Erwin menatap tajam Maya. Maya dengan segera menarik tangannya. Jantungnya berdegup kencang. Entah perasaan apa yang kini wanita desa itu rasakan. Ditatap tajam seperti itu, membuat nyali Maya sedikit menciut juga.
"Maaf," Hanya kata itu saja yang bisa Maya keluarkan dari mulut mungilnya.
Erwin mendengus ke arah Maya, tatapan tajam seperti elang itu, langsung beralih saat sang pemilik membuang wajah ke sembarang arah. "Jangan pernah menyentuhku! Karena aku juga tak akan pernah menyentuhmu!" Erwin memperingatkan Maya, kata-katanya begitu menusuk hati Maya.
Maya mengatur nafasnya, lalu menatap Erwin dengan intens. "Apa aku boleh bertanya?" tanya Maya.
"Katakan!" titah Erwin.
"Kenapa anda menikahi saya, kalau diantara kita harus seperti ini?" tanya Maya, menahan sesak di dadanya.
Erwin terdiam, tujuannya masih belum tercapai sepenuhnya. Jika dirinya menyampaikan semuanya, tidak menutup kemungkinan gadis desa di depannya itu akan pergi, dan keinginannya pasti gagal.
"Maaf, aku hanya merasa belum terlalu mengenalmu saja. Kita baru kenal, masih ada rasa canggung. Jadi, untuk sementara ini, cukup seperti ini saja. Sampai nanti tiba saatnya aku siap," ujar Erwin beralasan.
Maya mengangguk, kemudian berlalu begitu saja melangkah menuju arah dapur.
Kenapa sakit sekali rasanya? Dia benar, kami baru saja kenal, rasa canggung itu tentu ada. Tapi, bukan pernikahan seperti ini yang aku mau.
Erwin memandang Maya yang semakin menjauh. Ada rasa kasihan dalam hatinya, namun dengan cepat ia tepis.
'Ini hanya untuk bisnis, Win! Jangan gunakan hatimu, jangan pernah merasa kasihan! Setelah semuanya terwujud, dia bahkan bukan siapa-siapa kamu lagi,' batin Erwin.
Di dapur Maya mengerjakan semua yang harus dirinya kerjakan. Rasa kecewa yang tadi sempat dirasakan, ia buang jauh-jauh.
'Mungkin begini rasanya kalau menikah dengan pria yang baru saja dikenal. Masih perlu banyak adaptasi, berkenalan satu sama lain. Semuanya pasti berbeda dari orang yang menikah karena ada dasar cinta di dalamnya. Semangat Maya, ini hanya masalah waktu. Selebihnya, aku pasti akan bisa bahagia menjalani biduk rumah tangga seperti yang lainnya,' gumam Maya, bermonolog sendiri.
Di ruang makan, Erwin masih setia menghabiskan semua makanannya. Ini kali pertama untuk Erwin. Makan, makanan yang dimasak langsung dari rumah. Selama dirinya membangun biduk rumah tangga bersama Giska. Jangankan memakan hasil masakannya, Giska lebih memilih membeli makanan jadi, lalu menghidangkannya pada Erwin.
'Makanan beli dan makanan dimasak sendiri itu memang beda ya, rasanya. Walaupun sederhana seperti ini, tapi rasanya jauh lebih enak dan nikmat. Kapan ya, Giska mau memasak untukku. Setiap hari kerjanya cuma jalan-jalan, belanja, liburan. Dia selalu saja sibuk sendiri, menyiapkan makanan di atas meja makan saja, hampir bisa dihitung pakai jari,' ujar Erwin, terus saja bermonolog sendiri.
***
Erwin duduk santai di ruang keluarga. Hari ini dirinya memutuskan untuk tidak pergi ke kantor. Selain kelelahan karena baru kemarin melakukan perjalanan jauh memboyong Maya ke ibukota, Erwin juga sempat-sempatnya melakukan adegan panas bersama Giska di rumah utamanya.
Maya berjalan pelan melewati Erwin. Jangankan menegurnya, melirik saja bahkan tak dilakukan Erwin. Erwin lebih memilih untuk menyibukkan dirinya dengan gadget miliknya.
"Mau minum kopi?" tanya Maya, menghentikan langkahnya, sedikit jauh dari Erwin
Erwin mendongak menatap Maya. "Kopi? Kamu bicara dengan saya?" Tunjuk Erwin ke arah dadanya.
