakek ku jauh lebih penting". Jawab Alvan membuang pandangannya. "Kamu bisa bicara setelah Kakek kamu sembuh. Kita -". "Pernikahan kita bulan depan.". Shit!. Lavina mengumpat, ia menyibakkan rambut panjang lurusnya ke belakang. Mulai sangat frustasi sekarang. Ia harus segera mencari jalan keluar. Pilihan nya hanya dua sekarang. Kabur dengan Dude, membuatnya kehilangan kedua orang tuanya. Atau tetap lanjut, dengan resiko kehilangan pria yang sangat ia cintai. Bisakah ia memilih?. *** Pada akhirnya tidak ada yang bisa di lakukan Lavina. Ia tidak akan pernah bisa kehilangan keluarganya. Jadi, pernikahannya dengan Alvan tetap berlangsung. Bahkan, tepat hari Kamis itu, pukul 10:00. Ia resmi menjadi istrinya Alvan Nugroho. Pernikahan mereka berlangsung mewah dan private. Di akhir resepsi, mereka juga melakukan konferensi pers, karena mengingat Alvan adalah salah satu super star di tanah Air. Ia tidak kuasa menahan air mata nya saat membayangkan hidupnya kedepan. "Kamu beneran mau nikah sama aku?". "Dengan syarat dan ketentuan yang berlaku". Jawabnya mendorong sebuah map kedepan Alvan. Pria itu terdiam, memandangi map itu. Kemudian membukanya. Berisi tentang kontrak pernikahan. Membuatnya hampir menyemburkan tawa. Tapi sebisa mungkin ia menahan diri. "Setahun". Alvan mengernyitkan dahi bingung. "Masa percobaan penikahan kita setahun". "No skinship, apapun. No s*x,". Alvan diam, memandangi kertas di tangannya. Kemudian melirik pada Lavina. "Kamu tetap akan menjalin hubungan dengan Dude selama menjadi istri ku?". Tanya Alvan setelah membaca poin yang menurutnya tidak etis. "Iya, dan kamu juga bebas untuk berhubungan dengan wanita manapun". Alvan menatap tajam. Kemudian menghela napas berat. "Jangan pernah melibatkan perasaan". Alvan mengernyit. "Bagaimana kalau sebaliknya?". Tanya Alvan. "Tidak akan pernah terjadi". Jawab Lavina dengan tegas. Pria itu hanya mengindikkan bahunya. Ia pun memilih menurut saja. Menandatangani kontrak pernikahan tersebut. "Dude tau?". Lavina mengangguk, membuat Alvan menghela napas berat. Cklek Alvan membuka pintu kamar presiden suite yang sudah di boking menjadi kamar pengantin mereka. Dengan langkah pelan ia masuk dalam. Ia melihat ruangan itu hampa, besar dan mewah tapi sepi. Alvan melangkah masuk kedalam kamar. Dan mengernyit karena tidak melihat sosok Lavina. Saat ia masuk lebih dalam, samar-samar ia mendengar suara isakan dari dalam kamar mandi. "Lavina" panggilnya. Dan seketika isakkan itu berhenti. Ia berdiri di depan pintu kamar mandi, menunggu gadis itu keluar. Tidak lama kemudian Lavina keluar dengan muka sembab. Alvan menghindari pemandangan itu. Karena akan membuatnya semakin merasa bersalah. "Bersabarlah, hanya setahun." Kata Alvan. Lavina memilih berlalu, meninggalkan nya di sana. Memilih untuk mencari pakaiannya. Sedangkan Alvan masuk kedalam kamar mandi. Membiarkan Lavina menenangkan diri. Seharusnya pasangan pengantin akan merasa senang di malam pertamanya. Tapi, pasangan itu berbeda. Bahkan, tidur saja berbeda. Alvan memilih untuk tidur di luar. Membiarkan Lavina tidur di kamar. Sesuai dengan isi kontrak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD