DUA

1357 Words
   Alvan keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk untuk menutupi area pinggang sampai lututnya. Dengan sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk lain nya. Ia berjalan menuju lemari, membuka dan ingin mengambil baju. Tapi, urung saat matanya menangkap perlengkapan nya sudah terletak di atas kasur yang sudah rapi. Di lempar pandangannya ke arah pintu kamar, lalu mengulum senyum kecil. Alvan pun beralih ke sana, mengambil baju yang ternyata sudah di sediakan oleh Lavina. Perempuan yang sudah sebulan ini menjadi istrinya. Hubungan mereka masih asing, masih tetap pada peraturan. Dan sampai saat ini ia masih belum keberatan dengan peraturan tersebut. Hanya satu yang membuatnya tidak nyaman. Yaitu, Lavina masih berhubungan dengan Dude. Tapi Ia mencoba untuk mengabaikan perasaan itu. Setelah bersiap dan mengenakan stelan kantoran nya. Biasanya ia tidak pernah berpenampilan rapi, lebih suka mengenakan kaus atau kemeja saja. Tapi, hari ini ada peresmian pemimpin baru di RS Medical. Ia akan mengambil alih posisi Kakeknya. Jadi, sebagai pembuka ia harus berpenampilan rapi. Tidak apa-apa, sesekali. Matanya memandang frustasi pada dasi garis-garis di tangan nya. Ini lah alasan mengapa ia tidak suka berpenampilan super rapi, terutama yang menyangkut dasi. Entah mengapa semenjak dari dulu ia tidak bisa memasang dasi. Ia tidak pandai memasang dasi untuknya sendiri. Biasanya dia akan di bantu oleh teman-temannya atau mbok Asih asisten rumah tangga keluarganya. Sekarang siapa yang harus ia minta tolong?. Lavina?. Ia menggeleng cepat. Tok Tok Tok Cklek Ia menoleh ke arah pintu yang di dorong dari luar. Lavina muncul dengan sudah rapi, sudah siap untuk kerumah sakit. "Udah siap? Mama suruh turun buat sarapan". Ujarnya memandang ku. Aku mengangguk, lalu mengambil jas dan berlalu pergi menghampiri Lavina. "Udah, ayo". Perempuan cantik itu mengangguk. Ia membiarkan Lavina berjalan lebih dulu, kemudian menyusul setelah menutup kembali pintu kamar mereka. "Nanti langsung pulang kerumah?". Tanya nya membuka obrolan. "Iya". "Mau bareng? Mungkin hari ini aku seharian di rumah sakit". Tawar Alvan melirik istrinya. "Enggak usah, aku ada janji." Alvan diam, menghembuskan napas berat dengan sangat pelan. Ada janji. Ia tau kemungkinan besar itu, Lavina ada janji dengan Dude. Mereka baru saja tiba di anak tangga terakhir saat tiba-tiba Lavina berhenti dan menoleh padanya. Membuat ia juga ikut berhenti dan menatap gadis itu dengan bingung. Sekaligus khawatir jika Lavina mendengar helaan napas beratnya barusan. "Mana dasi kamu?". "Ha?". Ia cengo sejenak, tidak mengerti maksud Lavina. "Aku udah taruh dasi kamu bersama dengan stelan lengkap, mana dasi kamu?". Ia langsung ber- oh tanpa suara. "Ini". Jawabnya menunjukkan dasi yang ia keluarkan dari saku jas nya. Ia berencana untuk memasangnya nanti, meminta bantuan .. Kandil mungkin. Ya semoga saja, Dika akan pengertian padanya. Lagian sahabatnya itu tidak mungkin cemburu padanya. "Gak suka sama warna nya?". "Ha?". Ya Ampun, sepertinya ia mendadak selalu menjadi lemot jika berhadapan dengan gadis di depan nya itu. "Bu.bukan kok. Aku suka, cuma.. cuma