Maya mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan aneh Erwin. "Tentu saja. Di sini hanya ada kita berdua, kalau bukan dengan anda, dengan siapa lagi?"
"Boleh, buatkan saja! Ingat, kopinya tiga sendok makan, gulanya satu sendok saja. Airnya harus mendidih dengan benar!" ujar Erwin.
Hah? Dia pikir aku ini pelayan kopi? Banyak sekali permintaannya. Untuk apa coba, minum kopi seperti itu? Gula cuma satu sendok, rasanya pasti pahit. Dia ini manusia atau dedemit? batin Maya, tanpa mengiyakan, langsung beranjak kembali ke dapur.
Lima menit berlalu, Maya kembali ke ruang keluarga, dengan membawa satu nampan kecil. Kemudian meletakkan nampan itu di atas meja persis di depan Erwin. "Ini kopinya," Setelah mengatakan itu, Maya melangkah pergi ke kamarnya.
Erwin segera mendekat ke arah meja. Aroma khas kopi yang harum, membuat Erwin merasa tidak sabar lagi untuk menikmatinya.
'Andaikan Giska seperti ini. Ah, pasti nikmat sekali hidupku ini. Sudah punya istri cantik, pintar masak, pintar melayani suami. Tapi sayang, itu hanya khayalanku saja. Sampai kapanpun, Giska tidak mungkin bisa berubah,' ujar Erwin, terdiam menatap segelas kopi yang masih mengeluarkan asap mengebul di udara.
Terkadang Erwin sering berpikir, jika dirinya hanya dimanfaatkan Giska hanya sebagai mesin pencari uang. Semua kebutuhannya tidak pernah sekalipun Giska siapkan. Tugas yang seharusnya seorang istri lakukan, juga tidak pernah Giska kerjakan. Seiring berjalannya waktu, ada rasa jenuh dalam hati dan pikiran Erwin mengenai pernikahannya. Namun, karena rasa cinta yang besar, membuat Erwin mengenyahkan semua perasaan itu dengan cepat, dan lebih memilih bertahan hingga saat ini.
"Enak juga, semuanya pas," gumam Erwin, pelan-pelan menyeruput kopi di tangannya.
Di dalam kamar, Maya lebih memilih untuk merapikan kamar tidurnya. "Kalau begini ceritanya, kapan mau berkenalan dan lebih dekat lagi? Dia saja sibuk sendiri dengan ponselnya. Sedangkan aku? Harus melakukan apa di sini? Orang-orang di desa, pasti saat ini berpikir hidupku enak, karena dinikahi pria kota yang kaya dan tampan. Bibi Titin dan paman Arman juga berpikiran yang sama. Andai saja aku tidak merasa berhutang budi pada mereka, aku tidak mau menjalani kehidupan seperti sekarang. Lebih baik di desa, dari pada harus tinggal di kota, tanpa teman, tanpa ada kerjaan. Kalau setiap hari aku seperti ini terus, bisa berkarat otakku. Uang bawaan dari desa sudah mulai menipis, biaya hidup di sini ternyata jauh lebih mahal dari di desa. Pria itu juga tidak memberikan nafkahnya, mau minta malu. Masa iya, baru satu hari menikah, sudah meminta uang nafkah,' gumam Maya, pusing memikirkan hidupnya.
Maya memandangi lembar-lembaran uang di tangannya. 'Hanya segini? Tujuh puluh tiga ribu? Cukup berapa hari kalau uangnya hanya segini? Hem, alamat tidak makan kalau begini aku,' gumam Maya lagi.
Tanpa sepengetahuan Maya, Erwin yang tadinya hendak meminta Maya untuk membuatkannya kopi lagi, membuka pintu kamar perlahan dan mendengarkan semua keluh kesah Maya.
'Wanita itu, walaupun dari desa. Tapi, rasa gengsinya kuat juga. Dia bahkan rela mempertahankan uang segitu, tanpa mau memintanya padaku. Berbeda jauh dari Giska, coba saja dia itu Giska. Uang masih tersisa dua puluh juta saja di tangan, Giska pasti minta lagi,' gumam Erwin, memutuskan untuk kembali ke ruang keluarga.
'Eh, tapi kenapa aku malah membandingkan dia dengan Giska? Dia dan Giska itu beda jauh, sudah pasti jauh lebih sempurna Giska,' ujar Erwin menepuk keningnya.