gak tau cara make nya". Jawabnya dengan nada sangat pelan di akhir. Lebih tepatnya malu. Gila aja, ia sudah 28 tahun hidup dan tidak bisa memasang dasi sendiri. Kalah jauh sama anak SD. Ia mendengar Lavina menghela napas berat. Kemudian membuatnya kaget saat tangan gadis itu mengambil alih dasi di tangannya. Dan mengalungkan di lehernya. Alvan sampai tidak sadar sudah menahan napas, jantungnya tiba-tiba saja berdebar. Posisi mereka lebih dekat, ia jadi bisa mengukur tinggi Lavina yang hanya sehidung nya?. Untuk ukuran Laki-laki ia sudah tinggi, bahkan ia lebih tinggi sedikit dari Dika. Lavina ini jika ingin menjadi model, maka ia yakin akan langsung di terima. Karena memiliki semua kriteria untuk model. Mungkin bisa di setarakan dengan Kendal Jenner. Tapi, Lavina lebih menarik. "Kenapa?". "Hah?". Ia langsung menutup mulutnya kembali. Dan kemudian langsung merasa bodoh. Bahkan ia merutuki dirinya dalam hati atas respon terhadap ucapan Lavina. "Gak kenapa-napa kok". Ia menunduk melihat dasinya sudah terpasang rapi. "Kamu aneh, senyum-senyum sendiri". Ujar Lavina sambil berbalik menuju ruang makan. Ia mengulum senyum sendiri memandangi punggung istrinya yang lebih dulu pergi. Dan ia menyusul kemudian, menyapa Papa dan Mama mertuanya yang sudah lebih dulu di ruang makan. Karena kemarin Weekend, jadi Lavina ingin menginap di rumah kedua orang tuanya. Itu seperti hal wajib yang mereka lakukan sejak menikah. Sudah sebulan, mereka berdua memang tinggal satu atap. Tinggal di rumah sendiri, rumah yang ia beli. Alasannya sederhana mengapa Lavina mau tinggal pisah, supaya mereka bisa pisah kamar. Itu saja. Dan ia tidak keberatan. Paling tidak untuk saat ini. *** Alvan menghentikan mobilnya di depan Caffe milik Dika. Lalu melirik Lavina di sampingnya. Ia menghela napas berat. "Lav, boleh aku minta sesuatu?". Ujarnya hati-hati. Gadis yang sedang melepaskan seatbelt nya itu menoleh sekilas. "Apa?." "Sebaiknya kamu jangan terlalu sering bertemu dengan Dude." Ia bisa merasakan tatapan tajam gadis itu. "Bukan aku tidak suka, tapi rasanya tidak etis." "Kamu lupa sama peraturan kontrak kita? Aku -". "Lav, ini demi kebaikan kamu juga. Kamu gak lupa kan siapa aku dan status kita?." Tanyanya untuk mengingatnya. "Sekarang hampir semua tau siapa kamu. Status kamu adalah istri aku, bagaimana jika tiba-tiba ada akun gosip yang menemukan foto kalian berdua?. Kamu tau, Netizen sekarang itu sangat kejam. Terlebih lagi, itu juga akan menghancurkan harga diri aku". Lanjutnya dengan nada pelan. Ia melirik Lavina yang diam, menatapnya tidak setuju dan tidak suka. "Caffe ini milik Dika, di lantai dua ada ruangan VIP nya. Aku cuma mau kalian lebih berhati-hati." Lanjutnya lagi. "Aku pergi". Lavina tidak menanggapi ucapannya. Gadis itu memilih keluar dari dalam mobilnya. Dan ia hanya bisa menghela napas berat memandangi kepergian Lavina dengan tidak bisa menahannya. Walau ia ingin, tapi tidak bisa. Alvan melihat mobil Dude baru saja tiba. Dan terlihat Lavina berdiri di depan pintu Caffe menunggu Dude. Ia memandang keduanya dengan pandangan lirih. Melihat bagaimana Dude bisa berlaku mesra bahkan sampai mencium kening Lavina. Ia sendiri tidak pernah melakukan itu. Kecuali di hari pernikahan mereka. Lavina tidak membiarkan dirinya melewati batas. Setelah keduanya menghilang, ia hanya bisa menghela napas kasar. Lalu memutuskan untuk pergi. *** "Lav, besok aku berangkat ke Sulawesi." Lavina yang sedang menikmati makanan nya menoleh dengan penuh tanya. "Ada kerjaan disana. Aku mendapatkan proyek dari PT Linusa." "Itu proyek yang bikin kamu lembur seminggu ini?". Tanya Lavina. Dude mengangguk dengan senyuman bahagia. "Ya, itu proyek besar. Bagus untuk langkah awal usaha aku". "Selamat ya". Ucap Lavina. Dude mengangguk, terlihat jelas jika pria itu sangat senang. "Kamu doa in, ya. Semoga semua lancar." "Aku bakal selalu doain kamu." Kata Lavina. Dude masih mempertahankan senyuman nya. Kembali ia menyesap minumannya. Memandangi gadis di depannya dengan penuh sayang. "Dude". "Hm ?". Sautnya penuh tanya. "Kayaknya lebih baik jangan terlalu sering bertemu." Ujar Lavina hati-hati. Jujur saja, ia kepikiran dengan ucapan Alvan. Terlebih lagi, itu akan menghancurkan harga diri aku. Kalimat itu cukup membuatnya kepikiran. Jadi ia mencoba untuk menimang semuanya. "Iya, aku tau". Ia menoleh kaget dengan respon Dude. Membuatnya memandang dengan tidak percaya. Pria di depannya tidak marah atau tersinggung. Malah masih tersenyum dengan tatapan penuh pengertian. "Alvan kan?". Tanya Dude , membuatnya mengernyitkan dahi. "Alvan sudah bicara sama aku, aku juga sempat kepikiran. " Lanjutannya. Lalu meraih tangan Lavina. "Lav, kamu sabar dulu ya. Aku janji gak akan lama". "De, kamu tau kan kalau aku cinta banget sama kamu". "Iya, aku juga". Jawab Dude. "Tapi kita masih harus sabar lagi. Aku gak akan marah dengan ucapan Alvan, karena aku juga harus memikirkan dia. Terutama kamu, aku juga gak mau kamu jadi bulan-bulanan netizen yang tidak tau apa-apa tentang kamu." Kata Dude dengan sangat pengertian. "Aku gak bisa jauh sama kamu." "Cuma sebentar". Lanjutnya. "Besok aku akan ke Sulawesi, mungkin itu juga cara kita untuk meminimalisir pertemuan kita. Kita masih bisa komunikasi kok". Lavina terlihat jelas tidak rela. Ia hampir menjatuhkan air matanya lagi memikirkan hubungan mereka yang semakin rumit. Dude pindah duduk di samping Lavina. Menarik gadis itu kedalam pelukkan nya. "Maaf ya, buat aku kamu harus tersiksa kayak gini." Kata Dude. Ia menggeleng kan kepalanya. "Seandainya kamu gak jatuh cinta sama aku, pasti-" "De, jangan ngomong seperti itu". Sela Lavina. "Aku gak pernah nyesal cinta sama kamu, baik dulu atau sekarang." Dude tersenyum, memandangi kekasihnya dengan lembut dan penuh cinta. Begitu juga dengan Lavina. Pria itu memang sungguh beruntung memiliki Lavina yang selalu ada untuknya. Selalu mendukungnya dalam kondisi apapun. Ia yang hidup sebatang kara, menjadi tidak terusik dan tidak merasa kesepian karena hadiran Lavina. Gadis itu selalu menjadi penyemangat untuknya. Dan ia tidak akan pernah bisa ke hilangan Lavina. Ia akan memperjuangkan Lavina, sampai nanti ia kehabisan tenaga. "Aku mencintai mu". Bisik nya menunduk lebih dalam. Lavina tersenyum, ikut menyambut bibir kekasihnya. Lalu berbisik kata yang sama.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD